Ah sudahlah. Sejak kapan aku jadi peduli pada urusan percintaan orang yang baru aku kenal selama dua hari ini? Rasa-rasanya pikiranku mulai tak waras.
“Ehm, saya mau ke toilet sebentar. Bisakah…”, lantas omonganku terputus oleh nada suara lainnya.
“Pak, bisa tolong antarkan teman saya ini ke toilet?” Rupanya Dania yang menyela pembicaraanku yang belum rampung itu. Lalu Dania berbisik sangat pelan sampai-sampai aku tak dapat lagi mendengar apa yang ia bicarakan dengan orang itu.
“Mari ikut saya, Den” kata orang itu sembari memegang tanganku untuk kemudian menuntunku berjalan ke arah toilet.
Di toilet, aku sempat merenungkan beberapa hal. Terasa ganjil sekali hidupku belakangan ini. Screen reader telepon genggamku rusak, tiba-tiba kemarin dapat telepon nyasar, dipanggil setengah teriak dengan panggilan yang jelas bukan namaku, lalu hari ini dapat kunjungan tak diundang dari seorang yang menelepon nyasar ke telepon genggamku kemarin, kemudian mengajakku jalan-jalan. Dan lebih parahnya ya sekarang ini. Justru aku menghabiskan waktuku berjam-jam dan lucunya aku tidak terganggu mendengar curahan hati dari seorang wanita, baru ku kenal, yang katanya sudah lama lose contact dengan pacarnya.
Hahaha, aku menertawakan hidupku sendiri. Apa maksudnya cerita-cerita itu? Aku bingung. Kamu salah orang ya? Lebih salah lagi karena kamu malah curhat tentang hal itu denganku. Jelas-jelas aku tak pernah dan tak mungkin jatuh cinta dalam kondisiku yang seperti ini. Cinta terlalu “suci” untuk dikenal oleh orang-orang seperti aku. Lalu maksud semua cerita-ceritamu itu untuk menemukan solusi permasalahan cintamu menurut aku? Huh, kamu salah besar, Dania. Aku bukan teman yang baik untuk mendengarkan keluhan seperti itu. Namun, sejenak aku berpikir lagi, sejak kapan kita berteman, Dania?
Setelah agak lama merenung di toilet, aku kembali lagi duduk di dekat Dania. Kali ini sikapku lebih berbeda, lebih cuek dari sebelumnya kalau tidak bisa dibilang sikap yang terbentuk karena fenomena yang absurd. Aku masih mengherankan hidupku belakangan ini, renungan yang aku lakukan di dalam toilet. Ini semua tak masuk akal, pikirku. Bagaimanakah aku bisa sebegitu pedulinya dengan orang asing yang baru ku kenal ini? Seperti rasanya aku sudah mengenalnya sejak lama, lama sekali, berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun sebelumnya.
“Hei, apa yang sedang kamu pikirkan? Kok tadi lama sekali ke toiletnya?”, tutur Dania membangunkanku dari lamunan panjang.
“Ah, tidak ada apa-apa. Everything is allright”, jawabku salah tingkah.
“Benarkah kamu tidak apa-apa? Aku minta maaf jika membuatmu tidak nyaman. Sudah lama aku tidak makan di sini, padahal dulu sering sekali. Aku rindu dengan tempat ini, bahkan terlebih rindu dengan siapa aku biasanya pergi ke sini.”
Aku memutuskan untuk diam saja. Toh, tak ada hal yang perlu aku konfirmasi lebih lanjut. Tak usahlah sok akrab dengan orang asing ini. Apa manfaatnya bagiku? Logika sinisku beraksi.
“Setelah selesai makan, kita pulang saja ya. Aku ingin istirahat. Ingin cepat-cepat sampai rumah. Aku capek”, kataku di sela waktu makan.
“Baiklah. Maaf ya telah membuatmu lelah menemaniku berjalan-jalan hari ini. Tapi, dihabisin dong makanannya, Ga. Kamu boleh pasang sikap cuek sama aku, tapi jangan pasang sikap cuek sama makananmu juga dong. Kamu tahu? Kamu orang tercuek yang pernah aku kenal. Hehe”, kata Dania sambil tertawa renyah. Kerenyahan tawa itu, sepertinya aku kenal. Duh, pikiranku benar-benar sudah kacau.
“Kamu… orang teraneh yang pernah aku kenal”, balasku seraya membuyarkan pikiran absurdku.
Buru-buru aku habiskan makanan agar bisa cepat pulang. Huft, dan akhirnya impianku untuk pulang ke rumah kesampaian juga.
“Apakah kamu pernah jatuh cinta?” Dania nyeletuk bertanya di saat sepinya obrolan kita dalam perjalanan pulang. Rupanya ia kembali ingin membicarakan tentang romansa itu, hanya saja sekarang sudut pelakunya adalah aku.
“Tidak”, jawabku singkat.
“Hmm kenapa?”
“Aku tidak pantas mencintai dan dicintai, aku tidak percaya cinta karena ketulusannya tak akan mungkin ku dapatkan.”
Aku sadar ini adalah kata-kata terpanjangku semenjak aku mengenal Dania.
Aku dapat mendengar desahan napasmu, Dania. Aku dapat merasakan seperti ada kata-kata yang tertahan yang tak jadi diucapkan olehmu. Kata-kata itu malah tergantikan dengan ruang kosong untuk membalas ucapan yang keluar dari mulutku beberapa detik yang lalu. Tak ada suara, entah itu suara manusia, lolongan hewan-hewan malam, ataupun bunyi klakson-klakson kendaraan bermotor yang sering memekakkan telinga tiap harinya. Sempurna hening, semenit, dua menit, lima menit sampai akhirnya keheningan itu pecah juga oleh mereka.
“Terima kasih atas hari ini”, kata Dania ketika telah sampai mengantarkanku ke depan pintu rumahku.
Aku tak merespon apa-apa. Rasa-rasanya tak perlu juga aku banyak berbasa-basi dengan orang asing ini. Pandanganku tetap saja masih acuh walau sekarang tidak bisa dikatakan sinis lagi.
“Oh iya, Arga.” Panggilan itu menghentikan langkahku. “Pernah ada seseorang yang bilang padaku bahwa hidup ini harus bahagia. Seberat apapun keadaannya, pasti selalu ada jalan untuk menuju kebahagiaan. Dari kata-kata itu, aku bisa menyimpulkan bahwa hidup itu butuh cinta karena menurutku cinta itu pasti bahagia.”
Ucapan bernada berat ditaburi keoptimisan yang sungguh menusuk penghujung hariku bersamanya. Aku tersentak, diam seribu bahasa. Kata-kata itu familiar sekali. Kata-kata itu. Ya, kata-kata itu. Aku sangat mengenalnya. Kata-kata yang diucapkan ibuku saat aku kecil. Kata-kata yang ku tulis dengan hati-hati di dalam buku catatanku. Kata-kata yang membuat aku bertahan dengan kondisiku.
“Hidup ini harus bahagia. Seberat apapun keadaannya, pasti selalu ada jalan untuk menuju kebahagiaan.”
Dari manakah ia tahu itu?
editor: Putri Priyatna