Ah tidak … bukan suaraku, hanya mirip saja.
“Selamat berbahagia Dania, semoga bung ini ….” Terdengar suara lain dan rekaman itu berakhir. Maksudku, bukan berakhir tapi terputus. Terkesan rekaman itu dimatikan secara mendadak oleh si perekam. Aku tak tahu suara siapa. Tapi tiba-tiba saja ada rasa tidak nyaman ketika aku mendengar suara itu. Suaranya menimbulkan kebencian di hatiku. Kenapa? Siapa sebetulnya pemilik suara itu? Ah, apa peduliku.
”Kef … Arga” tiba-tiba Dania sudah duduk di samping kananku dan lagi-lagi dia nyaris memanggilku Kefin. Ini minumannya. Es capucino. Aku harap di siang sepanas ini kau menyukainya” lanjutnya. Beberapa saat suasana sepi kembali.
Es capucino? Hemmm … ini memang minuman kesukaanku. Tapi dari mana dia tahu? Ah, mungkin ibu yang memberi tahunya tadi. Begitu pikirku.
“Kenapa nggak diminum?” tanyanya. Tentu saja aku segan mencari minuman itu dengan meraba-raba.
“Oh iya… maaf … Ini, di sini” Dania berkata sambil memegang tanganku dan merabakan gelas dingin mengembun di tengah meja di depanku. Paham juga dia akhirnya,.
“Di sinilah dulu aku dan dia sering menghabiskan waktu bersama” Dania melanjutkan kisahnya. Seperti yang sudah-sudah, aku tetap diam.
“Dia membacakan puisi, menyanyikan lagu buat aku. Terus, dia juga sering menceritakan kisah-kisah lucu yang ngebuat kita ketawa bareng. Ya … kami ketawa bareng” Dania semangat sekali mengisahkan kenangannya itu.
Tiba-tiba saja aku membayangkan aku jadi pacar Dania. Membaca puisi, menyanyikan sebuah lagu dengan gitar di depan cewek. Romantis banget nggak sich? Tapi, aku kembali sadar dengan kondisiku yang sekarang. Kalau main gitar oke, menyanyi ya pas-pasanlah, masih bisa. Namun dengan aku yang tuna netra ini … apa masih ada tampang romantis? Kaca mata hitam yang selalu ku pakai untuk menutupi rongga mataku yang tanpa bola karena diambil waktu operasi, dan tongkat di tangan. Jangan-jangan si cewek tak terpesona, tapi malah memberiku uang receh lima ratusan. Payah …
“Kenapa Ga? Kok napas panjang, pakek senyum-senyum segala”
Ups, aku terbangun dari khayalanku. Tak sadar, aku terbawa khayalan sampai-sampai tersenyum sendirian.
“Nggak … nggak papa. Cuma ada hal yang sedikit lucu” kilahku.
“Apa?”
“Emmm” aku bingung harus menjawab apa.
“Waktu sekarang pukul dua belas tepat” jam bicara milikku berbunyi. Tak terasa dua jam lebih aku dan Dania melewatkan waktu bersama. Lebih tepatnya menyia-nyiakan waktuku. Mengapa aku harus menghabiskan sekian jam untuk bersama orang yang baru ku kenal dalam dua kali pertemuan? Mendengarkan dia bercerita ngalor ngidul tentang hal yang sama sekali tak ada hubungannya denganku.
Untunglah, lima belas menit kemudian suasana berganti.
“Kamu pesan apa, Ga?”
Ya, kini kami berada di restoran atau mungkin sebuah depot, aku tak tahu pasti. Yang aku tahu hanya kursi rotan yang ku duduki, meja juga dari rotan, dan … aroma ikan bakar. Ya … aku yakin itu aroma ikan yang dibakar di atas panggangan. Ada lagi, suara gemericik air. Dania mulai membacakan menu-menu yang tertera didaftar.
“Tapi di sini menu unggulannya yang ini, gurameh bakar saus tiram” terang Dania.
“Ayolah … jangan cemberut terus” Dania merajuk, mungkin mulai agak kesal karena sejak awal aku lebih banyak diam tak peduli.
“Terserah, apa sajalah” jawabku singkat.
Lagi-lagi Dania membuka percakapan dengan mengenang masa-masa indah bersama kekasihnya.
“Aku ingat saat terakhir kami bersama sekitar dua tahun yang lalu. Malam itu kami berdua makan malam bersama di tempat ini. Sebelum peristiwa itu …” kata-katanya terputus dan aku mendengar suara isak tangis kecil Dania.
Aku yang sejak awal tak ambil pusing dengan segala cerita gadis itu mulai sedikit tersentuh. Tampaknya ada kisah yeng memilukan diakhir episode kisah cintanya dengan pacarnya itu, namun aku masih segan untuk bertanya. Satu menit, dua menit, aw … lima menit kira-kira Dania tenggelam dalam memori sedih kalau tak mau dikbilang memilukan itu.
Pesananpun datang. Seperti di taman tepi danau tadi, ia memegang tanganku lalu menunjukkan letak piring dan posisi sendok garpu di atasnya.
“Ya ampun … untuk makan saja aku sekarang meraba-raba begini ya?” pikirku.
Padahal jangankan sendok atau garpu, dulu saat aku masih belum masuk di dunia kegelapan, obeng-obeng bahkan macam komponen sekecil jarumpun aku raih dan mampu merangkainya dengan cekatan. Ah sudahlah, itu telah berlalu. Toh sekarang aku sedang mempelajari beberapa software computer dibawah bimbingan seorang tutor dari salah satu lembaga social di ibu kota. Dengan fasilitas bagi tuna netra dijaman sekarang ini, aku mencoba berpikir optimis dan bangkit dari keputusasaanku. Begitulah, ganti aku kini yang tenggelam dalam dunia pikiranku sendiri.
“Ayo Arga, kita makan. Nanti kalau dingin nggak nikmat lagi” Dania membuyarkan lamunanku.
“Kenapa kalian putus?” iya … akhirnya aku tak tahan membendung rasa penasaranku.
“Tidak, tidak! Kami nggak putus” jawabnya.
“Lalu?”
Ayahku tak menyetujui hubungan kami, lanjut Dania.
Aku dipindahkan ke luar negeri dengan alasan harus melanjutkan kuliah karena akan dipercaya sebagai manager diperusahaan ayah. Dua tahun kami berpisah, tapi aku tak bisa melupakannya” jelas Dania.
“Bukankah sekarang kamu sudah pulang. Kenapa tak mencarinya?” aku mulai ingin tahu lebih jauh.
“Ketika masih setahun aku di luar negeri, kami masih sempat berkomunikasi lewat HP dan email. Suatu ketika aku mendengar dia kecelakaan. Menurut info yang aku terima, dia mengalami tabrakan. Tapi aku nggak tahu keadaan yang sebenarnya, bahkan kabar selanjutnya nggak pernah aku peroleh lagi. Sejak itu pula komunikasi kami terputus. Nggak ada telepon darinya, nomornya ku telepon selalu dalam keadaan non aktif. Aku kirim email juga tak ada balasan. Duniaku dan dunianya seperti dihalangi dinding baja yang tebel banget” ujar Dania memelas dan bukan jawaban pertanyaanku.
Menurutku, untuk mempertahankan satu hubungan cinta kasih di tempat yang berjauhan dalam waktu lama bukan hal mudah. Banyak pengalaman membuktikan, kalau nggak cowoknya yang selingkuh ya dari pihak cewek yang cari berbagai perihal buat alas an putus. Atau malah kedua-duanya sama-sama keblinger. So, sama-sama mulai saling melupakan. Tapi Dania bilang kalau ia tak bisa melupakan mantan pacarnya itu. Aku sih sangsi … Kalau lupa sih nggak, tapi mungkin ya … nggebet sana sini mungkin kan?
“Kamu tahu nggak Ga yang membuat aku nggak akan bisa lupa sama dia?” kata Dania sembil membuka entah tas, entah dompet miliknya.
“Ini Ga …” senbari menggenggamkan sesuatu ditanganku.
Cincin. Ya, sebuah cincin berukir, mungkin tulisan nama mantan kekasihnya. Atau ukiran simbul tertentu.
“Apa kamu nggak ingat? Bener-bener nggak ingat?” kata Dania dan seketika itu tangisnya meledak.
Tentu saja aku bingung sekaligus tercengang. Apa maksud kata-katanya itu? Apa yang harus ku ingat.
Apa mungkin ada orang lain didekat kami yang jadi tujuan pertanyaannya. Bukan aku” gumamku dalam hati.
“Eh, den Kevin! Sudah setaunan nggak pernah ketemu, nggak pernah makan di sini” mendadak terdengar suara setengah berteriak seorang lelaki.
Dia menyebut nama Kevin. Jangan-jangan … mantan pacar Dania ada di sini.