“Jaka, maju ke depan!” Ibu Juni memanggil namaku. Beliau adalah guru konseling kelas VII di sekolahku, dan merupakan guru favoritku. Dengan agak buru-buru, aku menyambar tongkat yang membantuku untuk berjalan dan segera bangkit dengan hati-hati. Wanda—teman dudukku—seperti biasa membantuku untuk bangkit dari kursi.
Teman-teman sekelasku memperhatikan aku yang berjalan menuju depan kelas. Beberapa di antara mereka menampakkan wajah khawatir, sedang yang lainnya bersikap biasa. Aku kehilangan kaki kananku ketika harus diamputasi akibat kecelakaan yang ku alami saat menyebrangi jalan raya bersama ibuku. Selain kaki kananku, aku juga harus kehilangan ibuku pada kecelakaan yang sama, kehilangan yang lebih berat rasanya. Karena kepergian ibuku, aku tidak ingin patah semangat. Aku ingin membahagiakan ibuku walau dia tidak berada di dunia yang sama lagi denganku.
“Baiklah, Jaka. Bacakan tugasmu tentang cita-cita,” kata Ibu Juni lembut. Aku mengangguk dan membacakan tugas yang telah ku tulis di buku tulisku. Seluruh kelas memperhatikan apa yang ku baca dari buku tulisku.
“Demikianlah tentang cita-citaku yang ingin menjadi penyanyi terkenal di Indonesia. Aku yakin aku bisa meraih cita-citaku jika aku bersungguh-sungguh ingin mendapatkannya,” aku menutup bukuku dan memperhatikan ke seluruh penjuru kelas.
“Emangnya ada penyanyi yang punya kaki sebelah?” gumam Inu yang duduk di sudut kelas, tidak sadar bahwa suaranya bergema. Ibu Juni memberikan pandangan tajam ke arah Inu.
“Inu! Tidak boleh berkata seperti itu,” tegur Ibu Juni.
“Iya, Bu. Maaf,” kata Inu sambil tertunduk. Aku hanya menghela napas kecil. Ibu Juni menyuruhku kembali duduk dan kemudian beliau menjelaskan materi tentang cita-cita lebih rinci.
***
Siang di pertengahan bulan Februari ini sangat terik. Aku menarik napas panjang saat aku terduduk di pintu rumahku. Sebuah rumah kecil yang berada di daerah kumuh. Ekonomi keluargaku bukanlah termasuk ekonomi yang melebihi sederhana, bahkan kurang dari sederhana.
Sejak kematian ibu, ayahku menjadi sedikit pemurung, walau semangat kerjanya sebagai buruh pabrik tidak surut. Aku sendiri demi memenuhi uang jajan dan menabung sedikit untuk masa depanku harus memilih jalan mengamen di bus kota. Sebuah profesi yang sudah aku jalani selama tiga tahun, sejak umurku sepuluh tahun.
Ayahku belum pulang. Seperti biasanya, beliau kembali ke rumah hampir mendekati waktu maghrib. Sejak pukul dua siang—tepat setengah jam setelah aku pulang sekolah—aku menenteng gitar tua milik ayahku dan mengamen hingga waktu yang sama dengan waktu ayahku tiba di rumah. Beliau sebenarnya tidak menginginkanku untuk mengamen, mengingat keadaan fisikku yang tidak sempurna lagi. Tapi aku bukanlah tipe orang yang ingin dikasihani. Aku masih beruntung hanya kehilangan kaki kanan dalam kecelakaan tersebut.
Aku berjalan menuju halte bus terdekat dari lingkungan rumahku. Dengan susah payah dan peluh yang tidak berhenti menetes dari dahiku, aku terus berjalan. Sesekali aku berhenti sejenak, mengistirahatkan sebelah kaki dan tangan yang menopang tongkatku. Seorang ibu-ibu dengan baik hati memberikanku sebotol air mineral dingin saat aku berjalan dan kemudian dengan cepat meninggalkanku sebelum aku bisa mengucapkan terima kasih.
Setelah lima belas menit berjalan, aku tiba di bus halte yang tidak terlalu ramai. Aku meletakkan gitarku di bangku halte dan duduk menunggu bus yang akan menjadi tumpanganku untuk mencari uang. Tidak lama kemudian, sebuah bus tiba di halte dan aku menaiki bus itu.
Oh bunda, ada dan tiada dirimu
Kan selalu ada di dalam hatiku
“Terima kasih kepada bapak-bapak, ibu-ibu, kakak-kakak semuanya yang telah dengan senang hati mendengarkan suara saya yang tidaklah bagus ini. Di sini saya hanya mencari sedikit rezeki dari jalan yang halal dan tidak terlarang ini,” aku menutup ngamen-ku dengan sedikit ‘pidato’ kecil. Sejenak aku melihat ke seluruh penumpang yang melihat ke arahku dengan wajah takjub dan kagum.
“Bagus suaranya, Dik,” puji seorang ibu-ibu yang tengah hamil sambil memasukkan selembar uang dua ribu ke dalam bungkusan permen yang kujadikan tempat menampung uang hasil mengamen.
“Terima kasih, Bu,” sahutku malu-malu.
Seorang pria muda yang mengenakan earphone terus menatap ke arahku.Aku merasa risih, dan terus melangkah ke belakang dan mendapati seseorang yang ku kenal.
“Inu?” sapaku setengah percaya.Inu sedikit terkejut dan menatap ke seorang ibu-ibu yang sangat mirip dengannya- yang aku yakin sebagai ibunya.
“H—Hai, Ka,” sahutnya tergagap.
“Kau kenal dia, Nu?” tanya ibunya. Inu menganggukkan kepalanya.
“Kenapa kau tidak pernah cerita punya teman yang—“ Ibu Inu terdiam sejenak. “Maaf,” sambungnya tiba-tiba.
“Tidak apa-apa, Bu,” jawabku terkejut. Dia memberikan aku selembar uang lima ribu.
“Suara kamu bagus, loh,” katanya. Aku hanya tersenyum dan berbalik ke depan lagi dengan perlahan. Aku duduk di jok tepat di samping pria yang sedari tadi memperhatikan aku. Tiba-tiba saja dia bangkit dan mengambil tempat duduk di sampingku.
“Hai, Dik,” sapanya sambil melepaskan earphone yang ia kenakan.
“Hai, Mas,” sahutku ramah sambil menyandarkan tongkatku.
“Suara kamu bagus. Bagus banget malah,” puji pria itu. Aku hanya bisa nyengir dan mengucapkan terima kasih lagi.
“Saya Lukman,” katanya sambil menyodorkan tangannya kepadaku.
“Oh, Mas Lukman. Saya Jaka,” aku menyambut sodoran tangannya.
“Ngomong-ngomong, apa yang terjadi dengan kamu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah kakiku.Aku menceritakan peristiwa kecelakaan dua tahun lalu itu.
“Maaf kalau itu membuatmu sedih. Harusnya saya tidak bertanya,” kata Mas Lukman seusai aku menceritakan keseluruhan ceritaku.
“Gak apa-apa, Mas,” jawabku. Dia mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu.
“Ini, ambil. Cocok untuk suara yang kamu punya,” Mas Lukman menyodorkannya kepadaku.
“Wah, Mas. Banyak banget!” kataku tercengang.
“Udah, ambil aja. Dan—“ dia menarik sebuah kartu dari saku kemejanya. Sepertinya sebuah kartu nama.
“Ini kartu nama saya. Kalau kamu punya waktu, kamu bisa datang ke alamat ini hari Sabtu atau Minggu.” Mas Lukman menjelaskan dan memberikan kartu nama dan uangnya langsung ke telapak tanganku.
“Terima kasih, Mas,” kataku sambil tersenyum.Mas Lukman menganggukkan kepalanya.Tak berapa lama kemudian, dia turun di sebuah halte bus di bilangan Kramat Jati.
“Jangan lupa untuk datang,” kata Mas Lukman saat dia hendak turun.Aku menganggukkan kepalaku dan melihat dia dari jendela bus.
***
Sepuluh hari berlalu. Hari mendung di hari Minggu terakhir di bulan Februari ini. Aku masih duduk di depan pintu rumah. Aku melirik ke satu-satunya jam dinding yang ada di rumahku. Sudah pukul sembilan pagi.
“Mau ngamen lagi, Ka?” tanya ayah yang keluar dari kamar.
“Iya, Yah,”
“Ya sudah.Hati-hati. Ayah mau pergi juga. Siapa tahu ada yang bisa ayah kerjakan,” kata ayahku. Di hari Minggu, ayahku memang tidak bekerja di pabrik. Biasanya, beliau mencari kerja serabutan lain agar dapat memenuhi kebutuhan.
Lima belas menit aku termenung. Pikiranku melayang entah ke mana-mana dan sebuah ingatan membuat aku tersadar dengan rasa sentakan keras, teringat akan memori saat aku dan ibuku mengalami kecelakaan.
Dengan rasa terkejut dan ingatan yang masih terbayang dalam pikiranku, aku bangkit dan menenteng gitarku. Aku berjalan dengan sekuat tenaga, ditopang oleh kaki kiri dan sebuah tongkat yang kini menggantikan kaki kananku yang telah hilang.
Aku tiba di halte bus, dan duduk di bangkunya halte. Aku mencoba untuk memulai mengamen di halte. Beberapa orang memperhatikan aku yang tengah bernyanyi. Beberapa di antaranya memperhatikan ke bagian kosong di kaki kananku. Sampai akhirnya bus tiba tepat aku menyelesaikan laguku. Hanya sedikit yang memberikanku uang, mengingat sedikit juga orang-orang yang tengah menunggu bus.
Aku menaiki bus sambil memegang gitarku di tangan kanan. Tangan kiriku kumasukkan ke dalam saku celana pendekku, dan menyentuh sebuah kertas tebal. Aku mengeluarkan kertas itu dan mendapati kartu nama Mas Lukman yang ku temui di bus sepuluh hari yang lalu. Aku mengingat-ingat pertemuan tersebut, dan terkesiap saat aku teringat bahwa Mas Lukman mengundangku untuk unjuk kebolehan di hari Sabtu atau Minggu. Dengan sedikit tergesa-gesa, aku menghampiri kenek bus yang berdiri di dekat pintu bus.
“Mas, mau tanya. Tahu alamat ini?” tanyaku sambil menyodorkan kartu nama yang kupegang.
“Oh, tahu. Entar waktu lu turun di halte berikutnya, terus balik lagi. Sampai persimpangan pertama, lu belok kanan. Terus jalan lagi sampai ada mesjid, lu belok ke jalan mesjid itu. Tinggal lu cari aja nomornya,” jawab kenek itu dengan jelas dan ramah. Dia mengembalikan kartu nama itu kepadaku.
“Makasih ya, Mas,” jawabku sambil mengambil kartu itu dan aku duduk di kursi paling belakang, menunggu halte berikutnya.
***
Sesuai dengan penjelasan kenek baik hati tadi, kini aku telah tiba di sebuah jalanan yang di depannya terdapat sebuah mesjid. Aku membaca kartu nama itu lagi dan mencocokkan nama jalannya. Jln. Radio II No. 14, sementara jalan tersebut bernama Jalan Radio saja. Apakah kesalahan atau memang sudah dekat aku tidak tahu.Aku tidak pernah ke daerah ini.
Sambil memegang gitar di tangan kanan, bersamaan dengan kartu nama itu, aku mencoba mencari orang yang dapat ditanyai. Beberapa tidak menggubrisku saat aku mencoba untuk menyapa dan bertanya.Sampai akhirnya aku terduduk di trotoar jalan dengan badan yang penuh keringat.
“Hei, kau!” sebuah suara berat dan tegas menghardik ke arahku. Aku berpaling dan mendapati seorang pria dewasa berbadan tegap dengan pakaian security datang tergesa-gesa ke arahku.
“Ikut saya!” katanya tiba-tiba sambil menarik tanganku.
“Cepat!” lanjutnya lagi. Aku yang tidak berdaya membiarkan pria itu menarik tanganku. Aku berjalan dengan susah payah karena mencoba untuk mengimbangi kecepatan pria itu.
“Pak, pelan-pelan. Jangan paksa saya seperti ini. Bapak tidak lihat kondisi saya?” tegurku saat aku hampir saja terjatuh.
“Halah, kamu ini.Masih kecil, cacat, tapi mencuri!” hinanya dengan cela yang sangat menusuk hatiku. Aku memang masih kecil dan cacat, tapi tidak pernah terlintas di dalam hatiku untuk mencuri! Bahkan walau kondisiku seperti ini aku tidak mau mengemis.
Pria itu membawaku ke kantornya yang menjauhi jalanan yang tadi kutuju. Di kantornya yang berukuran kecil dan berada di depan sebuah minimarket. Dia mendorongku ke dalam kantornya yang membuatku hampir terjatuh lagi.
“Ini dia orangnya, Pak!” kata pria itu tanpa ada rasa kasihan. Seorang pria menggunakan pakaian kemeja rapi memperhatikanku. Di sampingnya ada seorang wanita muda berparas cantik memakai seragam berwarna krem. Di dadanya tertulis nama Indah, dan menunjukkan bahwa dia seorang kasir.
“Bagaimana Indah, apa dia orangnya?” tanya pria berkemeja itu.
“Saya tidak yakin, Pak Arto.Saya tidak melihat dia memasuki minimarket kita,” jawab Indah. Aku hanya terduduk sambil menundukkan kepalaku. Tongkatku terjatuh di lantai, tepat di samping diriku.
“Tapi, Pak. Dia dalam keadaan terengah-engah dan penuh keringat ketika saya menemukannya,” kata security yang menangkapku.
“Coba saya tanyakan dulu, Togar” jawab Pak Arto lembut.
“Apa kamu mencuri barang dari minimarket saya?” tanya Pak Arto. Aku tidak bersuara, hanya menggelengkan kepalaku.
“Lalu kenapa kamu berkeringat?”
“Saya lelah.Bapak lihat sendiri keadaan saya,” jawabku sambil menatap wajah Pak Arto. Di sudut pandanganku, aku melihat security bernama Togar itu bergumam tidak jelas seperti menghina.
“Saya hanya mencari alamat,” kataku sambil menunjukkan kartu nama yang sudah basah di tanganku. Pak Arto mengambil kartu nama dari tanganku itu dan membacanya. Togar mendekati Pak Arto, ikut membaca kartu nama itu dan sepertinya membisikkan sesuatu kepada Pak Arto.
“Jaga mulutmu, Togar. Aku tidak ingin menghukum orang yang tidak bersalah. Apakah kau tidak lihat keadaannya, dia tidak memiliki kaki kanan! Bayangkan anakmu berada di keadaan seperti dia saat ini,” kemarahan Pak Arto meledak tiba-tiba.Aku hanya mendengar sambil tertunduk. Ada rasa lega yang timbul dalam hatiku.
“Sudah biarkan saja yang mencuri itu. Biar dosa dia yang menanggung,” kata Pak Arto bijak.
“Sekarang, maafkan kesalahan pegawai saya, Dik,” kata Pak Arto kepadaku.
“Iya, Pak. Tidak apa-apa,” jawabku pelan.
“Sekarang, biarkan saya antar kamu ke alamat ini,” katanya sambil mengembalikan kartu nama itu. Aku tercengang, tidak menyangka akan hal ini. Pak Arto keluar dari kantor itu dan beberapa menit kemudian sebuah mobil sedan berwarna biru tengah malam berhenti tepat di depanku.
***
Ternyata aku hanya kurang berjalan tiga blok dari persimpangan utama Jalan Radio tadi. Kini aku telah tiba tepat di depan sebuah rumah bercatkan putih. Usai mengucapkan terima kasih, aku turun dari mobil Pak Arto dan menghampiri rumah itu.
“Permisi!” aku berteriak dari luar pagar.Penghuni rumah yang terlihat seperti studio musik itu berjalan keluar dan menghampiriku yang berdiri di pagar.
“Kamu Jaka, kan? Pengamen yang bagus itu suaranya?” tanya Mas Lukman yang membukakan pagar.
“Kebetulan banget kamu datang hari ini.Ayo masuk!” Mas Lukman membuka pagar dan bersama-sama denganku memasuki rumahnya.
Di dalam rumah terasa sejuk. Setiap ruangan memiliki pendingin ruangan tersendiri dan di dalam rumah itu ada seorang pria dan dua wanita yang sepertinya seumuran dengan Mas Lukman.
“Jaka, perkenalkan ini Mas David, Mbak Ine dan Mbak Melli,” Mas Lukman memperkenalkan satu per satu temannya.Aku menyalami satu per satu teman Mas Lukman dan duduk di sofa.
“Mas dan mbak-mbak ini udah nungguin kamu. Saya kira kamu enggak bakalan datang,” kata Mas Lukman.
“Memangnya ada apa, Mas?” tanyaku tidak mengerti.
“Saya udah memberitahu mereka tentang suara kamu yang bagus. Kami berempat ini tergabung di dalam satu band, namanya The Cube,” jawab Mas Lukman.Aku masih tidak mengerti.
“Kami hanya bermain musik instrumental. Jadi tidak ada yang nyanyi. Permainan musik kami berbeda, jadi kami membutuhkan vokal yang berbeda juga. Nah, waktu saya jumpa kamu saya merasakan bahwa suara kamu cocok untuk vokal kami,” lanjut Mas Lukman.
“Jadi intinya, kami ingin merekrut kamu sebagai vokalis kami. Kami sudah rekaman instrumen, tapi belum untuk vokal,” Mas David menyambung penjelasan Mas Lukman.
“Jadi—jadi saya jadi vokalis, gitu?” tanyaku tidak percaya.
“Iya,” jawab Mbak Ine singkat sambil membetulkan topi yang ia pakai.
“Ngomong-ngomong, coba kamu nyanyi deh. Kami pengen dengar suara kamu,” lanjutnya disambut anggukan setuju dari Mbak Melli dan Mas David.
“Er—oke,” jawabku sambil menarik gitarku yang berada di samping sofa.Aku mulai memetik gitarku.
“Ku buka—tunggu Mas, Mbak.Saya agak grogi,” kataku menghentikan lagu. Mbak Ine tertawa kecil sementara lainnya cengengesan. Aku tertawa malu, dan kemudian kembali memetik gitar dan bernyanyi dengan tenang.
“Bagus.Luar biasa suaramu,” puji Mas David.
“Tidak salah kau bawa dia, Man,” kata Mbak Ine.
“Nah, kalau begitu, tinggal tunggu apa lagi? Dia cocokkan?” tanya Mas Lukman.
“Cocok, cocok!” jawab Mas David bersamaan dengan Mbak Ine dan Mbak Melli.
***
Seminggu sudah berlalu. Selama seminggu itu aku telah masuk dapur rekaman lebih dari jumlah hari dalam seminggu. Produser band The Cube tidak menyangka dengan hasil yang sangat cepat ini dan mereka siap untuk meluncurkan album itu ke pasaran.
Dalam waktu sebulan, aku telah dikenal orang banyak, bersama dengan Mas Lukman, Mas David, Mbak Ine dan Mbak Melli. Ayahku kembali memiliki rasa semangat dalam hidupnya, dan beliau berkata bahwa aku mewarisi suara ibu, suatu hal yang selama ini tidak pernah kuketahui. Bu Juni bangga terhadapku, yang berhasil melawan kekurangan yang kumiliki, juga seluruh teman-temanku yang turut bangga dan bahagia akanku, terutama Wanda yang sangat baik kepadaku.Bahkan Inu yang juga semakin akrab denganku. Inilah aku, walau dengan kekuranganku.Inilah aku dan cita-citaku.