Jakarta, Kartunet.com – Kebebasan berekspresi adalah hak tiap manusia. Namun terkadang kebebasan tersebut berbenturan dengan kebebasan orang lain. Apalagi di internet dimana tiap orang punya akses yang sama tanpa memandang latar belakang. Pemahaman ini yang terlintas selama mengikuti rangkaian acara Focus Group Discussion (FGD) mengenai kebebasan berekspresi di internet yang diadakan oleh Internet Sehat ICT Watch di gedung IDC 3D Jakarta (07/07).
Acara yang didukung antaranya oleh XL dan AXIOO ini mengundang perwakilan blogger dari beberapa daerah representatif di Indonesia. Dari mulai Aceh, Medan, Banjarmasin, Pontianak, Surabaya, Jakarta, Makassar, Ambon, dan Papua adalah beberapa daerah yang tercatat di memori saya. Mereka dipertemukan oleh ICT Watch untuk menggelar sebuah diskusi mengenai kebebasan berekspresi dan merumuskan beberapa rekomendasi untuk para pengguna internet. Saya diundang mewakili Kartunet Community sebagai komunitas pemuda dengan disabilitas yang concern pada pemanfaatan teknologi informasi.
Pada sesi pertama yang bertajuk “Social Media for Social Movement”, ada sharing oleh Ayu Oktariani (@ayuma_morie) dari Indonesian AIDS Coalision (IAC). Ayu memaparkan bagaimana IAC menggunakan sosial media seperti Twitter dan Facebook sebagai media kampanye melawan stigma negatif pada orang dengan HIV AIDS (ODHA). Melalui akun twitter @ODHAberhaksehat IAC mengedukasi publik bahwa bukan para ODHA yang harus dijauhi, akan tetapi hanya HIV AIDS-nya saja. Dengan informasi yang benar mengenai cara penularan HIV AIDS, publik tak perlu menjauhi ODHA apalagi untuk sekedar bersalaman atau berinteraksi sosial.
Pergerakan Ayu dan IAC mengingatkan saya kembali pada apa yang dilakukan Kartunet dengan isu disabilitas. Inti dari tujuan pergerakan IAC adalah mengubah pandangan masyarakat yang pada umumnya menganggap ODHA adalah orang “nakal”, tidak bermoral, atau stigma-stigma negatif lainnya. Padahal tidak semua ODHA terjangkit HIV AIDS karena perbuatan negatif yang mereka lakukan sendiri. Sepertiyang dituturkan oleh Ayu bahwa dia bukan pemakai narkoba jarum suntik atau penganut seks bebas. Ia terjangkit HIV AIDS dari suami yang dinikahinya secara resmi. Maka, ia tak salah apa-apa dan tak rasional apabila masyarakat memberi stigma negatif untuk setiap ODHA.
Dalam kesempatan ini juga Ayu meminta partisipasi dari para blogger dan pegiat internet dalam kampanye @ODHAberhaksehat. Ayu bercerita bahwa saat ini baru tiga orang yang secara aktif berkontribusi dalam kampanye sosial media IAC. Tentu akan amat membantu apabila semakin banyak pegiat internet yang ikut dalam menyebarkan informasi positif mengenai ODHA. Hm, kurang lebih serupa dengan upaya yang dilakukan Kartunet Community. Perlu banyak pihak agar paham mengenai disabilitas dan ikut menyebarkan informasi tersebut.
Sebelum makan siang, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi “Kebebasan Berekspresi dan Dampaknya bagi Masyarakat” oleh Lokmant Sui dari Google Hongkong dan Dandhy Laksono. Kurang lebihnya Lokmant Sui yang juga seorang blogger ini memaparkan bagaimana perbedaan media konvensional dengan media baru saat ini. Bagaimana upaya untuk filtering di media baru hampir-hampir dikatakan mustahil. Informasi dan transparansi tak dapat dibendung lagi seperti media-media konvensional. Lokmant pun menjelaskan sudah ada Google Transparency report yang memaparkan tingkat transparansi informasi di tiap-tiap negara, dan Indonesia jadi salah satu concern google di Asia.
Sementara itu Dandhy Laksono yang juga seorang jurnalis, memulai pemaparannya dengan memutar video dokumenter mengenai sejarah sensorship di Indonesia. Video berpusat pada keberadaan departemen penerangan semasa Orde Baru dan Harmoko sebagai menteri saat itu. Dandhy menjelaskan bagaimana nasib media massa saat itu berada di tangan Departemen Penerangan dengan adanya SIUP atau Surat Izin Usaha Penerbitan. Sewaktu-waktu, apabila dirasakan sebuah media massa “membahayakan” bagi pemerintah, SIUP dapat dicabut oleh Departemen Penerangan.
Selanjutnya Dandhy mengemukakan observasinya pada semakin dikuasainya media-media nasional pada kekuatan-kekuatan oligopoli. Media demi media disatukan dengan cara membeli saham yang dikuasai oleh para konglomerat. Para pemilik ini kemudian membuat arah kebijakan pada media-media yang dikuasai dan termasuk orientasi politiknya.
Termasuk satu hal menarik yang diutarakan Dandhy adalah platform saat ini amat berperan dalam arah media. Content is not longer been the king, but platform is the one. Pernyataan ini berarti sebuah informasi, kemana mau diarahkan, tergantung dari oleh siapa informasi itu dikelola, dalam hal ini platform. Seorang pekerja media, mau tidak mau, harus mengikuti arah kebijakan dari pemimpin redaksi, yang juga dipengaruhi oleh pemilik dari media tersebut. Jadi tak sepenuhnya pekerja media dapat merdeka dan menginformasikan apa yang sebenarnya terjadi, melainkan apa yang sebenarnya diingini oleh platform.
Sungguh diskusi yang menarik, apalagi setelah jeda ISOMA dilanjutkan sesi diskusi berikutnya dengan topik “Kebebasan Berekspresi dan Media Sosial Kita”. Kali ini diskusi menghadirkan Yogi Nugraha dari Kompas TV dan Shita laksmi dari HIVOS Indonesia. Shita memaparkan hasil-hasil penelitiannya di HIVOS mengenai media komunitas. Ia menitik beratkan bahwa media komunitas menjadi seperti “angin segar” di antara media-media mainstream yang sarat dengan kepentingan industri. Media komunitas mengungkap apa yang oleh media-media mainstream tidak dianggap “sexy” tapi sebetulnya dibutuhkan oleh warga komunitas.
Dari paparan Shinta Laksmi itu saya memperoleh semangat baru pada Kartunet sebagai media komunitas. Bahwa Kartunet.com sebagai Media Komunitas pemuda dengan disabilitas punya peranan penting untuk membawa isu-isu disabilitas yang selama ini tenggelam di ranah publik. Kartunet.com punya tanggung jawab besar untuk mengkonversi suara-suara para penyandang disabilitas di berbagai daerah untuk kemudian dapat diakses oleh publik melalui internet. Saya yakin apa yang diperjuangkan Kartunet Community bukan sesuatu yang utopis, melainkan sebuah upaya untuk memperbaiki negeri ini yang telah memarginalkan penyandang disabilitas.
Di sisi lain, Yogi Nugraha yang sudah malang melintang di beberapa media besar mengungkapkan isi dapur dari redaksi media. Yogi mengakui bahwa sebagai pekerja media, ada idealisme-idealisme sebagai wartawan yang dikebiri ketika bersentuhan dengan kepentingan pemilik platform. Berbeda dengan para blogger atau pegiat jurnalisme warga yang lebih bebas dalam mengungkapkan pendapatnya, ada aturan-aturan redaksi yang membatasi kebebasan berekspresi pekerja media.
Menjelang sore, lokasi acara pindah ke House of Eva yang tak begitu jauh dari IDC 3D Jakarta untuk sedikit beristirahat dan memulai Focus Group Discussion (FGD). Pada FGD ini, peserta dibagimenjadi empat kelompok besar yang di antaranya membahas topik keberagaman informasi, asimetris informasi, polemik hak cipta, dan persoalan privacy terhadap transperancy.
Ada beberapa hal menarik yang menjadi perhatian saya. Mengenai asimetris informasi, yaitu sebuah keadaan ketika informasi untuk sekelompok masyarakat terpinggirkan atau dipersulit oleh kelompok lainnya. Biasanya yang mendapatkan perlakuan seperti ini adalah kelompok-kelompok marginal seperti penyandang disabilitas, kaum papa, ODHA, LGBTQ, dan kelompok-kelompok minoritas lainnya. Mereka biasanya tidak punya akses informasi secara meluas. Seperti amat terbatasnya informasi mengenai disabilitas dan HIV AIDS yang mudah dikonsumsi masyarakat. Dampak dari asimetris informasi ini adalah semakin tersisihnya kelompok-kelompok marginal dan seakan terabai dari perhatian. Maka, dirasakan penting untuk membaurkan kelompok-kelompok marginal ini di tengah masyarakat agar tidak terjadi social gep.
Menarik juga ketika dibahas tentang kebebasan berekspresi dan perbenturan antara privacy dan transparency. Perbenturan ini telah menghasilkan beberapa kasus yang karena ingin berekspresi, kemudian dikriminalisasi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Mas Heru Tjatur selaku wakil dari kalompok yang membahas isu tersebut, mengutarakan bahwa dalam media seseorang punya dua hak sekaligus yaitu privacy dan transparency. Hak untuk meminta transparansi terkaitsebuah layanan publik dimiliki oleh setiap orang. Di sisi lain, seseorang punya hak privasi untuk tidak menunjukkan identitas sebenarnya ketika meminta transparansi di muka publik, termasuk media internet. Masalah akan terjadi ketika pihak yang diminta untuk transparan tidak memenuhi kewajibannya, dan pihak yang menuntut dan membeberkan sebuah keburukan tidak menyamarkan identitasnya.
Ada pembahasan pula tentang posisi blogger atau aktivis internet yang amat lemah di mata hukum ketika berada di jurnalisme warga. Ketika sebuah tulisan dibuat dengan kaidah-kaidah jurnalisme, maka penulis sudahm asuk dalam ranah hukum pers. Perlakukan hukum yang dapat dikenakan kepada pers resmi juga dapat dikenakan pada para blogger atau aktivis internet. Dari sini diperlukan sebuah perlindungan hukum yang dalam forum dikemukakan bahwa Asosiasi Jurnalisme Independen (AJI) siap menjadi pembela apabila terjadi kasus-kasus tersebut.
Namun sebagai upaya preventif, pakde @BlontankPoer memberikan saran agar ketika menulis sebuah investigasi, sebaiknya dilakukan dengan cara-cara yang santun termasuk mengaburkan individu atau kelompok yang sedang dibicarakan. Dengan teknik yang tepat, pembaca tetap akan dapat persepsi yang dimaksudkan oleh penulis akan tetapi tidak terbuka peluang untuk mencemarkan nama baik secara frontal.
FGD diakhiri dengan kesepakatan untuk memberikan waktu pada panitia kecil untuk merumuskan rekomendasi-rekomendasi dalam isu kebebasan berekspresi. Semoga dengan hasil FGD ini, dapat menjadi panduan bagi pegiat internet agar dapat lebih cerdas dalam kebebasan berekspresi. Kehati-hatian bukan berarti terkekang, akan tetapi lebih bijak dalam menggunakan cara-cara yang elegan dalam berekspresi. Terima kasih untuk ICT Watch Internet Sehat yang sudah mengundang Kartunet Community dalam event yang mencerdaskan ini. (DPM)