Pagi ini, kegundahanku sudah amat memuncak, hampir mendidihkan otak yang bersemayam di ubun-ubunku. Sebab, hari ini aku harus menentukan pilihan, pada kedua acara yang menurutku sama-sama penting.
Kebetulan, di wilayahku, akan diadakan dua acara Maulid Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Salam. Di musholah Nurul Yakin dekat rumahku, dan di Masjid Nurul Iman yang berada di bagian perumahan elit tidak jauh dari lingkunganku. Namun yang menjadi persoalannya adalah, bukan terletak pada acara yang mana yang seharusnya aku hadiri, cuma di kedua acara itu aku ditawari sebuah tugas yang bisa dianggap bukan tugas ringan juga.
Di mushalah dekat rumah, aku ditugaskan untuk tilawatil Qur’an, tugas ini sudah diamanahkan sejak sebulan yang lalu oleh ketua RT dengan permohonan yang amat sangat berharap. Akan tetapi tiba-tiba saja, Pak Ishak yang juga sebagai atasan di kantorku, menjadi ketua panitia di perumahan elit itu. Beliau pun mendatangiku dua hari yang lalu untuk menjadi MC di Masjid Nurul Iman, karena acaranya merupakan acara Tabligh akbar bersama para ustadz kondang dan Haba’ib. Mereka amat sangat membutuhkan kesediaanku, karena Fahrul, MC yang seharusnya bertugas, tiba-tiba kena DBD dan tidak bisa memimpin acara karena masih dirawat di rumah sakit.
”Aduh Pak…, saya gak bisa, karena saya sudah di amanahkan oleh Pak RT di lingkungan saya, untuk mengisi acara di Musholah Nurul Yakin di dekat rumah saya.” Kataku kepada Pak Ishak, di kantin ketika makan siang.
”Aduuuu…, tolong deh Cuma kamu yang saya bisa percaya untuk memimpin nih acara, soalnya nih acara maha penting. Kami mengundang ustadz-ustadz kondang, beserta orang-orang penting termasuk Menteri agama dan Menteri sosial, kalau sampai berantakan, bisa kacau semuanya!” Kata Pak Ishak dengan nada memohon.
Memang sih, menurut orang-orang, ilmu public speaking-ku tergolong hebat, jadi mereka tidak meragukanku sama sekali. Ku akui juga, tilawatil Qur’anku bahkan amat sangat standard sekali. Bahkan, ah…, jauh dibanding kalah bagus dengan Rehan adiku yang baru berumur 10 tahun. hal itu pun yang terkadang membuatku menyesal, kenapa dulu aku sama sekali tidak mau masuk ke Madrasah atau pesantren, bahkan lebih memilih masuk sekolah reguler dan menempuh pendidikan di bidang komunikasi, khususnya public speaking. Kemauanku itu bukan tak ada hambatan, sempat aku didiamkan kedua orang tuaku selama sebulan lebih karena aku yang susah diatur dalam hal pendidikan. Mereka ingin aku menimba ilmu agama di Madrasah atau pesantren seperti saudara-saudaraku yang lain. Tetapi aku berkeras hati dan berkepala batu untuk tidak mau mengikuti jejak mereka, karena aku ingin berbeda dari mereka. Ya ini hasilnya, aku lebih menguasai ilmu keduniaan dibandingkan ilmu akhirat.
”OK, saya pikirkan lagi Pak, nanti saya rundingkan dulu sama Pak RT, apakah saya bisa dibebas tugaskan dalam tilawatil Qur’an di musholah. ” Kataku dengan pandangan penuh keyakinan kepada Pak Ishak.
”OK Zal, saya tunggu kabar selanjutnya.”
”Baik Pak,, ” Kataku sekali lagi memberi pengharapan kepada beliau.
Pak Ishak pun mengembangkan senyuman terindahnya yang berlapis kebahagiaan itu. Aku pun ditraktirnya makan di kantin itu.
Setiba di rumah, Aku pun langsung membicarakan masalahku kepada Pak RT, namun hasilnya tidak begitu baik. Pak RT bersikeras menugaskanku mengisi tilawatil Qur’an di musholah itu.
”Kan ada Bang Furqon Pak, dia bacaannya lebih bagus dari saya.”
”Furqon gak bisa Zal, dia ada tugas di luar kota. Sedangkan kalau kita mendatangkan qori dari luar, kami enggak sanggup nyiapin dana transport-nya.” Kata Pak RT dengan penuh kelembutan dan nada memohon.
”Nanti saya hubungi teman kerja saya Pak, dia jago qori, dan enggak usah takut dengan dana transport. Lagi pula, walau pun saya sudah mempersiapkan diri untuk tilawatil ’qur’an, saya merasa masih kurang bagus.”
”Tidak…, apa pun alasannya, apa pun kondisinya, saya tetap minta kamu untuk baca tilawatil Qur’an, karena semua pengisi acara kali ini adalah semuanya warga kita. Enggak ada satu pun orang luar. Masalah kamu jago atau tidak tilawatil Qur’an, bukan jadi masalah buat kami.”
Sejenak aku menarik nafas, beristigfar, memohon petunjuk dari yang Maha Kuasa. Memang, aku sudah jauh-jauh hari mempersiapkan Tilawatil Qur’an-ku, walau pun aku hanya membaca surat “Alam Taro” namun aku ingin bacaannya benar. Tidak jarang aku pulang larut malam, hanya untuk melewatkan waktuku bersama ustadz Rosyid mempelajari tilawatil Qur’an, tidak jarang juga aku kena bentakkan beliau, atau pun sabetan sorban beliau ke tanganku, karena sering mengulang kesalahan yang sama.
Selama penggemblengan itu terkadang aku berfikir, mengapa aku harus setekun ini, toh warga di lingkunganku pun tidak terlalu peduli masalah hukum agama, yang mereka tau Maulid nabi hanya suatu tradisi turun temurun yang harus dilaksanakan setiap tahunnya. Masalah ajaran-ajaran keagamaan, mereka tidak terlalu ambil pusing. Seharusnya aku tidak terlalu memikirkan bacaan qur’an-ku, namun mengingat kisah penuntutan Qur’an terhadap orang-orang yang asal-asalan membacanya, membuatku menjadi bergidik ngeri. Karena menurut yang aku dengar, Qur’an akan melemparkan mereka semua ke neraka.
”Jadi, kesimpulannya, kamu harus tetap mengisi tilawatil Qur’an di musholah kita tercinta ini titik, gak ada koma…!”
Aku pun pulang dengan kepala tertunduk dan hati gelisah, ingin aku menjerit melihat kondisi seperti ini. Aku sholat malam, dan memperpanjang sujudku, menangis dan mengadukan semuanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menyesali atas segala keputusanku yang mengapa dulu tidak secara fokus menimba ilmu agama saja.
Hingga keesokan harinya, aku masih terus merasa bimbang, karena Pak Ishak kembali menanyakan kepastianku. Aku katakan aku tidak bisa, namun ia tetap berharap penuh aku bisa. Bahkan Pak Ishak siap mencarikan qori pengganti untuk mengisi acara di musholahku, walau pun Pak RT tetap bersih keras menginginkan aku. Hingga Pak Ishak menawarkan diri untuk mengajak seluruh warga di lingkunganku untuk menggabungkan acara mereka di masjid kompleksnya, tetap Pak RT tidak mau.
”Kita sudah menyusun konsep acara sedemikian rupa, tidak mungkin diubah-ubah lagi. Saya tetap tidak bisa mengizinkan Rizal untuk menjadi MC di sanah, walau pun presiden yang memintanya. Titik, gak ada koma…!” Tegas Pak RT.
Aku dan Pak Ishak sama-sama pusing dengan pendirian Pak Rt yang begitu kerasnya.
”Yaudah begini aja Pak, aku akan carikan penggantiku untuk memimpin acara di Masjid perumahan Bapak, Insya Allah dia gak akan mengecewakan acara yang telah tersusun rapi. Saya punya banyak kenalan MC yang juga hebat-hebat.”
”Yasudahlah, mau gimana lagi, saya serahkan ke kamu, tapi janji ya, MC-nya gak malu-maluin saya dan tim panitia.” Kata Pak Ishak dengan nada pasrah.
”Baik Pak!!!” Aku memberikan harapan penuh dan memastikan bahwa semuanya ok.
”Ini, DP dari panitia, sisanya entar dikasih setelah acara!” Pak Ishak mengeluarkan sebuah amplop dari saku jasnya.
”Lima ratus ribu.” Lanjut Pak Ishak sambil memberikan amplop itu ke tanganku.
”Terimakasih Pak, Insya Allah MC pengganti siap pada hari H.” Kataku sambil menerima amplop itu lalu memasukkannya ke kantong celanaku.
Sepanjang hari itu, aku menghubungi semua kenalanku yang jago dalam hal publik speaking. Namun entah kenapa, semua orang yang aku hubungi, sudah mempunyai jadwal sendiri-sendiri. Aku tambah pusing, ingin rasanya aku kembalikan uang DP ini, dan menyerahkannya kepada Pak Ishak, namun keadaan tidak bisa berbicara seperti itu, amanah tetap amanah, harus dipertanggung jawabkan. Aku pasrah, dan menyerahkan semua urusan kepada yang Maha Kuasa.
Hingga di penghujung senja, datanglah seorang temanku. Namanya Josep Simanjuntak. Wajahnya kusut dan pucat sekali. Aku bertanya namun dia langsung menjatuhkan dirinya di sofa.
”Ada apa sih emangnya?”
Aku mendekatinya lalu merangkul bahunya.
”Gue…, minta bantuan lo Zal…”
“Bantuan apa emangnya?”
“Gue, butuh dana, buat pengobatan adik gue. Dia kecelakaan, dan butuh dana besar buat pengobatannya.”
”Yaampun, gue turut prihatin, berapa emangnya?”
”Tiga juta Zal…, itu baru uang muka perawatan di rumasakitnya, belum hal yang lain.” Aku terkejut.
”Gue minta maaf, kalau mungkin gue salah dateng ke lo, tapi gue dah panik banget Zal, adik gue kritis sekarang dan pihak rumah sakit belum mau menangani adik gue kalau keluarga korban belum memberikan uang muka.”
Kembali aku istigfar,
”Sebentar…” Aku bergegas ke kamar, membuka laci lemari dan mengambil sejumlah uang yang baru saja ku terima dari arisan di kantorku.
”Nih, ada sedikit uang.” Aku memberikan uang itu bersama uang muka yang telah aku terima dari Pak Ishaq.
”Terimakasih Zal, ” Serentak wajahnya berubah senang setelah menerima uang itu yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Namun kini wajahku yang berubah menjadi tak karuan, lebih kusut dari wajah temanku sebelumnya.
”Ada apa my friend?” Dia sekarang yang bertanya kepadaku.
”Gak, ga ada apa-apa, yaudah cepat urusin adik lo.”
“Apa lo berat minjemin uang ini ke gue?” Wajahnya juga ikut berubah sama pucatnya seperti aku.
“Gak…” Aku tambah pucat.
“Terus apa?”
”Ah…, gue cuma butuh MC, MC buat acara Maulid besok di Masjid Nurul Iman yang berada di kompleks sebelah.”
“Owh… Hahaha…, MC tenang aja my bro, gue bisa jadi MC kok!” Aku menjadi terkejut mendengar itu.
“Kenapa? Ada yang salah? Gue biasa jadi MC…”
“Tapi…, ta-pi…, elokan non…”
“Non Muslim maksud lo?”
“Emang apa salahnya?”
”Ya-ya…” Aku tidak bisa berkata apa-apa, saking terkejutnya.
”Acara agama lo gak boleh dipimpin oleh orang non muslim?”
Aku berfikir, aku juga kurang mengerti tentang hal tersebut.
”Tenang aja, kalau gue gak boleh mimpin tuh acara, gue cariin orang yang seagama buat jadi MC. Gue banyak kenalan.”, kata-katanya cukup melegakan diriku. Tapi Biar gimana pun, aku tidak mau timbul permasalahan gara-gara Mc.
”Tapi nih acara besar bro, jangan sampe sembarangan MC!”
”Owh, tenang aja, gue ngerti kok! Yaudah gue pamit dulu, gue harus buru-buru, lo tenang aja di sini, semuanya akan baik-baik aja.”
Aku hanya bengong.
”Ya, semoga adik lo bisa tertolong.” Aku menjabat tangannya.
Setelah itu, dia langsung melajukan sepeda motornya dengan cepat.
Detik-detik jarum jam seakan memukul-mukul kepalaku, keringat dingin terus bercucuran. Malam ini aku kembali datang ke rumah Ustadz Rosyid, untuk menguji bacaan tilawatil Qur’an-ku. Namun keinginan tidak sesuai dengan kenyataan, rumahnya tampak berbeda.
Yang aku herannya lagi, ada palangan garis polisi di depan rumahnya dan masyarakat berkerumun di sana.
”Ustadz Rosyid tertuduh terlibat dalam aksi terorisme. Sekarang dia sedang dicari-cari polisi.” Kata keterangan salah satu warga yang masih berkerumun di situ. Terlihat lubang bekas peluruh menembus pintu depan rumahnya. Aku terkejud, sungguh hal di luar dugaan. Aku hanya berdoa semoga Allah memberitahu yang mana yang salah dan yang mana yang benar. Karena menurutku, Ustadz Rosyid tidak ada tampang sebagai seorang teroris. Wartawan langsung memotret rumah beliau dan aku langsung kabur sebelum mereka melihatku.
Sepanjang malam itu, aku habiskan dengan terus latihan tilawatil Qur’an.
Ditengah-tengah latihanku, Pak Ishak meneleponku.
”Halo.”
”Zal, MC-nya udah ada?”
”Oh udah Pak,” Jawabku sekenanya saja.
”Siapa namanya?”
”Namanya…, namanya…, ah…” tiba-tiba sebuah SMS masuk di HPku. Dari Josep.
”Zal, besok yang jadi MC di acara tabligh akbar, namanya Muhammad Yusuf.”
”Oyah Pak , namanya Muhammad Yusuf, ”
”Oh, OK kalau begitu. Bilang, jam delapan tepat harus sudah sampai Masjid!”
”OK Pak.” Aku mengakhiri pembicaraanku dengan Pak Ishak.
”Jo, bilangin si Yusuf, dia suruh dateng jam delapan teng.” Kataku dalam SMS.
”Baik boss.” Balasnya beberapa saat kemudian.
Esoknya, pagi-pagi sekali, lagu kasidah telah mengalun di speaker Musholah. Mengundang para warga untuk menghadiri acara perayaan Maulid Nabi. Anak-anak riang gembira bermain di sekitar Musholah. Tidak jarang para merbot Musholah menghalau mereka jika mereka hendak merusak tanaman atau hendak menaikan sandal mereka ke dalam Musholah. Acaranya pun sederhana, hanya ada singkong rebus, pisang goreng, dan air teh sebagai minumannya yang semua itu hasil iyuran warga sekitar Mushalah. Panitia bekerja suka rela tanpa dibayar, begitu pun seluruh pengisi acaranya. Walau pun sederhana, acara tetap dibikin meriah, dengan tabuhan marawis dari para pemuda di lingkunganku. Aku semakin bergetar menunggu detik-detik penampilanku. Cerita-cerita tentang penuntutan Qur’an di akhirat, semakin nyata terngiang di telinga, hingga aku merasakan nyata dari kisah itu. Ingin rasanya aku kabur dari acara ini, namun melihat muka-muka ceriah dari para warga, keberanianku agak sedikit terpompa.
”Selanjutnya pembacaan ayat suci al’qur’an yang akan dibacakan oleh ustadz Syamsul. Rizal.” Aku jadi terhenyuh mendapat gelar itu, mukaku pun memerah karena mengetahui betapa sangat dangkalnya ilmu agama yang aku miliki. Akhirnya aku gunakan ilmu publik speaking-ku terutama dalam pengendalian diri. Ketika tampil, dengan tenang dan memastikan semuanya baik-baik saja, aku mulai bertilawah dengan menggunakan Irama Hijas. Semua orang diam, suasana menjadi sunyi. Aku berusaha untuk menghayati setiap huruf yang aku baca. Dan entah mengapa, kondisi yang sama pun terjadi di Masjid kompleks tetangga, ketua Panitia menghentikan sambutannya sejenak untuk mendengar alunan sebuah suara yang menyayat hati. Jamaah di masjid itu tenang, ikut mendengar suara yang datangnya dari sebuah Musholah kampung yang tidak jauh dari Masjid itu.
”Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar!!!” Sejenak seluruh warga kampung yang ada di musholah itu bertakbir setelah mendengarkan tilawah yang dibacakan olehku. Semua berdiri, lalu menyalamiku. terlihat Pak RT mencucurkan air mata sambil memeluku.
”Terimakasih nak, terimakasih, Bapak cuma bisa mendoakan agar kamu menjadi anak yang sukses dunia akhirat.” Katanya sambil terisak-isak.
”Amin Pak, ” Aku ikut mencucurkan air mata hingga kami saling berpelukan beberapa lamanya. “Ustadz Zulfikar…” teriak Salah satu dari warga yang ada di musholah. Semua mata langsung memandang ke arah luar musholah. Dan benar saja, ustadz Zulfikar, Ustadz yang digemari sejuta umat memang benar-benar datang ke Musholah mereka.
Tanpa dikomando marawis langsung ditabuh menyambut kedatangan Ustadz Zulfikar, baik tim panitia mau pun ketua RT menjadi bingung dan heran mengetahui kenyataan ini.
”Siapa yang ngundang?”
”Gak tau.”
Bisik-bisik tim panitia.
”Duh ga ada dana lagi.”
”Ya mungkin kita gadai sepeda motor kita.” Mereka menjadi panik.
”Selamat datang kepada Pak Ustadz Zulfikar, selamat datang di Musholah yang sederhana ini, baiklah langsung saja kita dengarkan tausiah dari Pak ustadz Zulfikar. Kepada beliau kami persilahkan!” Kata MC dengan nada polosnya.
Tanpa ragu, Ustadz Zulfikar langsung naik ke atas mimbar dan menyampaikan ceramahnya.
Di Masjid Nurul Iman kompleks tetangga, tim panitia tampak gelisah, karena Ustadz yang mereka tunggu-tunggu belum juga datang.
”Sambil menunggu Ustadz Zulfikar, baikla kita selingi dulu dengan penampilan dari Senada.” Kata MC yang membawakan acara itu.
Tim nasyit itu langsung mengisi kekosongan waktu dengan menyanyikan lagu Demi Masa.
Di belakang panggung, seksi acara sedang menelepon seseorang.
”Halo?”
”Iya halo Pak,”
”Kami dari Masjid nurul Iman, ingin tau posisi Ustadz Zulfikar Pak. Kira-kira sudah sampai di mana ya?”
”Pak Ustadz sudah sampai Di Musholah Nurul Yakin Pak, dan sekarang sedang menyampaikan ceramahnya.”
”Nurul yakin?”
”Iya Nurul yakin. Bukannya Bapak mengundang ustadz kami untuk ceramah di nurul yakin?”
Sejenak panitia menjadi terkejut.
”Hlo, bukan Pak, acaranya di nurul Iman. Bukan Nurul yakin. Jaraknya masjid kami gak jauh dari Musholah Nurul Yakin. Pihak kami telah berjaga-jaga di gerbang masjid.”
”Menejer menjadi garuk-garuk kepala, dan meneliti kembali undangan di tangannya. Di situ memang tertera nama Masjid Nurul Iman bukan Nurul Yakin. dan alangkah terkejutnya, ketika menejer meneliti peta undangan itu. Ternyata Ustadz Zulfikar telah salah alamat. Bergegas menejer itu menghampiri mimbar dan membisikan sesuatu. Sejenak muka Ustadz Zulfikar memerah, namun dia kembali tenang.
”Suruh pindah ke sini aja, ” Bisik Ustadz Zulfikar kepada menejer.
”Pak, maaf, karena kesalahan teknis terpaksa kami tidak bisa mengisi ceramah di NurulIman. Gak mungkin jamaah Nurul Yakin kami kecewakan. Sekarang gini aja, bagi para undangan yang mau mendengarkan ceramah Pak ustadz Zulfikar, langsung saja berpindah ke Musholah Nurul Yakin.”
”Hlo gak bisa begitu dong Pak, kamikan telah memberi DP kepada Ustadz Zulfikar yang nggak sedikit jumlahnya, masa mau dibatalkan begitu saja.”
”Gak dibatalkan, cuma dipindahkan!”
”Yasudah Pak, terimakasih.” Panitia menutup telpon.
Di Nurul Iman, para undangan mulai mengosongkan kursi mereka masing-masing.
”Bapak-Ibu sekalian, harap bersabar, Pak Ustadz sebentar lagi akan tiba!” Kata MC mengatasi suasana. Namun para undangan semakin gaduh, rumor Pak Ustadz Zulfikar sedang mengisi ceramah di Musholah Nurul Yakin, lebih cepat menyebar ketelinga mereka dibandingkan ketelinga MC itu sendiri. Acara menjadi berantakan dan Tim panitia pun kocar kacir menghalau para undangan. Namun sia-sia saja, mereka telah bergegas ke Musholah Nurul Yakin. Acara berhenti begitu saja. Tim Senada langsung turun tanpa dikomando lagi.
MC menjadi bingung karena sudah tak ada seorang undangan pun yang hadir di situ.
”Langsung aja di matikan soundsystemnya!” Perintah Panitia kepada teknisi.
”Ada apa ini?” Tanya MC.
”Pak ustadz pindah ceramah.” Kata salah satu dari panitia itu dengan muka bingung.
”Ke mana?”
”Nurul Yakin.”
MC itu menjadi terkejut dan dia pun langsung menyusul mereka semua ke Musholah Nurul Yakin.
Di Musholah Nurul Yakin, Pak RT dan warga yang lain menjadi tambah bingung, tat kala serombongan orang-orang penting mendatangi kampung mereka. Dengan Pakaian rapi khas pejabat, mereka berjalan mendatangi Musholah Nurul Yakin.
Seluruh warga bertanya-tanya, sebenarnya ada apa.
Pak RT pun sibuk menyambut kedatangan mereka dengan wajah yang semakin bingung. Tim senada pun ikut datang ke Musholah Nurul Yakin. Suasana menjadi sangat ramai sekali karena menteri agama dan menteri sosial pun ikut datang ke musholah Nurul Yakin.
Sedangkan Ustadz Zulfikar semakin semangat menyampaikan ceramahnya.
Aku hanya termenung menyaksikan kondisi ini, dan hanya duduk diam mendengarkan ceramah Ustadz Zulfikar.
”Maaf, kalian mau mendengarkan ceramah saya, atau melihat orang-orang itu?” Tegur Ustadz Zulfikar mengatasi kegaduhan para Jamaah Musholah Nurul Yakin.
Mereka pun kembali terdiam. Setelah itu Pak Ustadz melanjutkan ceramahnya. Beliau sedang membicarakan tentang bagaimana sikap Rosulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengatasi gangguan para teroris ketika di zaman kenabiannya. Ustadz Zulfikar menjelaskan, bahwa sabar merupakan salah satu kunci utama Rosulullah dalam mengatasi terorisme di zaman kenabiannya. Akhirnya satu per satu gangguan teroris itu, dapat diatasi seiring dilakukkannya tindakan-tindakan penyadaran kepada tokoh-tokoh penting penggerak aksi terorisme ketika itu.
”Jadi, Rosulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling bijak dalam mengatasi gangguan keamanan ketika di masa pemerintahannya. Bukan dengan cara langsung membunuh mereka atau menangkapnya. Tetapi memberi mereka nasihat-nasihat agama terlebih dahulu hingga mereka benar-benar mengerti. Kecuali jika mereka sudah tidak bisa dinasehati, barulah Rosulullah mengambil tindakan perang. Maka dari itu, untuk mencegah tindakan terorisme, yuk mari kita bergandengan tanggan satu sama lain sambil terus mempelajari ilmu agama yang penuh perdamaian dan toleransi ini.” Mereka pun menganggukan kepala sebagai tanda setuju.
Akhirnya Ustadz Zulfikar menutup ceramahnya beberapa menit kemudian. Lalu tim senada memberikan persembahannya kepada warga Musholah Nurul Yakin. Dengan menyanyikan lagu Jagalah Hati, para warga tampak senang dan terhibur. Tidak sedikit dari mereka, ikut melantunkannya.
Aku terharu melihat kemeriahan acara yang diselenggarakan oleh lingkunganku. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur kepada yang Maha Kuasa.
Setelah itu Pak RT memberikan sambutannya. Beliau mengucapkan rasa terimakasih yang teramat dalam kepada warga Masjid Nurul Iman, karena telah memberikan kejutan tak terduga. Dan beliau pun memohon maaf karena beliau dan warganya tidak dapat mempersiapkan segala sesuatunya untuk para tamu agung. Dan setelah sambutan ketua RT, acara pun kemudian ditutup. Para warga menjadi sangat bahagia dengan kemeriahan acara mereka. Tidak diragukan lagi, Pak RT menjadi pujian para warganya karena berhasil mengundang Ustadz Zulfikar ke tengah-tengah mereka.
Aneka makanan lezat dari Masjid Nurul Iman, langsung dilimpahkan ke Mushalah Nurul Yakin. Anak-anak kampung langsung berebut makanan itu, namun panitia mengatakan “Semua pasti kebagian! Semua pasti kebagian!” Aku melihat menteri sosial sedang bercakap-cakap serius dengan Pak RT. Aku langsung bergegas meninggalkan musholah dan kembali ke rumahku. Aku turut bahagia, dan aku bersenandung riang di ruang tamu.
”Hai bro…!!! Selamat yeh!” Aku terkejut oleh tepukan Josep yang ternyata telah dulu ada di ruang tamuku.
”Josep? Selamat apanya?”
”Selamat karena lo dah sukses tilawatil qur’an di Musholah itu…” Senyumnya penuh arti.
Aku menjadi bingung sendiri.
”Dari hal apa lo bisa bilang begitu jo?”
”Dari para Habib dan kiai yang kebetulan aja denger suara lo.”
“Lah? Lo emang di mana?”
“Di Masjid Nurul Iman.”
“Ngapain?”
“Ya jadi MC-lah!”
Aku semakin terkejud dan berulang kali mengucap istigfar,
”Emang Yusufnya gak bisa?”
”Ya, Yusuf itu gue sendiri!”
Hampir aku pingsan.
“Gue pake nama Muhammad Yusuf, biar orang-orang itu gak curiga. Dan nama kecil gue emang Muhammad Yusuf. Nama pemberian dari Kakek, karena beliau mengidolakan Nabi muhammad dan nabi Yusuf. Dia penggemar buku-buku islam, hingga al-qur’an juga dia mampu baca.” Aku berdecak kagum.
“Ya, tapi cuma sebatas itu… Dia hanya sekedar mengidolakannya saja dan belum sempat mengikuti ajarannya hingga akhir hayatnya.”
“Oh…” Hanya itu yang mampu ku ungkapkan.
”Oya, ngomong-ngomong gimana keadaan adik lo Jo?”
”Ya itu masalahnya, dia belum siuman hingga sekarang, makanya gue pengen lo ikut gue ke rumah sakit.”
”Ngapain?”
”Ya…, jenguk adik gue lah! Sekalian kita memohon doa kepada Tuhan atas kesembuhan Adik gue.”
”Maaf, Jo, di dalam Islam, toleransi hanya sampai sebatas sosial, tetapi kalau urusannya dengan ibadah, itu udah lain cerita.”
”Iya-iya, gue ngerti itu. Yaudah, minimal lo mau datenglah, ya beri motifasi kepada adik gue.”
Akhirnya aku pun ikut Josua ke rumah sakit tempat Adiknya dirawat. Aku dikenalkan oleh kedua orang tuanya. yang tengah menunggui sesosok tubuh yang sedang terbaring lemah di dalam ruangan rumah sakit. Wajahnya masih menampakkan aura kecantikan walau pun tampak pucat.
”Grace, ini Bang Rizal, sahabat Kakak, semoga Tuhan memberkati dia, karena dia telah menolong kita semua untuk mengusahakan kesembuhanmu.”
Bibir itu perlahan mengeluarkan senyuman walau masih tampak lemah.
”Grace, kau cantik, menarik, kamu sudah punya pacar? Pasti,, pacar kamu sangat senang punya cewek secantik kamu.” Rayuku hanya sekedar main-main.
”Grace, cepet sembuh ya, Mamahmu, Papahmu, Ka Jo, bahkan Aku, amat sangat mengharapkan kesembuhanmu.”
Tiba-tiba, Jo menarikku ke sudut ruangan. Aku, mamah danPapah Jo, duduk di situ.
”Mah, Pah, Jo mau bilang. Sudah lama Jo ingin masuk Islam, tapi Jo gak mau bikin kecewa Mamah dan Papah. Mumpung ada Bang Rizal, Jo mau tanya Mamah dan Papah, kalian mengizinkan gak Jo masuk Islam?” Aku, bahkan Mamah dan Papah Jo serentak terkejut.
”Papah dan Mamah terserah kamu, kamukan sudah dewasa, sudah dapat membedakan segala sesuatunya. Ya kalau Islam itu menjadi pilihan hidup kamu untuk selanjutnya, kami dengan senang hati rela mengizinkan kamu masuk Islam.”
Jo pun senang mendengar jawaban mereka. Dalam hati aku pun turut senang.
”Silahkan Nak, bagaimana biar anak kami dapat diakui sebagai umat Islam?”
”Tinggal mengucapkan dua kalimat syahadat. Yang diucapkan secara lisan, kemudian dibenarkan dengan hati. Perlu saya bimbing Jo?”
”Tidak usah, aku sudah hafal.” dengan lancar dan mantap, Jo mengucapkan kalimat itu.
Tapi bukan itu saja, yang membuat aku terkejut, kedua orang tuanya pun ikut mengucapkan kalimat syahadat setelah Jo mengucapkan itu. Sungguh, aku tidak mengerti apa sebenarnya rencana yang Maha Kuasa.
”Anda semua yakin ingin masuk Islam?” Tanyaku kepada mereka mengatasi keterkejutanku.
”Ya, kami yakin sepenuh hati, keluarga kami harus selalu kompak sehidup semati.” Kata Bapaknya Josep mewakili mereka semua.
Jo kembali memeluk mereka.
”Alhamdulillah.” Kataku membatin.
Kembali kami menuju ke ranjang Grace, dan ternyata, grace sudah siuman.
“Grace?” Kata kami hampir berbarengan.
“Ashadu ala ilaha ilallah wa ashadu ana Muhammadu Rosulullah.” Suara itu meluncur begitu saja dari sebuah mulut mungilnya.
”Subhanallah, apa sebenarnya rencana Allah?” Tanyaku dalam hati.
Lalu setelah itu, aku pun memimpin doa untuk kesembuhan Grace yang di amini oleh mereka semua.
Tiga bulan sudah berlalu, Josep kembali menggunakan nama kecilnya yaitu Muhammad Yusuf, sementara keluarganya tetap menggunakan nama asli mereka. Dia dan keluarganya terus meminta bimbinganku dalam mendalami agama Islam. Terkadang aku malu, karena aku sendiri pun kurang begitu mendalaminya. Namun, biar bagaimana pun aku ikut termotifasi oleh mereka untuk ikut mendalami Agama Islam.
Di sisi lain, di lingkungan tempat tinggalku, dari hari ke hari tempat ini semakin makmur saja. Musholah Nurul Yakin dan Masjid Nurul Iman seperti Kakak Beradik yang tidak bisa dipisahkan. Bangunan- tempat ibadah itu pun selalu ramai oleh pengajian-pengajian. Warga semakin giat menjaga lingkungan mereka hingga sekarang terasa nyaman dan sejuk.
Dalam suatu sore, aku terlibat percakapan kecil dengan Yusuf.
”Zal, mau gak lo nikahin Adik gue?”
Sontak aku terkejud mendengar hal itu.
”Adik gue sepertinya jatuh cinta sama lo, sebagai Kakak sudah sepatutnya menyampaikan hal itu ke lo. Apa lo juga cinta ma Dia?”
Aku menjadi serba salah, ”Ya-ya… Ya…, gimana ya?“ Aku hanya senyum-senyum di hadapannya, sulit harus mengatakan apa. Jujur, aku memang naksir sama dia, tapi aku malu.
“Kalau lo cinta, besok lo ke Bang Syariah, lamar dia di sana!”
“Kok begitu?”
“Iya, besok dia ulang tahun, betapa romantisnya kalau lo melakukkannya di momen-momen yang tak terduga.”
Aku hanya mengangguk.
Besoknya aku langsung berangkat ke Bang Syariah.
”Asalamualaikum, selamat siang Pak, ada yang bisa kami bantu?” Sapa seorang custommer service dengan ramahnya.
”Waalaikum Salam, saya ingin menitipkan Emas saya.”
”Berapa gram dan berapa karat Pak?”
”tiga gram 24 karat.”
”Baik boleh saya lihat emasnya?”
Aku mengeluarkan sebuah kotak kecil mungil dari saku jasku. Dan memberikan kotak itu kepada tangan halus di seberang meja.
”Baik, saya periksa dulu.” Katanya dengan lembut. Dia langsung berjalan ke tempat pengujian.
”Ya, 3 gram 24 karat.” Katanya ketika dia kembali ke meja.
”Mohon tunggu Pak, saya siapkan dokumen-dokumennya.”
”Tidak usah, kamu pakai saja cincin itu di jari manismu.”
Sontak mukanya memerah.
”Jika kau bersedia menikah denganku, tolong pakai cincin itu!” Kataku dengan romantis.
Dia hanya memandangi cincin itu sejenak. Lalu dengan malu-malu, dia mengambil cincin itu dan memakainya di jari manisnya.
“Selamat ulang tahun Angelina, kita akan menikah sore ini juga selepas kamu pulang kantor. I love you.” Kataku sambil berbisik.
“Sekarang pun aku siap. I love you to.” Katanya pula dengan malu-malu.
Tiba-tiba saja, tanpa kami duga sebelumnya, barisan rombongan memasuki kantor bank. Ya, siapa lagi kalau bukan rombongan itu? Seluruh karyawan menyambut rombongan itu, dan memper silahkan mereka semua untuk duduk.
“Ya, tunggu apa lagi Pak. Kita mulai saja ijab qabulnya…” Kata salah/satu dari mereka.
“Saya nikahkan dan kawinkan anak saya, grace Angelina Binti Ramon Simanjuntak kepada Syamsul Rizal Bahari bin Abdul Karim dengan mas kawin sebuah Cincin 3 gram dibayar tunai…”
“Saya terima nikah dan kawinnya Grace Angelina dengan mas kawin tersebut tunai.”
Di siang itulah, disaksikan oleh manager bank, serta karyawan-karyawan di kantor itu, kami sah menjadi suami isteri.
Yusuf memelukku dan menangis terharu karena kami saat ini benar-benar jadi saudara.