Sepucuk Surat dari Mama Tersayang

Aku tak pernah lupa siang itu lima belas tahun yang lalu, hujan turun deras mengguyur kota Palembang dan aku yang baru saja pulang dari sekolah bersikeras untuk menerobosnya.

Di depan teras pertokoan, sekelompok anak laki-laki berlarian dan menabrakku. Aku jatuh tersungkur disana dengan lutut terluka. Sakit sekali. Lantas seseorang menyentuh bahuku dengan lembut. Aku mendongak. Ternyata dia adalah seorang ibu pedagang majalah kaki lima di depan pertokoan ini yang baru berjualan di sini. Dia berkata tak jelas—hanya terdengar huruf-huruf vokal a,i,u—sambil menggerak-gerakkan tangannya. Aku menggeleng, tak mengerti bahasa isyarat ibu itu. Ya, dia bisu.

Baca:  Celoteh Cadas Bantaran Sungai

Dia membimbingku duduk di bangku plastik di samping gerobak majalahnya dan mengobati lukaku. Pun dikeringkannya rambutku yang basah dengan handuk.

“Makasih ya bu. Ibu baik sekali. Nama ibu siapa? Ibu tinggal dimana dan, kalau boleh tahu, kenapa ibu sampai bisu?” tanyaku bertubi-tubi.

Ia memandangku sejenak sambil tersenyum. Dikeluarkannya sebuah buku dan pena dari dalam tasnya dan menuliskan sesuatu disana.

“Nama Ibu Maryam. Ibu baru pindah ke daerah ini. Ibu jadi bisu tuli karena kecelakaan hebat bertahun-tahun yang lalu.”

Aku membaca tulisan itu dan ber-oh panjang.

Ia menulis lagi,

” Namamu siapa, Nak? Kenapa tak dijemput orang tuamu?”

“Namaku Faila, Bu. Ayah bunda pindah ke Lampung, karena tugas ayah. Aku tak boleh ikut karena sayang dengan sekolah dasarku yang tinggal dua bulan lagi. Jadinya aku tinggal di rumah tante. Dan tante menyuruhku ke sekolah jalan kaki.”

Matanya seolah mengerjap tak percaya saat mendengar kata-kataku itu.

“Kalau kau mau, kau boleh mampir kesini sepulang sekolah. Ibu akan dengan senang hati berbagi makanan denganmu, dan mendengar ceritamu,” tulisnya lagi.

Aku melongo, kaget dengan jawabannya. Sekaligus juga haru, tiba-tiba ada seseorang yang mau memperhatikanku.

“Apa aku tidak menganggu ibu?” tanyaku nyaris berbisik.

Dia menatapku seksama saat aku bicara lalu menggeleng. Dan entah apa yang mendorongku saat itu untuk berucap terima kasih dengan tulus.

Hujan mulai reda. Aku pun pamit padanya. Seketika hatiku merasa hangat. Tak sabar untuk menemuinya besok hari.

******

Bagikan artikel ini
Ermala Sari
Ermala Sari
Articles: 1

2 Comments

Leave a Reply