Minggu pagi itu cuaca sangat dingin dan cerah. Seperti biasa, aku, adik bungsuku, ayah beserta ibu, berolah raga pagi. Tapi adikku tidak ikut kami karena penyakit malasnya kambuh hari itu. Ia tetap tertidur pulas saat ku bangunkan untuk berolahraga bersama ayah dan ibu pagi itu.
“Mila…bangun! Ini sudah pukul enam. Kalau matahari sudah keluar, tidak enak olahraganya.” Ajakku padanya yang masih terbaring di atas kasurnya, tidak mendengarkan ajakanku. Ia malah menarik selimutnya menutupi seluruh tubuhya, karena malasnya yang diiringi dengan udara yang sangat dingin pagi itu.
Dengan bergegas, aku tinggalkan ia, takut kesiangan bila menunggunya. Akupun langsung mendekati ayah dan ibu yang sedang memakai sepatu, bersiap-siap untuk berolahraga pagi itu.
“Vira, mana adikmu? Kenapa tidak dibangunkan?” tanya ibu padaku yang melihat ku sendirian dari kamar tanpa Mila.
”Dia masih tidur, Bu. Kita saja yang pergi, sudah siang ni!” Ajakku pada ibu yang berjalan mendekatiku.
“Biar Ibu lihat di kamarnya”.
Aku dan ayah menunggu ibu di halaman rumah sambil berlari kecil mengelilingi halaman rumah yang cukup luas dengan pepohonan beringin yang tampak hijau dan subur. Lebih kurang lima menit kami menungguh ibu di halaman rumah dan kemudian ibu keluar menutup pintu rumah sendirian tanpa Mila bersamanya.
“Hemm…Mila memang malas, Yah. Dia masih mau tidur katanya. Ayo, kita jogging!” Ajak ibu pada ayah yang kemudian menggadeng tanganku dan berlari kecil keluar dari halaman rumah. Ayah tersenyum melihat raut wajah kecewa ibu karena Mila tidak ikut jogging pagi itu. Kamipun memutari daerah rumah dengan menikmati sejuknya udara pagi.
Tidak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 07.00 WIB, kamipun sudah merasakan kelelahan. Baju kami basah, penuh dengan keringat lelah. Sampai di rumah, kami melihat rumah tampak hening. Aku menuju dapur membuka lemari es, mengambil air minum dan memberikannya pada ayah dan ibu yang duduk di luar rumah beristirahat sejenak.
“Adikmu belum bangun?’’ tanya ayah padaku setelah ia meneguk air dari gelasnya.
“Belum, Yah.” jawabku menoleh kearah kamar Mila.
Aku meninggalkan ayah dan ibu di luar dan menuju kamar Mila. Aku melihat begitu pulasnya ia tertidur. Akupun berniat membangunkannya, tapi semua itu batal karena melihat pulsanya ia tertidur. Akupun berpikir untuk mengerjainnya dengan menakut-nakuinya. Aku ambil bantal guling di kamarku yang kebetulan sarungnya berwarna putih dengan gambar bunga-bunga biru kecil.
Aku melukis wajah seram dibantal guling itu dan aku ikat agar berbentuk seperti kepala yang kemudian aku baringkan di sebelah Mila, tepat di hadapannya. Aku tau Mila sangat penakut dan manja, jadi sekalian memberikan pelajaran padanya. Aku ingin ia jera untuk sendirian di kamar dan tidak lagi malas. Setelah beres, aku langsung mandi dan merapikan kamarku.Ayah yang baru selesai mandi lansung duduk di ruang makan dengan menyalakan televisi, menunggu sarapan pagi bersama. Selesai merapikan kamar, aku menuju dapur membantu ibu memasak sarapan.
Saat sibuk memasak, kami dikejutkan dengan suara Mila yang menjerit dari kamarnya.
“Ibu….tolong ada hantu…!” Jeritan Mila, membuat ayah tersentak kaget. Ibupun demikian, hanya aku yang tertawa terbahak-bahak mendengarnya menjerit ketakutan. Ibu yang melihatku tertawa langsung menegurku.
“Kenapa kamu tertawa mendengar adikmu menjerit ketakutan? Pasti kamu yang kerjain adik kamu, kan?”
“Iya, Bu. Vira menakutinya agar ia jerah dan tidak lagi malas untuk bangun pagi di hari libur.
“Kamu ini…kasihankan adikmu. Kamu jugakan penakut.” Dengan menasehatiku, ibu meneruskan kerjanya mengelap dapur.
Ayah yang melihat Mila di kamarnya, langsung mengajaknya keluar kamar. Wajah Mila tampak cemas dan takut. Ayah mengajaknya bersama bantal guling yang aku hias berwajah seram.
“Ayo…Vira, ngaku! Kamu yang buat bantal guling begini?” Ayah memberikan bantal guling seram itu padaku. Dengan tertunduk, aku mengambil bantal guling yang di berikan ayah padaku.
“Iya, Ayah! Vira yang membuatnya. Habis…Mila malas sekali, Yah!”
“Kak Vira jahat sekali, mirip dengan bantal gulingnya”. Kata Mila padaku dengan marahnya.
“Hemm… nanti ada hantu beneran loh,” timpalku pada Mila.
Ayah tersenyum melihat wajah Mila yang masih marah karena ulahku menakutinya. “Sudah-sudah! Kalian ini, sama-sama penakut, mau menakut-nakuti.”
Ayah menyuruh Mila mandi dan setelahnya kami sarapan bersama. Ayah dan ibu bahagia melihat kami akur kembali di meja makan, membuat akupun sekenang karena aku menyayangi Mila, adikku satu-satunya.