Kereta perlahan meninggalkan stasiun Bandung. Ku amati untuk terakhir kalinya stasiun itu, kereta yang membawaku dari desa masih ada. Hitam, kusam, seolah tak diperdulikan. Kereta itu kini bergerak seiring dengan keberangkatanku ke Jakarta. Uap yang keluar dari cerobongnya kuat membumbung dan sekilas ku dengar peluit kereta itu.
”Aku akan kembali menikmati bangku panjang di gerbongmu!”
Mataku mengintip gerbong kusam itu sebelum lenyap ketika kereta ekspres yang ku tumpangi berbelok.
Saat aku menoleh ke samping mataku mendapati sosok perempuan sedang membereskan barang bawaannya, rupanya aku tidak sendiri. Saat duduk ia mengambil majalah dari tas kecil di pinggangnya dan membenamkan wajahnya disana. Aku mengamati majalah itu, tampilan sampulnya cukup elegan dengan karikatur menghiasi tepi judul dan covernya yang dihiasi huruf keemasan. Tapi bukan tampilan majalah itu yang membuatku penasaran. Aku membaca judul salah satu bahasan yang sedang dibacanya.
Aku mencoba mengamati isi majalah itu namun perempuan disebelahku rupanya terlalu serius membaca hingga tak sadar kalau aku turut mengamati bacaannya. Ia pun tiba di akhir paragraf bacaannya. Saat majalah itu hendak dimasukkannya ke dalam tas, aku meminta izin untuk melihat-lihat isi majalah itu.
”Oh ya.” Perempuan itu menyerahkan majalahnya.
Aku membuka kembali bahasan yang tadi dibacanya, dan saat membaca judul tulisan, aku mulai menduga-duga siapa yang menulis kisah inspiratif ini.
Ku periksa nama majalah dan topik-topik pembahasannya. Rupanya perempuan ini membaca majalah inspiratif, tapi … kisah yang sedang dibaca perempuan ini cukup membuatku berdebar.
”Terimakasih, aku Kakman!” kataku sambil menyerahkan kembali majalahnya.
”Pinaka.”
Kami bersalaman.
”Kamu suka sama tulisan itu?” tanyaku sambil menunjuk halaman yang masih terbuka.
Pinaka melirik ke akhir paragraf.
”Iya, dan penulisnya mampu membawaku ke alur cerita.”
Aku tersenyum. Pinaka mengamati profil penulis dan aku mulai salah tingkah ketika melihat tulisan itu dibaca oleh seorang perempuan yang kini mulai menatap bergantian foto profil dan wajahku. Ia tersenyum salah tingkah sementara aku gugup dan mulai mengalihkan pandanganku keluar jendela.
”Jadi … kamu yang ???” kata Pinaka tergagap.
”Ehmmm …”
Mau tak mau aku kembali melirik tulisan itu.
”Iya, aku yang nulis kisah inspiratif itu. Ehmmmm … aku gak nyangka kalau tulisan itu diterbitin juga akhirnya.”
Berbagai macam perasaan kini mulai berkecamuk dalam diriku. Entah bangga, entah kaget, atau haru. Sekali lagi ku lirik tulisan itu dan perasaan tegang kembali melandaku teringat harapanku agar tulisan yang berbulan lalu ku kirimkan ke salah satu majalah nasional akan diterbitkan. Lebih malu lagi aku langsung bertemu pembacanya. Sementara celoteh Riko dan Tio terdengar riang ke kursiku, Pinaka kembali tersenyum.
”Kenapa diam? duh duh! Aku gak pernah nyangka kalau bakal ketemu sama penulis kisah ini.”
Ia melirik judul tulisanku.
”Cahaya terselubung dunia disabilitas.” ujarnya.
”Kamu seorang aktivis ya?” katanya.
”Aku ngerasain waktu baca paragraf ketiga. Majalah ini baru ku beli dua bulan lalu dan masih ku simpan gara-gara tulisan ini.” lanjutnya lagi.
“Stop, jangan buat saya geer dong. Saya sendiri gak pernah nyangka tulisan itu bakal dimuat, udah lama tulisan itu saya kirim ke majalah tapi gak pernah dapat respon.” jujurku akhirnya.
”Kamu ke Jakarta mau ngapain?” tanyaku mencoba mengalihkan perhatiannya dari tulisanku.
”Aku tinggal disana. Aku ke Bandung cuman mau liburan, sekalian ngasih kabar ke keluargaku bulan depan aku mau wisuda.”
Aku lega akhirnya ia menutup majalah itu dan menaruhnya kembali di tas.
”Kuliah di jurusan apa?” tanyaku lagi.
”PLB.”
Tiga huruf itu sudah cukup membuat hatiku berteriak.
”Dia mengambil jurusan yang sama denganku!”
”Oh … kamu tertarik juga sama disabilitas?” tanyaku antusias.
”Iya, dan …”
Ia menahan kalimatnya. Mukanya memerah dan sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan oleh perempuan ini.
”Kenapa?” tanyaku penasaran.
”Gak, yang jelas dunia disabilitas menurutku punya keunikan tersendiri. Makanya aku kebawa banget kalau baca tulisan tentang disabilitas.”
Aku tak berani menanyakan perubahan ekspresi wajahnya tadi. Mungkin perempuan ini mempunyai rahasia yang tidak ingin ku ketahui, atau ia teringat sesuatu sehingga begitu kaget? Ah entahlah buat apa aku memikirkan muka yang memerah tadi!
Kereta mulai memasuki daerah Karawang. Kami terus ngobrol kesana-kemari dan berhenti sewaktu Riko menegurku.
”Maaf, Kang, boleh minta tolong?”
”Ya.” kataku sambil menoleh.
”Tolong liatin dong.” Riko melambai-lambaikan beberapa lembar uang ke arah suaraku.
“Sepuluh, dua puluh, lima ribu, dua ribu!” ujarku sambil menyebutkan nominal uang dan Riko menyusun uangnya dari bawah ke atas.
”Aku pernah melihat mereka.” ujar Pinaka.
”Oh ya?!”
”Mereka kalau gak salah pernah diundang ke salah satu stasiun TV.”
Aku menyeringai geli. Dan aku cukup kagum akan tanggapan Pinaka. Nada suaranya biasa saja ketika bercerita kedua disabilitas di belakang kami pernah masuk TV. Ia tidak meletup-letup antusias seperti orang kebanyakkan ketika mengungkapkan kekagumannya jika disabilitas meraih sukses atau masuk TV.
”Acara apaan?” tanyaku.
”Semacam wawancara singkat gitu. Waktu itu ngebahas disabilitas yang belajar di sekolah regular kalau aku gak salah ingat. Udah lama sih aku liat acaranya.”
”Aku rasa disabilitas memang harus mendapat kesempatan berpendapat di media. Ya … itung-itung buat ngenalin jati diri mereka juga ke masyarakat bahwa sebenarnya disabilitas dengan mereka sama.”
Obrolan selama satu jam itu membuat kami mudah akrab. Ketika kereta mulai melamban kami bertukar kontak, sepuluh menit kemudian kereta berhenti di Stasiun Jatinegara. Kami berempat turun, aku membantu menurunkan barang-barang Riko dan Tio ke pelataran stasiun. Lalu kami berjalan keluar stasiun dengan beban bawaan masing-masing. Aku dan Pinaka merasa bangga ketika melihat keduanya melalui stasiun dengan mudah padahal stasiun ini belum terlalu akses bagi mereka. Kami mengikuti mereka di belakang, langkah mereka pasti dan percaya diri seolah jalan di depan mereka mampu di lihat kedua matanya.
”Mereka udah hafal kayaknya.” kagum Pinaka.
”Ku rasa gitu. Tapi kondisi stasiun ini kurang akses, coba lihat!” aku menunjuk ke sebuah eskalator di depan kami.
”Mungkin bagi Riko sama Tio itu gak terlalu masalah karena mereka udah hafal lingkungan stasiun ini. Tapi coba kamu bayangin kalau yang lewat tunadaksa, eskalator yang tanggannya kayak gitu akan nyusahin mereka.” Terangku menunjuk tangga eskalator yang berundak.
Riko merasakan tongkatnya menyentuh besi tangga eskalator, ia melangkah pelan sampai dirasakannya eskalator yang berbalik arah.
”Ini yang keatas, Yo.” ujarnya.
Keduanya meraba jalan disebelah eskalator dan tongkat mereka tak menyentuh apa-apa selain trotoar pembatas.
”Di sebelah kiri, Ko!” kataku seraya menepuk bahunya.
Kami menuntun keduanya menuju eskalator yang benar.
”Sory nih ngerepotin, habis pegangan eskalator yang biasa kita jadiin tanda sama bentuknya! Jadinya kita keder.” Keluh Tio ketika kami berdiri di undakan eskalator.
”Kamu habis ini mau naik apa?” tanya Pinaka pada Riko.
”Transjakarta sekalian sama Tio.”
Kami mengantar keduanya sampai halte Transjakarta. Lagi-lagi ku lihat mereka kesulitan, tak adanya tanda di pintu halte menyulitkan Riko dan Tio mencari jalan menuju loket.
”Saya juga masih sering bingung Kang kalau nyari bus yang benar. Untung petugasnya baik, kadang-kadang saya dianterin ke bus yang mau saya naiki.” Tutur Tio.
Banyaknya pintu pemberhentian bus yang bergerak ke arah berbeda menyulitkan disabilitas netra di halte ini untuk mencari bus yang tepat.
”Ini di halte Jatinegara, di halte lain gimana ya?” bisikku pada Pinaka.
”Aku rasa sama, perhatian mentri perhubungan akan disabilitas kurang. Mereka pikir disabilitas gak pernah kemana-mana kali!”
Kami berpisah dengan mereka di pintu bus ke arah Harmoni. Aku dan Pinaka menuju seberang jalan untuk mencegat metro mini.
”Kamu mau kemana?” tanyaku.
”Lebak Bulus.”
”Kenapa tadi gak naik busway aja?”
”Ya … gak ke Lebak Bulusnya, aku nanti turun di Fatmawati.”
Metro mini yang ku tunggu meluncur dari kejauhan. Ketika metro mini itu berhenti aku pamit padanya. Saat kami bersalaman dan bersitatap, aku baru menyadari sesuatu mata itu begitu tajam, bukannya aku bermaksud mengungkapkan pribahasa tatapannya setajam mata elang, namun pandangan mata itu memiliki daya tarik, bukan kecantikan, bukan kepedihan, bukan keceriaan, tapi karakter orang yang belum pernah ku ketahui sebabnya. Lama kami bersitatap sampai akhirnya ku dengar teriakan kondektur.
”Jadi naik gak Bang?!”
Aku melepas jabatan tangan kami. Ada sesuatu yang belum ku kenali dari Pinaka, kurasa wajar mengingat kami baru satu jam mengobrol, namun mata itu mengisyaratkan padaku perempuan itu pernah mengalami tekanan, peristiwa, atau … ah! Semakin aku memikirkan tatapan mata itu semakin ngawur pikiranku.
”Siapa perempuan itu sebenarnya?” bisikku sambil menghenyakkan diri di kursi plastik.
Sekilas wajah itu masih ku lihat sebelum terbawa metro mini biru ke Lebak Bulus. (Senna)