Aku dan Jatuh Cinta (5-8)

Dania pun pergi meninggalkanku yang masih diam seribu bahasa karena tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.


Malam, telah larut. Namun, kata-kata Dania tadi masih terngiang-ngiang di telingaku. Aku mencoba untuk melupakan, menganggap semua itu tak pernah kudengar. Namun usahaku sia-sia. Kata-kata yang membuatku bertahan dalam kondisi yang tak pernah aku inginkan, dari mana dia bisa tahu? Mungkinkah Dania adalah orang yang pernah ku kenal?


Sungguh pertanyaan bodoh. Aku memaki diriku sendiri. Jelas-jelas aku baru mengenal gadis itu kemarin. Bahkan, dia memanggilku dengan nama orang lain, tak mungkin kita pernah saling kenal sebelumnya.

Baca:  Sunshine dalam Kegelapan

Entah jam berapa aku terlelap, atau mungkin aku memang tak pernah terlelap malam ini. Yang kutahu, suara ibu mengetuk pintu kamarku untuk membangunkanku seperti hari kemarin dan hari-hari sebelumnya. Dan, aku masih mencari jawaban atas pertanyaan yang kubuat sendiri. Dari mana Dania tahu kata-kata itu?


Hahaha. Tiba-tiba aku menertawakan diriku sendiri. Menertawakan kekonyolanku. Kenapa aku tidak berfikir itu sebuah faktor ketidaksengajaan. Atau mungkin, kata-kata itu merupakan kata-kata mutiara yang pernah diucapkan oleh orang terkenal di dunia ini, dan ibuku juga Dania hanya mengutipnya saja. Ini memang bukan jawaban yang aku inginkan untuk menjawab pertanyaan yang kubuat sendiri. Tapi setidaknya, jawaban ini bisa membuatku sedikit melupakan peristiwa malam itu.


“Waktu sekarang pukul sembilan tepat” jam bicara milikku berbunyi. Ya, saatnya untuk melanjutkan hidupku. Untuk apa memikirkan Dania yang baru saja aku kenal. Itu hanya membuang waktuku saja. Aku harus berangkat sekolah. Sekolahku memang bukan sekolah formal seperti pada umumnya. Sekolahku merupakan lembaga pendidikan yang diperuntukkan untuk kami para tunanetra. Aku harus bisa hidup normal meski kondisi fisikku memang tak bisa dianggap normal. Tapi bukankah aku sudah mulai bisa mempelajari beberapa software komputer. Bukan tidak mungkin jika beberapa bulan lagi aku sudah punya ketrampilan di bidang komputer.


“Arga, sarapan dulu!!” suara ibuku membuyarkan lamunanku. Aku pun segera menuju meja makan.  Kudengar suara seseorang menyiapkan sarapan. Pasti ibu. Memang sejak Tuhan mengambil nikmat penglihatan yang dulu kumiliki, ibu selalu menyiapkan segala sesuatunya untukku. Kadang aku merasa terhina. Aku merasa ibu memperlakukanku secara berlebihan. Padahal aku ingin diperlakukan layaknya manusia biasa. Namun, inilah cara ibu mengungkapkan rasa sayangnya padaku. Biarpun aku kurang menyukai cara beliau, tapi apa dayaku. Aku memang pantas diperlakukan seperti ini.

Baca:  Langit Senja Bagian 13

Tiba-tiba sebuah tangan halus memegang tanganku dan mengarahkannya pada piring berisi makanan dan sendoknya. Ini seperti bukan tangan ibu. Ya, aku pernah merasakan sentuhan tangan ini sebelumnya. Tapi tangan siapa? Ku coba mengingatnya. Ya, ini tangan Dania, tapi mungkinkah? Untuk apa dia di sini. Ini tidak mungkin. Pasti ini hanya halusinasiku saja. Sejak semalam bukankah aku selalu memikirkan gadis itu.


“Ayo dimakan makanannya, Ga. Jangan didiemin begitu. Nanti keburu dingin!”. Suara seorang wanita menyuruhku makan. Ini bukan suara ibu, ini suara Dania, mungkinkah aku masih berhalusinasi? Sepertinya tidak.


“Dania?” Aku pun akhirnya tak mampu untuk tetap diam dalam kondsi membingungkan ini.


“Iya, ini aku, Ga. Aku Dania”


“Untuk apa kamu kesini lagi?” tanyaku sinis.


“Aku,, Aku ingin..”


“Pulanglah, aku sibuk hari ini!”


Belum selesai Dania menjawab, aku sudah memotongnya. Karena dari jawabannya, sepertinya Dania hanya mencari-cari alasan untuk menemuiku. Aku tak suka sikapnya itu.


“Tapi, Ga. Aku hanya ingin menemanimu belajar hari ini.”


Setelah beberapa menit kita berada dalam kesunyian tanpa kata, akhirnya Dania angkat bicara.


“Ya, sudah, Ga. Kalau kamu merasa terganggu dengan kehadiranku, aku pamit pulang.”


Aku tetap bertahan dalam diam sampai kudengar suara isak tangis Dania saat pergi meninggalkanku.


Salahkah aku bersikap demikian? Apa aku terlalu jahat bersikap seperti itu pada orang yang baru saja kukenal. Menurutku tidak. Namun dalam hatiku ada penyesalan karena telah membuat Dania menangis hari ini.


“Arghhh” tiba-tiba semangat belajarku jadi lenyap seketika. Aku ingin pergi menyendiri. Aku pun pergi meninggalkan rumah hanya membawa sebuah tas yang sudah lama tak kupakai, buku catatan dan telepon genggamku.

Baca:  Ferdi Story (5-15)

Aku berjalan tanpa tujuan. Berharap menemukan tempat sunyi untuk melepas penat dan melarikan diri sejenak dari hidupku yang semakin membingungkan sejak pertemuanku dengan Dania atau mungkin lebih tepatnya sejak Screen reader telepon genggamku rusak.


Tempat yang ku inginkan tak juga kutemui. Disana-sini tetap terdengar suara klakson dan bisingnya kendaraan bermotor. Sudah seberapa jauh aku melangkah? Aku lupa kalau saat ini aku sudah buta. Aku tak boleh pergi jauh jika aku tak ingin membuat ibu dan seluruh keluargaku mengkhawatirkanku. Tapi keinginanku untuk menyendiri telah mengalahkan logikaku. Aku terus berjalan sampai akhirnya kutemukan tempat yang sunyi dan tidak banyak dikunjungi orang.


“Sepertinya ini sebuah taman” pikirku dalam hati.


Aku duduk sambil menikmati belaian angin. Sunyi dan damai. Tempat seperti inilah yang aku inginkan.


Suara dering telepon genggamku mengganggu lamunanku. Aku pun mencari-cari teleponku untuk menonaktifkannya tanpa ku ingin tahu siapa peneleponnya. Aku sedang ingin sendiri. Ketika aku sedang mencari-cari telepon genggamku di dalam tas yang sudah lama tak kupakai, tanganku menyentuh sebuah benda. Benda bulat, kecil, tipis, dan berlubang serta terdapat ukiran di sisinya. Sepertinya ini sebuah cincin. Tapi cincin siapa ini?

Bagikan artikel ini
Nur Rokhanah
Nur Rokhanah
Articles: 3

Leave a Reply