Dua bulan bukanlah waktu yang lama bagiku tinggal di Cieunteung. Aku merasakan gundah ketika ku cium tangan Umi dan Abah, haru ketika mendekap Kak Ilham yang kini telah diterima baik oleh warga desa dan khawatir dengan keadaan Uloh nantinya setelah kepergianku.
Hampir semua warga dusun tempat tinggalku berkumpul di rumah. Abah mengadakan acara pelepasan keberangkatanku kembali ke Jakarta. Senyum ramah dan celoteh mereka meramaikan suasana haru di rumah keluargaku. Uloh duduk bersila mengobrol dengan adiknya, Yayat. Satu jam lagi aku siap berangkat. Umi membekaliku dengan bahan-bahan pangan dan gula aren, katanya untuk majikanku dan sembakoku di Jakarta nanti.
”Do’akan ya, moga putera Abah selamat, sehat, dan sukses di kota!” ujar Abah memberi sambutan.
Wak Punduh memimpin do’a sementara tangan-tangan halus hadirin terangkat mengamini setiap kalimatullah dari lisan Wak Punduh. Oh … Allah betapa enggannya aku berpisah dengan mereka.
Tapi aku benar-benar harus pergi ke Jakarta. Dua hari lalu Abdul meneleponku dan memberi kabar ada sebuah komunitas yang membutuhkan ilmuku untuk dikembangkan bersama mereka. Selain itu aku merasa tak enak pada Pak Sodik karena terlalu lama meninggalkan pekerjaanku. Setelah shalat zuhur aku mengepak koper dan berangkat menuju batas desa diiringi keluarga. Tiba di batas Cieunteung dengan jalan raya aku berpapasan dengan tiga orang yang langsung mengerumuniku. Ku pikir mereka hendak berbuat macam-macam, salah satu dari mereka berbicara padaku:
”Kang Kakman mau pulang ke Jakarta?” suaranya dalam dan berat.
”Iya, maaf kalian teh saha?”
”Saya Ujang, di kiri saya teh Mansur, nah di kanan saya Daro.” Katanya menunjuk kawannya satu persatu.
Aku mengamati mereka. Rupanya mereka penyandang disabilitas yang pernah diceritakan Kak Ilham. Lelaki setengah baya yang bernama Ujang adalah disabilitas yang hanya mempunyai enam jari tangan. Kami mengajak mereka ngobrol di pos ronda tak jauh dari batas desa.
”Terus terang kami pingin pisan belajar sama Akang, eh … ternyata Kang Kakman sudah pingin ke Jakarta.” kata Mansur sambil melirik tak fokus.
”Akang tidak melihat?” tanyaku. Mansur mengangguk.
”Penglihatan saya teh nurun waktu saya umur dua puluhan. Eh … sampai sekarang akhirnya sama sekali gak bisa lihat, paling cuman cahaya aja.” tuturnya dengan Bahasa Indonesia terbata.
Hampir lima belas menit aku ngobrol dengan ketiga disabilitas itu. Mendengarkan dengan sabar curhatan nasib mereka, rasanya tak tega mengacuhkan keluhan mereka meskipun aku buru-buru mengejar kereta dari stasiun Gunung Manik. Tapi memotivasi hidup orang-orang ini lebih penting ketimbang penundaan keberangkatanku.
”Saya dengar, Uloh sudah mulai buka usaha di rumahnya?” tanya Daro yang tidak mempunyai tangan kanan.
”Iya, Insya Allah dia mau mengajarkan kalian tentang usaha apa yang cocok untuk membangun hidup kalian selanjutnya.”
Mereka mengangguk-angguk faham. Kami berpisah di batas desa, katanya mereka mau melanjutkan perjalanan mereka menuju rumah Uloh. Aku mengawasi ketiga sahabat itu berjalan tertatih dengan beban disabilitas di tubuh mereka. Daro menuntun Mansur yang berpegangan pada siku tangan kirinya. Ketika mereka menghilang dibalik tikungan, kami melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Gunung Manik.
“Nanti kamu bisa lanjut naik kereta dari Bandung ke Jakarta.” Terang Abah.
Aku beruntung, kereta berangkat sepuluh menit lagi. Aku merangkul keluargaku satu persatu dan menyalami Teh Zakira.
”Tolong jaga Kak Ilham!” kataku pelan.
”Insya Allah, kamu hati-hati nya di kota. Jangan lupa mengunjungi keluargamu paling enggak kalau Lebaran.”
”Iya Teh.”
Aku naik kedalam gerbong. Sekilas masih ku lihat bekas tangisan di wajah Umi, Abah mengusapnya dengan sapu tangan.
”Semoga Abah dan Umi selalu mendo’akan Kakman!”
Aku duduk di kursi panjang dekat jendela. Ketika menaruh koper ke rak barang, mataku berpapasan dengan sosok perempuan yang sepertinya ku kenal. Aku mengingat-ingat pemilik wajah khas yang duduk di sebelahku.
”Ehm ehm! Elis ya?” sapaku
Gadis itu menoleh seraya tersenyum.
”Kang Kakman kan?” kami bersalaman.
”Mau ke jakarta ya, Kang?” Aku mengangguk.
”Liburannya udah selesai?”
”Iya, dua hari lagi udah mulai kuliah. Makanya sekarang buru-buru balik ke kosan.”
Kereta perlahan bergerak meninggalkan Gunung Manik. Hamparan sawah Cieunteung berlari-lari di belakang kereta. Oh desaku, kelak akan ku buktikan pada dunia bahwa diskriminasi dapat dihilangkan, utamanya diskriminasi terhadap disabilitas, bahkan terhadap desa berpotensi baik sepertimu, duhai Cieunteung.
”Saya dengar akang aktivis sosial.” kata Elis membuka kembali percakapan diantara kami.
”Dengar dari siapa?”
”Abah, waktu Akang pulang dari rumah Abah cerita sama saya.”
”Iya, itung-itung mengisi kekosongan hidup saya.”
”Kekosongan?” ia nampak heran.
”Ya, kekosongan dari kebahagiaan yang kini mulai terisi.”
”Saya gak ngerti maksud Akang, duh duh! Mentang-mentang aktivis bahasanya puitis.” godanya.
”Dulu aku merasa kosong, karena kakakku mengalami kebutaan. Disusul kemudian oleh sahabatku yang mengalami lumpuh. Rasanya keadilan Tuhan tidak ada saat menyaksikan nasib mereka, tapi setelah mengetahui cara menangani mereka kekosongan itu mulai terisi.”
Ia tersenyum.
”Kenapa?” tanyaku.
”Di Bandung banyak orang-orang seperti Kakak Akang, tapi … kelihatannya mereka biasa-biasa saja menghadapi hari-harinya.”
”Iya, aku pernah mendengar itu. Katanya disabilitas Bandung cukup berkembang, tapi aku sendiri belum tahu pasti belum pernah kesana soalnya.”
“Kamu beneran ingin jadi Bidan?”
”Insya Allah!”
”Kenapa pingin jadi bidan? Kelihatannya kamu lebih cocok jadi … model.”
Ia tertawa datar.
”Ku perhatikan desa Cieunteung minim sekali fasilitas kesehatan. Makanya aku berniat membangun puskesmas disana.”
Kereta melewati Sukabumi terus menuju timur. Bayang-bayang rumah penduduk sekilas kami lewati. Gadis ini lebih memiliki watak sosial ketimbang medis. Kami ngobrol kesana-kemari sampai tak terasa setengah jam berlalu. Kereta mulai memasuki stasiun Bandung, aku membantu Elis membawakan barang-barangnya.
”Gak ngerepotin, Kang?”
Aku tertawa kecil seraya turun. Kami menyebrangi peron menuju luar stasiun. Diseberang, Elis menghentikan sebuah angkot dan aku menaikkan barang-barangnya.
”Hati-hati, ya!”
Kami bersalaman dan gadis itu berlalu. Aku kembali ke stasiun. Ketika mengantri di loket aku berpapasan dengan dua orang tunanetra. Kedua orang itu asyik mengobrol disebelahku.
”Gue harap sih si Ababil nemuin orang yang cocok.” Kata salah satu diantara mereka.
Aku menepuk bahu orang yang memegang tongkat, ia menoleh mencari sosok-ku.
”Mau ke Jakarta ya?” tanyaku ramah.
”Iya Kang” jawab keduanya.
”Nanti bareng sama saya mau?”
Mereka terlihat cemas. Aku paham kekhawatiran mereka, sudah lazim kalau orang iseng memanfaatkan kekurangan tunanetra.
”Tenang, kenalin saya Kakman.” Aku meraih tangan keduanya, mereka tersenyum menyambut jabatan tanganku.
”Riko.” Pemegang tongkat memperkenalkan diri.
”Tio.” Yang lain mengikuti. Kami sama-sama menuju peron dimana kereta Jakarta sebentar lagi tiba.
“Kalian nyaman sama stasiun disini?” tanyaku.
”Gak juga sih Kang, jalan ke stasiun ini dari jalan raya gak terlalu akses. Malah kami sering nyasar ke rel.” tutur Riko.
Kereta ke Jakarta datang dari arah Barat antrian peron mulai ricuh. Aku segera menarik tangan keduanya untuk lebih dulu naik ke gerbong. Jarak dari pelataran peron ke gerbong cukup jauh, aku lupa mengisyaratkan dua orang itu untuk agak memanjangkan langkah mereka. Riko terkilir aku segera menangkapnya hingga ia tak jatuh ke rel dibawah.
”Gak apa-apa?” kataku panik.
”Enggak kok Kang.” jawabnya terengah, aku menuntun mereka duduk di kursi tengah berdasarkan nomor tiket keduanya.
”Saya duduk di depan kalian, nanti kalau butuh bantuan bilang aja ya.” kataku seraya membantu menaruh barang-barang mereka di rak.
Itulah kawan, sekilas tentang perjalananku ke Cieunteung. Desa kelahiranku yang sama sekali tak pernah kuduga akan bertemu penyandang disabilitas. Diskriminasi, caci maki, dan perlakuan buruk terhadap disabilitas ternyata jauh lebih parah ketimbang di kota. Disabilitas kota kebanyakkan masih beruntung dapat menikmati komputer screanreader sehingga dapat menyesuaikan diri dengan Non Disabilitas.
”Syukur.” Kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan kalian di kota besar. Sungguh aku berharap, bila kau mempunyai keluarga Disabilitas janganlah kau kucilkan, karena miris rasanya ketika menghadapi kenyataan sesuatu yang masih bisa diperbaiki tetapi kita berusaha menghindari cara untuk memperbaikinya. (Senna)