Sebulan sudah aku tinggal di Cieunteung. Banyak kemajuan yang telah dicapai desa ini, setelah lima tahun aku tinggalkan. Jalan yang menghubungkan desa ke kota sudah bagus, banyak warga yang menjual aren, padi, atau bahan pangan lain ke Bandung dan sekitarnya dengan akses yang mudah. Di tepi batas desa, rel kereta api membentang menghubungkan stasiun kecil Gunung Manik dengan beberapa stasiun di kota. Segala macam fasilitas itu tak lepas dari keuletan pemimpin desa baru kami, Mang Deden.
Terus terang, aku merasakan perubahan yang cukup signifikan terhadap desa terpencil ini. Desa yang dulu tak teraliri KWH barang satupun, kini hampir di setiap rumah dapat menikmati penerangan yang layak. Muara sungai Cieunteung menjadi pusat energi listrik desa ini. Tapi dibalik aksesibelitas yang memadai bagi setiap warga Cieunteung ada segelintir orang yang masih belum tertangani, baik interaksi sosial maupun kesehariannya.
Selama sebulan aku mengamati kehidupan para Disabilitas itu, dan rata-rata mengalami tekanan psikologis yang sama. Aku berusaha memberikan pengertian pada keluarga mereka. Sejauh ini aku sendiri masih bingung meyakinkan keluarga mereka bahwa orang-orang cacat itu mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Entah cara penyampaianku yang salah, atau kurangnya pemahamanku akan kondisi keluarga tersebut. Aku ingin mendiskusikan persoalanku dengan Mang Deden, mungkin dia lebih faham kondisi keluarga para Disabilitas itu.
Aku menemui beliau di rumahnya, beliau tinggal di dusun tak jauh dari rumahku. Sepanjang perjalanan sambil menikmati pemandangan rawa yang di tumbuhi tanaman genjer, aku bertanya-tanya:
”Akankah misiku berhasil kali ini?”
Rumah Mang Deden cukup sederhana. Meski terbuat dari bata, rumah itu tak terlalu luas dan dindingnya pun terbuat dari bilik bambu yang berkualitas bagus. Aku mengetuk pintu kayu jati seraya mengucap salam. Ku dengar langkah kaki teredam mendekati pintu.
”Saha?” tanya suara perempuan.
”Abdi, Kakman!”
Pintu perlahan terbuka, sosok wajah oval bersitatap denganku. Aku kurang begitu mengenali wajah itu, tapi rasanya bertahun lalu aku sering melihatnya.
”Mang Deden ada?”
”A … bah, ada di dalam.” Jawabnya salah tingkah.
”Mangga.”
Ia menepi untuk mempersilahkan aku masuk. Aku duduk bersila di tikar daun kawung atau aren. Gadis itu masuk ke ruang sebelah dan terdengar berbicara dengan suara lelaki. Tak lama sosok yang meskipun lama tidak bertemu, masih ku kenali melangkah ke ruang tamu. Kami saling pandang, ia berusaha untuk mengenaliku.
”Kakman?” aku tersenyum dan bangkit sambil bersalaman dengannya. Kami duduk bersila dan berbincang kesana kemari sambil menikmati minuman khas desa ini, air gula aren.
“Sudah sebulan tinggal di desa, kenapa baru kemari?”
”Saya banyak beramahtamah dengan saudara-saudara, Mang, makanya baru sempat ke rumah Mamang.”
”Jadi, kamu sudah main ke tempat pemasungan Uloh?” aku mengangguk.
”Saya terkejut mendengar cerita dia, Mang, kenapa keluarganya tega?”
Mang Deden hanya menghela napas.
”Dulu Mamang mencoba mencegah hal itu, tapi Kang Sardun, abah si Uloh teh, ngeyel. Sardun bersikeras mau memasung putra satu-satunya, Mamang bisa berbuat apa? Semua keluarga Uloh sepakat buat masung anak itu.” Tuturnya getir.
”Saya juga mencoba membujuk Mang Sardun untuk menerima kembali Uloh di keluarga. Tapi saya malah di usir,”
”Kapan kamu teh kesana?”
”Seminggu lalu, saya dan Kak Ilham berusaha menjelaskan kemauan Uloh untuk bangkit. Tapi …” aku menahan kata-kataku, Mang Deden tersenyum jumawa.
”Makanya, saya menemui Mamang untuk minta bantuan.”
”Apa yang bisa Mamang bantu, pasti Mamang bantu. Apa yang harus mamang lakukan?”
”Saya sudah ngobrol banyak dengan Uloh tentang keluarganya. Dan menurut saya, ada hal-hal yang saya belum faham tentang keseharian keluarga itu. Mungkin mamang lebih ngerti tentang kehidupan mereka, yang jelas keluarga Uloh masih mempertahankan adat nenek moyang.”
Mang Deden mengerutkan dahi.
”Hhh … padahal saya sudah berusaha menghilangkan pemahaman adat lama pada warga desa ini, tapi masih ada yang belum tersentuh sama Mamang rupanya.”
”Begitulah, Mang, keluarga Uloh masih percaya bahwa memelihara orang cacat dalam lingkungan mereka, akan membawa sial.”
”Kamu sudah mencoba memberi penjelasan pada mereka?”
Aku tersenyum hambar.
”Karena itulah saya di usir, saya rasa penyampaian saya kurang tepat. Aksent Sunda mereka sangat halus, dan saya sudah agak lupa dengan aksent halus semenjak tinggal di kota.”
”Hehe! Mamang sudah menduga, adat kota kelak akan menghapus budaya leluhurmu yang seharusnya kau jaga!” ada perasaan tersindir yang menusuk nuraniku. Diam-diam muncul pikiran yang ku cemaskan kelak akan ku alami dalam hidupku.
”Apa mungkin nanti aku akan lupa asal usulku selama tinggal di kota?”
Setelah Shalat Magrib aku pamit, Mang Deden mengantarku sampai batas dusun.
”Oh ya mang, kalau saya boleh tahu siapa yang tadi bukain pintu waktu saya datang?”
”Oh itu, si Elis putri mamang. Baru kemarin pulang dari Bandung,”
”Kuliah disana?”
”Iya, mau jadi bidan katanya.”
Kami berpisah di jembatan menuju dusun tempat tinggalku.
”Ya, nanti Mamang usahakan untuk menjelaskan sama Kang Sardun tentang apa yang kamu sampaikan tadi. Mudah-mudahan dia mau ngerti!” ujarnya sambil menjabat tanganku.
”Nuhun, Mang!” aku meniti jembatan.
Esoknya aku menemui Uloh di gubuknya, ku bawakan dia sarapan pisang rebus dan air gula aren. Kami ngobrol di bawah pohon depan gubuk, beralaskan lembaran daun pisang.
”Aku sudah ngobrol sama Mang Deden, beliau mau mengusahakan memberi pengertian sama keluargamu.” Ia tersenyum penuh harap.
”Ya, semoga beliau berhasil! Terus terang, aku sudah muak tinggal di tempat ini.”
”Oh ya, ku lihat kemajuanmu sudah bagus,” aku menunjuk setumpuk prakarya di sudut kanan gubuk.
”Hehe, alhamdulillah! Aku berhasil bikin tikar, sapu, sama beberapa kerajinan hiasan kayak itu tu!” Dia menunjuk setumpuk bungkusan daun talas di sudut lain.
”Apa itu?” aku mengamati penuh minat.
”Boneka wayang, aku membuatnya dari bambu yang tumbuh disekitar hutan ini. Awalnya aku lupa cara membuat boneka itu, tapi ku coba terus! Dan itulah hasilnya.”
”Boleh aku lihat?”
Kami bangkit menuju kumpulan prakarya itu. Aku membantu Uloh berjalan,
”Lain kali kau meski pakai tongkat!” ia kesusahan melangkah karena berat kakinya.
Aku memegangi ketiaknya agar keseimbangan tubuhnya terjaga.
”Aku mau roda-rodaan yang bisa dinaikin kayak disabilitas lumpuh di kota.”
”Kursi roda?” tanyaku menduga.
”Ya, mungkin itu namanya. Aku hanya tahu dari berita koran yang selama ini dibawakan sepupuku.”
Sudah ku duga kawan, Uloh pasti bisa melakukannya. Andai kau ada disini kawan, kau akan heran melihat sapu lidi yang diikat dengan anyaman tali temali akar jati. Ah coba lihat ini, boneka wayang tokoh semar, diukir dengan elegan, bentuk hidungnya yang mancung, dan badannya yang super semar membuatku tergelak ketika mengamati ekspresi yang di lukiskan Uloh pada boneka ini.
”Kau akan berhasil menjadi wiraswasta, Kawan!” ujarku sambil mengacungkan kedua jempolku
“Ku dengar, kau tak akan lama di Cieunteung?” tanyanya dengan nada dingin.
”Ya, aku harus kembali kerja di kota. Mungkin aku kembali ke kota bulan depan, dan ku harap masalah disabilitas di desa ini cepat kelar.”
”Kau tega membiarkan aku berusaha sendiri?” ia terlihat cemas.
”Kau harus yakin, Loh, ingat! Hidupmu kau sendiri yang menentukan, tanpa aku pun kau harus bisa bangkit mensukseskan keadaanmu. Jangan pernah sekalipun kau menggantungkan hidupmu pada orang lain, selama kau bisa mengembangkan hidupmu sendiri!”
”Keluarga ku ???”
”Kau jangan khawatir, Tuhan selalu ada disetiap usaha gigih yang kau lakukan!”
Kami menoleh terperanjat ketika terdengar teriakan-teriakan dari kejauhan, seperti suara orang berkelahi. Aku memicingkan pandanganku ke arah datangnya suara-suara itu.
”Ada apa ya?” Uloh memandang ke arah yang sama
Aku menegaskan kembali suara itu, ya! Pendengaranku tak keliru! Itu suara …
”Man, itu geura tempo, saha nu datang!?” teriak Uloh.
Aku refleks menoleh ke arah yang ditunjuk Uloh. Empat orang saling berkejaran menuju tempat kami duduk, aku mengenal sosok yang berlari paling depan, Kang Sardun. Dua orang yang mengikuti di belakangnya, membawa sesuatu yang belum terlalu jelas kelihatan. Ketika sosok-sosok itu mendekat, barulah aku melihat jelas apa yang dibawa dua orang itu. Ya Allah !!! sudah tidak waraskah mereka membawa bambu runcing kemari?
Orang-orang itu tiba di tepi gubuk dan orang yang pernah mengusirku beberapa hari lalu menghampiri Uloh seraya menatapnya penuh kebencian. Aku melirik orang yang terengah di belakang Kang Sardun, aku memandangnya tak percaya. Mang Deden terpaku, matanya memandang cemas ke sosok Uloh yang duduk gemetar di bawah ancaman pandangan abahnya. (Senna)
Terjemahan:
1. Mamang adalah sebutan untuk orang yang lebih tua. Jika di terjemaahkan ke bahasa Indonesia, artinya Paman.
2.Dalam kalimat: ”Man, itu geura saha nu datang!?” Bahasa Indonesianya: ”Man, coba lihat itu siapa yang datang!?”
3.Mangga dalam Bahasa Indonesia dapat di artikan: ”Silahkan!”
4.Abdi dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan: ”Saya.” Abdi adalah aksent Sunda halus.
5. Nuhun dapat di artikan: ”Terimakasih.”
seru :). keren 🙂