Sekitar pukul 4.30 sore, acara pertunangan Reski dan Rina pun akhirnya selesai. Acara yang berlangsung kurang lebih dua jam itu, mampu berjalan dengan lancar dan meriah.
“Selamat yah, buat Kak Rina dan Kak Riski! Semoga kalian cepat-cepat menikah untuk membangun mahligai rumah tanggah yang penuh keberkahan.” Kata Anna sambil menyalami sepasang calon pengantin itu.
“Amin…, oh yah, kamu jangan lupa yah datang ke acara resepsi pernikahan kami yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat-dekat ini.” Kata Rina kepada Anna.
“Oh yah, insya Allah saya akan datang.” Kata Anna dengan tersenyum.
“Oh yah selamat yah kak! Sekalian saya dan teman-teman langsung pamit pulang.” Kata Ferdi yang baru saja datang sambil menyalami Rina dan Reski.
“Ujang mau pamit ke jakarta? Atuh jangan sekarang Jang! Soalna pamali kalau magrib-magrib ada di jalan. Loba jurig!” Kata Neneknya Reski yang masih tergolong kolot.
“Aduh Ibu inikan zaman moderen, kok masih percaya sama pamali, lagian itu dosa mempercayai hal seperti itu! Saya khwatir, kalau berangkatnya selepas magrib, kita takut kemaleman sampai di jakarta.” Kata Ferdi yang menolak larangan Neneknya Reski secara baik-baik.
“Yaudah Kak, saya mau beres-beres koper dulu.” Kata Ferdi yang langsung meninggalkan Rina.
Sang nenek pun menggerutu dalam bahasa sunda yang artinya “Huh, emang anak sekarang itu susah dibilangin sama orang tua. Yaudah, biar tau rasa aja dia!”
“Kak Rina, dia bilang apa sih?” Kata Anna yang sama sekali nggak mengerti bahasa sunda.
“Dia bilang…, agar kalian semua selamat sampai tujuan.” Kata Rina yang tidak mau memberikan arti yang sebenarnya. “Oh yaudah Kak, Anna juga mau beres-beres dulu sekalian pamit pulang.”
“Yah…, silahkan, hati-hati di jalan yah!”
Setengah jam kemudian, akhirnya mereka semua sudah siap untuk pulang ke jakarta.
“Hati-hati di jalan yah Nak, inget jangan ngebut! Ingat, kamu tanggung jawab sama beberapa nyawa.” Kata Mamahnya Ferdi mengingatkan anaknya.
“Iya-iya Mah, Ferdi ngerti.” Kata Ferdi yang mendengarkan nasihat Mamahnya.
“Hlo, Mamah, Papah, dan Susan nggak ikut Fer?” Kata Anna setelah mereka semua berada di dalam mobil Papahnya Ferdi.
“Mereka masih ada urusan. Besok mereka baru pulang.” Jawab Ferdi singkat sambil menyalahkan mesin mobil. Posisi duduk saat itu adalah, Aditia dan Ferdi di bagian depan, sedangkan Indri dan Anna di bagian tengah.
“Udah nggak ada yang ketinggalan?” Tanya Ferdi kepada mereka semua.
Kepala mereka pun menggeleng yang berarti bahwa nggak ada yang ketinggalan lagi. Akhirnya, setelah memanjatkan doa bersama, mobil pun melaju untuk meninggalkan kota Bandung. Jalanan cukup lancar dan tenang, sehingga mobil dapat melaju dengan stabil. Untuk mengisi kekosongan di dalam perjalanan, Ferdi pun menyalahkan musik yang beraliran santai. Sejuknya AC di dalam mobil pun, mampu memejamkan mata Anna dan Indri yang tampak lelah. Sedangkan Aditia, sibuk memperhatikan jalanan sambil memegang majalah motor terbaru yang selalu setia mengisi waktu kekosongannya.
“Fer…, nggak biasanya lo bawa mobil dengan kecepatan di bawah 70KM/jam. Biasanya adrenalin lo langsung terpompa ketika ngeliat jalanan sekosong ini.” Kata Aditia dengan herannya.
“Yampun…, lo kok nggak mikir banget sih! Ini tuh masih jalan pedesaan dit, Cuma jalannya udah diaspal, jadi kelihatan bagus. Kalau gue kebut-kebutan di daerah ini…, mau lo kalau kita semua disumpain mokat sama orang-orang kampung? Lagi pula…,” Ferdi menarik nafas sesaat dan memelankan nada bicaranya, “gue jadi males bawa mobil terlalu cepet. Setelah Gue bikin orang jadi stres berat gara-gara ulah gue itu.” Kata Ferdi yang pandangannya benar-benar fokus kejalanan.
“Siapa emang yang lo bawa, Cewek yah?” Tanya Aditia. “Yah, niatnya gue Cuma nolongin doang. Eh…, dia malah jadi marah sama gue gara-gara ya ulah gue itu.” Kata Ferdi dengan nada serius.
“Nolongin apa nolongin? Ferdi-Ferdi, gue udah hapal bener deh niat lo.” Kata Aditia yang meragukkan kata-kata yang diucapkan Ferdi.
“Dit…, gue ngerti maksud lo! Tapi masak sih, lo ngeraguin temen lo yang mau insyap ini? Asal lo tahu, Anna telah merubah sikap gue! Anna berhasil menyadarkan gue yang dulunya nggak lebih adalah cowok playboy nomor satu di sekolah kita.” Kata Ferdi meyakini. “Cieee, gaya lo selangit! Yang jelas ni Fer, gue tetep yakin, bahwa naluri keplayboyan lo itu masih ada dan siap buat tumbuh lagi.” Kata Aditia yang terus meragukan pembicaraan Ferdi.
“Waduh Dit, gue lupa jalan ini. Kita harus ke kiri apa ke kanan yah?” Kata Ferdi yang membelokkan pembicaraan ketika mereka tiba di pertigaan. Aditia juga tampak bingung. Harus ke kiri atau ke kanan. “Cepetan Dit…! Kiri apa kanan nih?” Kata Ferdi yang terus memutar-mutar pandangannya ke jalan sebelah kiri dan kanan.
“Tuh ada Bapak-bapak Fer, siapa tau dia bisa bantu kita.” Kata Aditia dengan nada gembira ketika melihat seorang laki-laki setengah baya, berjalan menuju mobil mereka.
“Asalamualaikum! Sepertinya kasep kebingungan, Boleh Bapak bantu?” Sapa Laki-laki itu kepada mereka berdua.
“Iya Pak, kami mau ke Jakarta! Tapi kami kurang tahu jalan ini.” Kata Aditia. Lelaki itu pun tersenyum.
“Kalau gitu Bapak akan tunjukkan! Boleh Bapak ikut kalian?”
“Oh silahkan Pak silahkan!” Kata Aditia dengan ungkapan rasa kegembiraannya sehingga dia pindah ke kursi bagian belakang. Lelaki itu pun duduk di sebelah kiri Ferdi.
“Sekarang, Ujang ke kanan, itu jalan yang paling cepet!”
Ferdi menuruti lelaki itu. “Hmmm…, ngomong-ngomong, nama Bapak siapa?” Tanya Ferdi sambil mengisi kekosongan waktu di perjalanan.
“Nama saya, Rahman Sumantri, saya asli daerah sini. Kalau ujang teh saha?” Tanya Lelaki itu.
“Saya Ferdi setiadi Pak, kebetulan tadi saya dari acara pertunangan Rina sepupu saya.” Sejenak Pak Rahman terkejut.
“Rina…? Maksud ujang teh Rina Sulistia Wati bukan?” Tanya Pak Rahman dengan heran.
“Iya…, bapak benar sekali!”
“Kenapa saya nggak dibilangin…? Saya teh Mamangnya! Bener-bener keterlaluan mereka.” Kata Pak Rahman dengan nada agak kesal.
“Ya…, saya nggak tahu Pak. Tapi aneh juga sih, kenapa paman sendiri kok sampai dilupakan yah?”
Pak Rahman menarik nafas, lalu dia kembali menghembuskannya. “Yasudahlah, memang kalau seseorang sedang mendapatkan kebahagiaan, terkadang melupakan segalanya.” Kata Pak Rahman dengan muka murung.
“Ngomong-ngomong, yang dibelakang itu siapahnya Ujang?” Kata Pak Rahman sambil menunjuk Indri dan Anna yang sedang tertidur lelap serta Aditia yang benar-benar serius dengan majalah motornya.
“Itu…, temen sekolah saya Pak. Emang kenapa pak?”
“Enggak…, Bapak teh Cuma mau pesen, kalau bawa-bawa wanita harus bener-bener bisa jaga norma. Soalnya, kalian teh masih muda-muda, sayang-sayang kalau masa depan kalian harus hancur karena napsu semata. Pernah Bapak mergokin anak Bapak sendiri, nyimpen barang-barang yang tidak senonoh di kamarnya. Hampir aja Bapak bunuh dia karena saking marahnya.”. Ferdi hanya mengangguk mendengar ucapan Pak Rahman.
“Maaf, kita ke kanan apa lurus Pak?” Tanya Ferdi ketika sampai di pertigaan berikutnya.
“Ujang lurus aja! Dikit lagi Ujang juga sampai ke jalan utama kok. Dan Biar Bapak turun di sini aja.”
“Oh yah Pak makasih yah atas semuanya!”
“Sama-sama Jang. Hati-hati yah, jangan ngebut!” Kata Pak Rahman sambil membuka pintu mobil lalu turun.
“Bentar Pak!” Kata Ferdi kepada Pak Rahman ketika beliau akan menutup pintu mobil.
“Nih buat Bapak!” Ferdi memberikan uang RP. 20.000 kepada Pak Rahman.
“Atuh nggak usah repot-repot Jang, buat Ujang aja! Buat beli makan di jalan.”
“Nggak, saya ada kok. Ini buat Bapak, sekedar uang rokok.”
“Aduh, saya teh nggak pernah ngerokok atuh Jang, yaudah nggak usah basa-basi! Saya teh ikhlas nolongin Ujang.” Kata Pak Rahman sambil menutup pintu dan langsung berjalan cepat meninggalkan mobil Ferdi. Uang itu pun tidak jadi diberikan ke Pak Rahman.
Ferdi pun menyuruh Aditia untuk kembali duduk di sampingnya.
“Kasian yah Pak Rahman Dit.”
“Kenapa emangnya Fer?”
“Dia nggak diundang di acaranya Rina. Padahal, dia sendiri pamannya Rina.”
“Yah…, mungkin aja keluarganya Rina lagi ada masalah kali sama dia. Yaudalah, nggak usah difikirin, lebih baik setelin gue lagu yang rada-rada nge-rock, biar lebih semangat!”
“ssst, lo nggak tahu apa? Cewek-cewek di belakang masih tidur!”
“Oh-iya, ampir aja gue lupa.” Kata Aditia sambil menengok wajah-wajah tidur serius Indri dan Anna.
Hari telah memasuki waktu Magrib beberapa menit yang lalu. Tapi Ferdi tetap asyik mehnyetir mobil dengan ditemani alunan musik yang beraliran melow tanpa memperdulikan waktu shalat sama sekalih. Yang ada dibenak Ferdi saat itu adalah dia ingin cepat sampai di Jakarta. Saat itu mobil telah melaju di jalan utama kota bandung dengan kecepatan normal yang bersahabat dengan semua penumpangnya.
“Dit… Dit, jam berapa?” Kata Anna dengan nada bangun tidur sambil menepuk pundak Aditia.
Aditia melihat jam di HP-nya. “Jam enam lewat seperempat.”
“Berarti udah waktu magrib dong, kayaknya di depan situ ada masjid deh.”
“Mana?” Aditia memokuskan pandangannya ke pinggir jalan. Waktu itu mobil sudah berjalan cukup kencang. “Fer, Kita mampir shalat dulu!” Kata Aditia sambil menepuk pundak Ferdi yang serius menyetir. Dan seketika itu juga, Ferdi pun menghentikan laju mobilnya. Dia menebarkan pandangannya ke kiri dan ke kanan. Tapi sepertinya masjid itu telah terlewat cukup jauh, karna cepatnya mobil yang dia jalankan. Kemacetan pendek pun mulai terjadi.
“Aduh…, bukan dari tadi sih bilangnya. Lo semua liat nggak sih? Ini tuh jalur searah. Kita nggak bisa balik lagi!” Kata Ferdi dengan mengungkapkan kekesalannya.
“Tapikan kita bisa minggir di sini Fer!” Kata Anna dengan nada tenang.
“Kamu lagi!” Pandangan Ferdi menjadi sangar ke arah Anna. “Kamu bego apa tolol ha? Kamu nggak lihat rambu-rambu itu?” Kata Ferdi yang bener-bener kehabisan akal sehat sambil menunjuk rambu-rambu “Dilarang parkir” yang terlihat sudah kurang terurus.
Bentakan Ferdi membuat seisi mobil terdiam dan indri pun terbangun dari mimpi indahnya. Tidak terkecuali Anna. Dia baru kali ini dibentak-bentak sama orang lain yang hanya menjadi pacarnya saja. Sedangkan orang tuanya sendiri pun, tidak pernah melakukkan itu.
“Kok kamu enak banget sih bentak-bentak! Emangnya kamu siapa hah?” Anna ikut memanas.
Ferdi mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan lebih tinggi dari sebelumnya.
“Emangnya aku salah, kalau aku bentak kamu? Mikir dong Ann! Seharusnya kamu tuh kalau ngasih tau langsung ke aku bukan ke Aditia! Karena yang hnyetir tuh aku bukan dia!” Kata Ferdi dengan nada keras sambil matanya terus fokus ke jalanan.
“Fer…, jangan cepat-cepat! Lo mau ngebunuh kita semua apa?” Kata Aditia yang mulai ngeri dengan kecepatan mobil yang cukup tinggi. “Diem lo…!” Lagi-lagi Ferdi membentak Aditia.
Indri menjadi bingung dan bertanya-tanya kepada Anna, sebenarnya apa yang sedang terjadi.
“Seharusnya kamu tuh yang mikir! Kamukan orang Islam, dan seharusnya kamu tau apa yang seharusnya kamu lakuin ketika kamu nemuin masjid di waktu Shalat! Atau jangan-jangan…, kamu sendiri yang nggak mau ngelaksanain shalat.” Kata Anna dengan emosi.
“Ferdi…, lo apa-apaan sih Fer! Lo boleh aja kesel bahkan marah, tapi caranya nggak kayak gini dong!” Lanjut Indri yang mulai mengerti dengan pokok permasalahannya.
“Berisiiiiiiik…!” Bentak Ferdi kepada mereka semua.
“Ferdi…, awas ada bus di depan!” Teriakan Aditia semakin membahana. Ferdi pun nekat menyalip bus tersebut dengan mengambil jalur kanan. “Fer…, sadar, ini bukan trek formula1! Ini tuh jalanan!” Aditia terus berusaha menyadarkan Ferdi. Pada saat itu, kondisi Anna cukup pucat, perutnya sudah mulai mual-mual karena goncangan mobil yang cukup kuat. “Ferdi…, gue bilangin sekali lagi, lo akan menyesal! Lo perhatiin kondisi Anna dong, lo bisa-bisa nggak dapet izin lagi dari orang tuanya kalau lo terus begini!” Kata Indri menasehati.
“Dan apa lo nggak inget, sama semua yang baru aja lo omongin? Bahwa lo udah insap sama kebut-kebutan setelah lo ngeja kapok pacar gelap baru lo karena dia takut dengan kecepatan tinggi. Kalau caranya begini, itu sama aja lo munafik Fer!” Kata Aditia dengan emosi. Ferdi langsung mengentikan mobilnya setelah mendengar perkatan itu. Dia merasa sangat marah dengan semua yang dikatakan Aditia.
“Bagus Dit…, semua yang lo omongin barusan bener-bener bagus! Sebagai hadiah dari gue, silahkan lo turun dan ajak juga cewek lo yang murahan itu!” Kata Ferdi yang tidak bisa mengendalikan emosinya lagi. Indri ikut-ikutan marah setelah mendengar hinaan seperti itu. Emosi Aditia semakin terpancing. “OK, gue dan Indri akan turun!” Aditia membuka pintu mobil dan mengajak pacarnya turun. “Kita nggak rugi kok kalau lo nurunin gue dan Aditia. Dan satu lagi, perkataan lo akan gue bawa sampe gue mokat!” Lanjut Indri sambil membanting pintu mobil dengan keras.
Anna hanya terdiam, ketika menyaksikan Aditia dan Indri diusir secara kasar oleh Ferdi.
“Kamu juga mau ikut mereka?” Ferdi kembali berkata kepada Anna dengan tatapan tajam ketika dia melihat Anna yang siap-siap turun dari mobil.
“Kamu itu bener-bener egois yah! Mengusir teman kamu sendiri dengan kasar. Orang macam apa kamu? ” Anna mulai angkat bicara.
“Buat apa aku ngebawa orang-orang yang cuma bisa bikin hati aku kesal? ” Kata Ferdi yang masih emosi. “Itu bukan salah mereka, tapi salah kamu juga! Kamu selalu mengungkapkan kekesalanmu dengan hal-hal yang bisa mencelakai orang lain. Lagi pula, tipe cowok seperti kamu kenapa harus terlahir ke dunia ini? Cowok keras kepala, suka main belakang dan mainin perasaan cewek, kamu tuh emang cowok rendahan, derajat playboy masih lebih tinggi dari derajat kamu! Penampilan doang maco, tapi hati kayak iblis!” Setelah berkata itu, Anna langsung turun dari mobil sambil menangis. Secara tidak sengaja, kaki Ferdi menginjak pedal gas mobil. Untungnya, gigi mobil dalam keadaan bebas (0), sehingga mobil tidak melaju. Kejadian itu menyadarkan otak Aditia yang langsung memeluk Anna dan membawanya menjauh dari mobil itu. Anna hanya diam saja, ketika Aditia memeluknya sehingga membuat Ferdi menjadi tambah panas. “Dasar munafik! Muslimah palsu, jablay!” Teriak Ferdi yang langsung menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
“Sorry Ann, gue terpaksa ngelakuin ini semua. Gue panik banget ketika lo masih bersandar di mobil itu dalam keadaan mesin yang meraung tinggi.” Kata Aditia dengan nada menyesal. Anna hanya terdiam, dia Cuma bisa menangis. “Iya Ann, kita nggak mau kalau ampe lo celaka.” Kata Indri dengan nada menenangkan. “Yah makasih! Tapi masalahnya, sekarang itu kita mau naik kendaraan apa?” Kata Anna dengan nada sedih.
“Bukannya lo selalu ngeyakinin kita, bahwa Allah selalu bersama kita dalam keadaan apa pun?” Kata Aditia menasehati. Anna hanya terdiam.
Lama mereka berdiri mematung di tempat itu, dengan harapan ada angkutan umum yang melintas di depan mereka. “Gue juga nggak tahu Dri…, kenapa gue harus jatuh cinta dengan tipe cowok seperti Ferdi. Padahal kita semua tahu, cowok macem apa dia.” Kata Anna kepada Indri sambil mengisi kekosongan waktu. “Yah…, mungkin karena dia tajir, berpenampilan oke, sehingga lo ngerasa bangga memilikinya.”
“Lo salah…, kalau jawabannya seperti itu. Gue Cuma pengen ngerubah hidupnya supaya lebih baik, memiliki cinta sejati, dan tidak menjadi cowok rendahan dimata cewek-cewek.” Kata Anna dengan nada mengelak.
Sedikit bercerita, Anna mulai terketuk hatinya untuk memberikan cintanya kepada Ferdi ketika beberapa cewek disekolahnya sedang membicarakan Ferdi. Ternyata, mereka adalah para korban kepalsuan cintanya Ferdi. Ferdi memang cowok yang sangat pintar, dia memang paling bagus menyembunyikan sifat aslinya yang cukup berbahaya, mungkin lebih dari Aryanto. Pernah suatu ketika, dia membuat seorang cewek benar-benar patah hati. Dia memutuskan hubungannya dengan cewek itu setelah dia puas menjelajahinya (untungnya masih dalam tingkat kewajaran). “Gue udah bosen sama lo!” Katanya dengan nada tegas kepada cewek itu.
“Jadi, selama ini lo nggak cinta sama gue?” Kata cewek itu dengan nada sedih.
“Maybe…, tapi toh gue nggak ngerugiin lo kan? Thanks yah atas semuanya!” Ferdi mengeluarkan beberapa uang kertas Rp 50.000-an. “Semoga gue dapetin cewek yang lebih romantis dari lo.” Kata Ferdi sambil menyodorkan uang itu ke cewek tersebut.
“Berengsek lo Fer…! Ini pelecehan buat gue. Gue bukan jablay Fer…, gue nggak butuh uang lo!” Kata cewek itu dengan nada jengkel sambil membuang uang itu. Ferdi tidak menghiraukannya, dia pun meninggalkan cewek itu.
“Tapi…, gue fikir-fikir udahlah gue ambil aja! Buat bayar rumah kontrakan nyokap. Gara-gara bokap nggak pulang-pulang, nyokap gue jadi kelimpungan bayar kontrakan.” Kata cewek itu di dalam batin sambil memunguti uang-uang itu lalu dimasukin ke dalam dompetnya.
Itu adalah sebagian kecil dari kisah kehidupan Ferdi. Tapi pada intinya, dia selalu menganggap bahwa uang diatas segalanya.
***
Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di depan mereka.
“Kak Iskandar!” Sapa mereka serentak. “Dari mana Kak?” Kata Indri membuka basa basi. “Justru kalian yang dari mana. Dan ngapain di sini?” Iskandar balik bertanya sambil keluar dari mobilnya.
“Kami mau pulang ke jakarta, lagi nunggu bus.” Kata Anna.
Namun Iskandar tertawa geli. “Nunggu bus? Sampai tahun depan pun, lo mungkin nggak akan pernah pulang ke jakarta kecuali jalan kaki! Karena nggak ada kendaraan umum yang boleh lewat sini, ini jalur husus kendaraan pribadi you kno?” Kata Iskandar yang senyumnya semakin melebar.
“Sebaiknya…, lo semua harus belajar peta tata kota atau lebih banyak ngebaca berita lalulintas. Yaudalah, mendingan lo bareng mobil gue aja, kita bisa cerita banyak nanti.” Lanjut Iskandar sambil masuk ke pintu mobilnya dan membuka central lock untuk mereka.
Tanpa fikir panjang, mereka pun masuk ke mobil Iskandar. Aditia pun duduk di samping Iskandar.
Perlahan, mobil pun melaju dengan santai. Iskandar membawa mobil itu dengan nyaman.
“Gue curiga sama kalian, dari raut wajah kalian gue bisa menangkap sesuatu yang kalian sembunyikan.” Kata Iskandar sambil menyalahkan compact disk yang ada di mobilnya.
“Ah nggak kok Kak, kami biasa aja.” Kata Aditia.
“Sebaiknya kalian terbuka aja, itu lebih baik! Siapa tahu Kakak bisa ngebantuin kalian.” Akhirnya Aditia bercerita yang sebenarnya kepada Iskandar. Bahwa mereka semua diturunin di jalan sama Ferdi hanya karna hal sepele. Mereka nggak terima dengan kelakuan Ferdi yang menumpahkan kekesalannya dengan menyetir mobil sekencang-kencangnya. Seolah-olah dia mau membunuh Aditia, Indri, mau pun Anna. “Apakah kami salah kalau kami memilih turun dari mobilnya, demi keselamatan jiwa kami?” Kata Aditia kepada Iskandar.
“Yah-yah-yah…, kalian nggak bersalah. Kalian punya hak atas keselamatan kalian. Sepertinya Ferdi harus mendapat sedikit gertakan dari gue, biar dia sadar!” Kata Iskandar dengan nada tenang. Sementara Iskandar dan Aditia asyik mengobrol, Anna pun menyibukkan dirinya dengan membaca buku yang dulu pernah diberikan Ferdi ketika mereka di piranti mall. Buku itu memang sangat menarik, sudah ¾ bagian buku itu yang telah di baca Anna dalam waktu singkat. Sebagian buku itu mengisahkan, bagai mana tentara Yahudi merubah negara palestina yang penuh ketentraman, menjadi negara yang dimana pembunuhan dan penyiksaan menjadi pandangan sehari-hari di sanah. Sedangkan Indri, asyik dengan bermain game yang berada di Hp-nya.
***
Mobil Ferdi telah memasuki tol padalarang. Suasana di mobil itu sangat sunyi, yang terdengar hanya deru mesin mobil dan putaran roda yang melindas aspal jalanan. “Perasaan gue kok nggak karuan begini yah?” Kata Ferdi dalam batin. Dia pun menyetel radio tape-nya dan memutar lagu beraliran rock dengan volume yang keras. Ternyata lagu tersebut mampuh membuatnya menjadi rileks dan lebih bersemangat untuk menyetir. Ferdi pun menambah kecepatan mobilnya dan menyalip kendaraan apa saja yang mencoba menghalanginya. Tepatnya, Ferdi membawa mobil itu dengan ugal-ugalan. “Ini yang gue suka!” Kata Ferdi dalam batin.
Namun tiba-tiba, sebuah mobil menyalip mobil Ferdi dari arah kiri. Parahnya, sang sopir mengacungkan jari tengahnya ke Ferdi. “Bangsat…!” Kata Ferdi dengan jengkel. Bertepatan dengan itu, lagu telah berganti menjadi “Asoy”. Dia terus meningkatkan kecepatannya untuk mengejar mobil itu. Tapi sepertinya mobil yang di kejarnya lebih cepat darinya. Akhirnya, kecepatan mereka mulai berimbang. Perlahan, Ferdi berhasil mendekati mobil itu. Seorang anak kecil yang duduk paling belakang, membalikan badannya lalu menunjukan ejekan yang bener-bener tidak sopan untuk Ferdi. “Keparat…, minta gue hajar kali ni orang!” Ferdi bener-bener emosi. Dia nggak peduli lagi dengan kecepatan mobil yang dia bawa. Di otaknya, dia Cuma ingin menghajar orang-orang yang telah mengejeknya. Ferdi semakin dekat, dan berusaha menyalip dari segala arah, namun sayangnya selalu gagal. Mobil itu terus mengikuti gerakan Ferdi yang hendak menyalipnya. Ketika Ferdi ingin menyalip dari arah kiri, mobil itu pun bergerak ke arah kiri. Dan ketika Ferdi ingin menyalip mobil itu dari kanan, mobil itu pun bergerak ke kanan.
“Apa maunya nih orang?” Ferdi semakin jengkel. Ejekan-ejekan itu terus diluncurkan oleh para penumpang mobil tersebut ke Ferdi. Baru kali ini Ferdi benar-benar merasa terhina, dia telah kehabisan akal sehatnya, sehingga dia ingin sekali menabrakan mobilnya ke mobil itu. “Mungkin dengan cara ini, mereka bisa kapok!” Kata Ferdi dengan berapi-api. Tapi, ketika satu meter lagi mobil Ferdi akan menabraknya, tiba-tiba mesin mobil pun mati. Ferdi mencoba untuk men-start mesin itu, tapi starter-nya nggak bisa berfungsi dengan semestinya. Maka secara perlahan laju mobil Ferdi pun melambat dan berhenti. Mobil yang mengejeknya pun ikut berhenti. Tanpa membuang kesempatan, Ferdi pun turun dari mobilnya.
Segera Ferdi menghampiri mobil itu dengan kepalan tinju yang terarah ke kaca jendela mobil tersebut. “Anj…” Kata-kata Ferdi terpotong. Karena, Ketika Ferdi hampir mendekat, mobil itu langsung melaju dengan kecepatan sangat tinggi dan menghilang sekejap mata. Secara misterius, posisi mobil itu digantikan dengan sesosok tubuh seorang pemuda yang berdiri dengan wajah penuh senyuman. Wajahnya lumayan tampan, mungkin lebih tampan dari Ferdi. Sepertinya pemuda itu memiliki wibawa yang sangat tinggi. “Kaget yah?” Kata pemuda itu kepada Ferdi. “Itu sebenarnya yang kamu kejar bukan mobil adiku…, tapi itu semua penjelmaan dari setan-setan yang bearada di dalam dirimu!” Lanjut pemuda itu sambil berjalan mendekati Ferdi yang berdiri dengan penuh amarah serta kebencian yang mendalam. “Merekalah, yang ikut berperan membangkitkan rasa egomu karena tipisnya keimanan yang tertanam dalam dirimu. Mereka sangat senang berada di hatimu. Karena, kamu sangat mudah untuk dikendalikan mereka.” Pemuda itu terus berkata dengan nada yang tenang. “Apakah kamu nggak sadar, ketika teman-temanmu, kamu turunkan di jalan tanpa belas kasihan? Lalu, di mana perasaanmu? Apakah kamu terus menuruti rasa egomu, dibandingkan teman-teman yang selalu memberikan yang terbaik buatmu? Ferdi Adikku, sadarlah! Tanpa mereka, apa artinya hidupmu? Adikku, belajarlah untuk mengendalikkan perasaan, berfikirlah secara rasional, karena emosi yang berlebihan tak akan mampuh menyelesaikan suatu masalah.” Kata Pemuda itu dengan penuh makna. Sejenak Ferdi bingung, kok orang itu mengetahui apa yang dia lakukkan kepada teman-temannya. Dia pun akhirnya mengambil kesimpulan, bahwa orang itu sedari tadi mengikuti sambil mengintai Ferdi.
“Halaaaa… Dasar sotoy lo, jangan menggurui gua!” Kata Ferdi penuh emosi. Tanpa fikir panjang, Ferdi langsung meninju pemuda itu sekuat yang dia bisa. Tapi anehnya, yang ditinjunya tak bergeming sedikit pun. Dia hanya tersenyum seolah-olah menikmati setiap pukulan Ferdi. Lama-kelamaan Ferdi merasa bingung. Semua jurus telah dia keluarkan untuk menghajarnya. Tapi tetap aja dia berdiri dengan tegar sambil terus tersenyum. “Hai…, jangan mentang-mentang lo kuat yah, ayo lawan gua! Kita bukan bermain ketahanan fisik!” Kata Ferdi dengan perasaan terejek. “Adikku, Kakak tahu. Kamu cukup menguasai ilmu bela diri. Tapi kali ini Kakak nggak mau ngajak kamu bertarung! Kakak mau kamu bener-bener sadar, dan mampu mengendalikkan perasaan serta emosimu.” Kata pemuda itu masih dengan nada yang penuh kedamaian.
“Nggak usah basa basi, ayo lawan gua! ” Kata Ferdi yang tetap emosi.
“Baiklah.” Kata pemuda itu dengan wajah tenang. Maka, mereka pun saling mengacungkan tinjunya kearah lawan. “Mungkin ini bisa menyadarkan otakmu.” Pemuda itu langsung mengarahkan tinjunya tepat ke dada Ferdi. Tapi sebelum tinju itu menyentuh dada Ferdi, Ferdi merasa darahnya bergejolak. Dia seolah-olah tersengat aliran listrik bertegangan tinggi yang membuatnya berteriak. Dia merasa seluruh tenaganya terkuras sehingga dia pun tak kuat menahan tubuhnya sendiri. Dia pun jatuh lemas di pinggir jalan. “Semoga ada yang menolongmu!” Kata pemuda itu yang langsung pergi meninggalkan Ferdi. Ketika itu, Ferdi benar-benar lemah, mulutnya pun tak mampuh untuk digerakan. Tak ada teriakan yang bisa keluar dari tenggorokannya lagi. Dia hanya bisa menatap langit yang perlahan tertutup dengan awan, hingga akhirnya rintik hujan mulai membasahi tubuhnya.
***
“Kok tiba-tiba jadi hujan yah kak?” Kata Aditia kepada Kak Iskandar yang asyik memakan goreng-gorengan yang baru saja di beli di pinggir jalan sebelum masuk padalarang.
“Yah nggak tau, guekan bukan tuhan Dit.” Kata Iskandar dengan mulut yang masih penuh dengan makanan. “Kak, masih ada bakwannya nggak?” Kata Indri kepada Iskandar.
“Ya ada dong…, nih bawa aja semua kebelakang!” Kata Iskandar sambil memberikan gorengan itu ke Indri. “Ya ampun say, kamu ngertiin dikit dong, itukan punya Kak Iskandar!” Kata Aditia dengan penuh rasa malu kepada Iskandar.
“Biarin, yang punya juga nggak marah kok. Iyakan kak?” Kata Indri sambil mengambil bakwan dari bungkusnya. Iskandar hanya tersenyum, sambil matanya terus fokus ke jalanan. Aditia hanya menarik nafas dalam-dalam, karena dia bingung apa yang harus dia ucapkan kepada Indri.
“Kak-Kak, stop Kak!” Teriak Anna tiba-tiba. Mereka baru saja melewati mobil yang terparkir di pinggir jalan tol. Iskandar pun mengentikan mobilnya. Dengan spontan, Anna pun turun, menembus derasnya hujan. Dia melihat sesosok tubuh terbaring lemah di bawah mobil yang terparkir itu. “Astagfirullah, Ferdi!” Kata Anna dalam batin. “Aditia, Indri, tolongin gue…!” Sepontan, keduanya langsung turun dari mobil Iskandar dan berlari menuju Anna. “Ada apa Ann?” Kata Indri dengan nada panik.” Yaampun Ferdi, kenapa lo bisa begini? Astagfirullah!” Kata Aditia setelah dia melihat Ferdi yang terbaring sangat lemah di atas aspal.
“Cepat masukan ke mobil Dit!” Perintah Indri. Anna dan Aditia pun segera membuka mobil Ferdi dan mengangkat tubuhnya ke dalam mobil lalu membaringkannya di atas kursi mobil itu. “Kenapa dia?” Aditia membatin. “Apakah dia kecelakaan? Kayaknya nggak mungkin deh.” Aditia melanjutkan. Indri menemukan kunci mobil masih tertancap di bagian kontak setir kemudi. “Siapa yang bisa bawa mobil? Soalnya gue nggak bisa.” Kata Aditia kepada Indri dan Anna.
“Biarin gue aja yang bawa! Dan lo yang ngejaga Ferdi di belakang.” Kata Indri kepada Aditia sambil menghidupkan mesin mobil. Anna duduk di depan menemani Indri. Sepertinya mereka benar-benar melupakan semua masalah yang terjadi diantara mereka kepada Ferdi karena saking paniknya melihat tubuh Ferdi yang lemah dan basah kuyup itu. Iskandar sendiri pun, ditinggalkan begitu aja oleh mereka. “Hati-hati yah say…,” Kata Aditia dengan penuh rasa kehawatiran.
“Tenang aja…, emangnya Ferdi doang yang bisa bawa mobil.” Kata Indri setengah bercanda.
Ferdi pun mengedipkan matanya.
“Kita bawa dia kerumah sakit!” Kata Aditia. “Emangnya lo kenapa sih Fer?” Lanjut Aditia.
“Aaaaa…, ” Kata Ferdi yang tidak bisa melanjutkan pembicaraannya. Tubuhnya terasa tertusuk-tusuk jarum. Tiba-tiba, mata Ferdi terpejam. Sepertinya dia kehilangan kesadarannya. Aditia semakin panik dan menyuruh Indri untuk melajukan mobil itu lebih cepat. “Tenang-tenang say, kita berdoa semoga semuanya baik-baik aja!” Kata Indri menenangkan mereka.
Beberapa jam kemudian, mereka pun sampai di jakarta. Ferdi tetap tidak sadarkan diri dan keadaannya semakin menghawatirkan. Mereka pun segera menuju kerumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan. Lagi-lagi, rumah sakit yang pertama kali mereka temukan adalah Putra Medikall, rumah sakit yang tidak diragukkan lagi pelayanannya.
Ferdi segera mendapatkan pertolongan oleh para perawat dan dokter.
“Sepertinya dia hanya kehabisan stamina. Sejauh ini kondisi tubuhnya baik-baik saja.” Kata Seorang dokter yang memeriksa Ferdi kepada Anna di dalam ruang pemeriksaan.
“Apakah pasien habis melakukkan lari maraton Mbak?” Lanjut Dokter itu.
“Saya rasa tidak Dok, soalnya kami baru saja dari Bandung.” Kata Anna membantah.
“Jadi kalau bukan lari maraton, apa yang sebenarnya pasien lakukkan ketika sebelum semua ini terjadi?” Tanya Dokter itu lagi. Anna hanya terdiam, dia tidak bisa menjawab apa-apa.
“Yasudah kalau nggak bisa bercerita, mungkin terlalu rahasia. Tapi yang jelas, apa yang telah dia lakukkan ini membuat Energinya bener-bener terkuras habis Mbak, seperti ada yang menyedotnya. Kemungkinan yang terjadi, pasien memerlukan banyak suplemen untuk mendapatkan energi baru.” Jelas Dokter itu.
“Apa yang telah dilakukkan Ferdi?” Anna membatin.
Di ruang tunggu, Aditia dan Indri masih sempet-sempetnya melakukkan adegan yang bersifat romantis. Memang sih, ruang tunggu cukup sepi. Hanya ada mereka berdua. Mungkin karena kualitas kesehatan di kota itu sudah mulai membaik atau entah apalah penulis juga kurang mengerti. Ketika antara bibir hampir mendekat, tiba-tiba “Hayo…, ngapain itu dua-duaan…!” Iskandar muncul begitu saja tanpa mereka ketahui kedatangannya.
“Kak Iskandar…?” Kata Aditia dan Indri serentak.
“Sorry yah Kak, tadi kami ninggalin Kakak di jalan! Abis kami bener-bener panik melihat kondisi Ferdy.” Tiba-tiba, wajah Iskandar menjadi seperti orang kebingungan.
“Kapan lo ninggalin gue?” Iskandar bertanya kepada mereka.
“Hlo, bukannya Kakak yang nolongin kita waktu Ferdi nurunin kita di jalan?” Kata Indri setengah tidak percaya.
“Nolongin kalian? Kalian ngaco deh! Kakak tuh nggak kemana-mana. Karena dari tadi Kakak Cuma nemenin pacar Kakak cek kesehatannya di rumah sakit ini.” Kata Iskandar dengan perasaan bingung.
“Hlo…, berarti siapa yang nganterin kami?” Kata Aditia tambah bingung.
“Atau mungkin kakak punya saudara kembar?” Lanjut Indri yang mukanya mulai pucat.
“Alhamdulillah tidak. Gue anak tunggal, gue dapet kasih sayang penuh dari nyokap dan bokap gue.” Kata Iskandar yang senyumnya mengembang.
“Yuk say pulang…!” Kata seorang wanita berparas lumayan cantik yang baru datang sambil membawa sesuatu di tangannya.
“Apa kata dokter?” Kata Iskandar kepada pacarnya. “Aku harus banyak makan buah.” Kata wanita itu yang mulai memegang tangan Iskandar. “Kamu sih…, kalau aku bilangin bandel!” Kata Iskandar dengan nada menasehati. “Oh yah…, Aditia dan Indri, kenalin ini Rindia, Pacar Kakak!” Kata Iskandar sambil mengenalkan Pacarnya ke mereka berdua. Mereka pun saling berjabat tangan dan menyebutkan nama mereka masing-masing.
Tak beberapa lama kemudian, Anna keluar. Dia melihat teman-temannya sedang berbicara dengan Kak Iskandar. “Hai…, siapa nama lo…?” Kata Iskandar yang menyapa Anna. Anna pun menjadi sangat bingung, “Hlo…, saya Siti Nurhasanah kak! Ini Kak Iskandarkan? Yang nolongin kita semua. Oh yah, sorry yah Kak nggak bilang-bilang ninggalin Kak Iskandar. Kita semua tadi lagi panik!” Kata Anna sambil menyalami Iskandar. “Oh yah-yah-yah…, abis lo berkutatnya Cuma di mushalah doang sih! Kuper dasar lo!” Kata Iskandar kepada Anna. Tampak Rindia mulai menarik-narik tangan Iskandar sebagai isyarat ingin cepat-cepat pulang. “Oh-yah…, sebelum gue pulang, gue pengen tahu dong…, letaknya dimana gue nawarin tumpangan sama lo semua?” Kata Iskandar dengan rasa ingin tahu. Aditia lalu menjelaskan dengan detail daerah tersebut. “Kakak tahukan daerah itu?” Tanya Aditia sesudah menjelaskan kepada Iskandar. Tiba-tiba, muka Iskandar menjadi pucat karena ketakutan, Rindia pun tiba-tiba langsung memeluk Iskandar serta menyembunyikan kepalanya di belakang punggung Iskandar. “Kenapa Kak?” Aditia menjadi heran melihat sikap mereka berdua. “E-eng-engak…, nggak ada apa-apa, yaudah kita mau buru-buru nih, ada acara lagi!” Iskandar dan pacarnya langsung lari terbirit-birit meninggalkan mereka.
Aditia dan Indri saling berpandangan.
“Kenapa sih kalian? Muka kalian kayak abis ngeliat hantu aja.” Kata Anna dengan perasaan bingung.
“Ngak-nggak, nggak apa-apa, gimana keadaan Ferdi?” Kata Aditia gugup.
“Alhamdulillah, dia baik-baik aja.” Kata Anna dengan nada tenang.
“Apa bonyoknya udah lo telpon Ann?” Kata Aditia.
“Dokter tidak menganjurkan untuk menelpon mereka.” Kata Anna singkat.
“Gimana dengan administrasinya?” Kata Indri bingung.
“Say…, kamu gimana sih? Seluruh keluarganya Ferdi tuh udah mendaftarkan dirinya ke asuransi kesehatan…,” Kata Aditia kepada Indri.
“Kita juga boleh pulang kok, katanya sih ada petugas yang udah siap ngejagain dia.”
“Yaudah…, syukurlah kalau gitu. Yuk say!” Aditia mengajak Indri untuk pulang.
Anna nggak bareng mereka karena lain arah. Kali ini dia minta dijemput sama orang tuanya. Dia pun menelepon orang tuanya menggunakan HP Aditia.
“Yaudah, kita duluan yah!” Kata Aditia setelah Anna selesai menelepon orang tuanya.
Sambil berjalan, Indri terus memeluk Aditia karena takut. “Nggak ada apa-apa say, semuanya baik-baik aja kok.” Kata Aditia setelah mereka berada di pelataran rumah sakit.
“Tapi aku takut banget Dit…! Dari raut wajah kak Iskandar, menggambarkan bahwa tempat itu angker dan berarti yang nolongin kita itu hantu!” Kata Indri sambil terus memeluk Aditia.
“Enggak-enggak, semuanya akan baik-baik aja. Walau pun itu hantu…, mudah-mudahan nggak mengganggu kita.” Kata Aditia menenangkan.
“Tapi hantu tetaplah hantu say…, sampai kapan pun tetap menakutkan!” Kata Indri dengan nada manja.
“Iya-iya…, tapi asal kamu tahu, Allah menciptakan kita sebagai mahluk yang paling sempurna diantara mahluk-mahluk lainnya. Kita hanya boleh takut sama Allah, bukan sama yang lainnya. Udahlah, tuh taksinya dateng.” Kata Aditia yang menyudahi pembicaraannya ketika sebuah taksi berhenti di depan mereka.
Ketika Anna sedang menunggu jemputan di pos jaga milik Putra Medikal, tiba-tiba perasaannya menjadi tidak karuan. Seperti ada yang menyuruh untuk menuju mobil Ferdi. Dia pun akhirnya berjalan ke halaman parkir tempat mobil itu di parkirkan. Dia benar-benar melupakan tujuan yang sebenarnya. Dia melihat mobil tidak terkunci, dan konci itu masih tergantung di kontaknya. “Yaampuuuuuuun…, ceroboh banget sih Indri.” Kata Anna membatin. Tapi tiba-tiba saja dia ingin masuk ke ruang kemudi untuk menyalahkan mesin mobil. Mesin pun menyalah, Anna semakin bingung kenapa dia harus menyalahkan mesinnya. Dia sama sekalih tidak memiliki pengalaman menyetir. Tapi perasaannya terus mendorongnya untuk menjalankan mobil itu. Dia seperti mendapatkan keberanian baru untuk menjalankan mobil itu menembus jalan raya. “Ada apa ini, Sebenarnya kenapa gue?” Fikiranya mengatakan bahwa dia harus mengantarkan mobil itu kerumah Ferdi.
“Kenapa harus gue? Gue nggak bisa ngetir!” Kata Anna dalam batin. Fikirannya berkata bahwa Anna mampuh untuk membawanya. Anna yakin akan fikirannya, sehingga dia pun menenangkan diri untuk membawa mobil itu.
Dia pun akhirnya sampai di perkompleksan elit yang di situ terdapat rumah Ferdi. Di rumah Ferdi, Pak Topo dan Bi Ijah baru saja menyelesaikan beres-beres rumah majikkannya yang sedang kosong karna ditinggalkan ke Bandung. Mereka sedang ngobrol-ngobrol di halaman depan. Sesaat kemudian, sebuah mobil berhenti di depan rumah itu. “Yaampun…, Tuan udah pulang. Tapi, bukannya beliau pulangnya besok?” Batin Bi Ijah ketika melihat mobil itu. Pak Topo masih asyik dengan kopinya dan tidak tahu apa yang sedang terjadi. Bi Ijah terus memperhatikan mobil itu, tapi yang keluar hanya seorang wanita bertampang dingin yang sebaya dengan Ferdi. Anna juga bingung, kenapa perasaannya bisa begitu. “Hlo, kemana yang lain Non, kenapa non yang membawa mobil itu?” Tanya Bi Ijah dengan heran kepada Anna.
“Yang lain masih sibuk, saya disuruh mengantar mobil ini.” Kata Anna dengan nada ketus. Tanpa dipersilahkan, Anna langsung masuk ke dalam rumah. Bi Ijah mengikutinya.
“Mana kunci kamar ini?” Kata Anna ketika berada di depan kamar Ferdi sambil matanya melotot ke arah Bi Ijah. Anna sendiri pun bingung, kenapa dia harus berperilaku sekasar ini, dia hanya bisa menjalankan perintah-perintah yang terekam dalam otaknya tanpa mampuh untuk membantah.
“Ma-maaf non, saya tidak bisa memberikannya tanpa seijin Dhen Ferdi.” Kata Bi Ijah yang mukanya agak pucat karena ngeri melihat raut wajah Anna.
“Saya sudah izin dengan dia!” Kata Anna meyakinkan Bi Ijah. Sekali lagi kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa bisa Anna kendalikan. “Yaampun…, apa yang udah gue katakan?” Batin Anna.
“Maaf, tetep nggak bisa non, kami baru mengenal wajah non, siapa tahu aja Anda mau merampok rumah ini.” Kata Bi Ijah semakin ketakutan. Anna langsung berjalan ke meja telpon, dan melihat kunci yang tergeletak di atasnya. Dia ambil kunci itu dan dia pun memasukkan ke lubang kunci pintu kamar Ferdi. Pintu pun terbuka. Bi Ijah hanya bisa mematung menyaksikan Anna yang memasuki kamar Ferdi.
“Hlo…, kapan Tuan dateng?” Pak Topo membatin ketika dia melihat mobil yang terparkir di depan rumah. “Jah…, Ijah…!” Panggil Pak Topo dari luar Rumah.
Beberapa saat kemudian…, “Gumprang…, klotak-klotak-klotak… Brak-bruk-brak-bruk.” Terdengar kegaduhan dari dalam rumah serta teriakan Bi Ijah “Jangan non… Jangan!” Pak Topo segera berlari ke dalam dan langsung melihat apa yang sedang terjadi. Dia melihat, Anna sedang membantingi bingkai-bingkai yang berisikan foto-foto cewek seksi hingga kaca-kacanya hancur. Bukan itu saja, beberapa buah VCD porno dipatahkan hingga berkeping-keping serta majalah full sex, di robek dan diremes-remes hingga tak terbentuk lagi.
“Astagfirullah Al-azim non, jangan lakukkan itu! Kami sendiri saja nggak berani.” Kata Bi Ijah dengan perasaan takut.
“Kamu ini bener-bener nggak sopan yah!” Kata Pak topo dengan emosi.
“Kalian yang nggak bisa mendidik majikan kalian sendiri!” Anna juga emosi. “Sekarang, bakar ini semua! Sebelum semuanya menjadi tambah buruk.” Kata Anna sambil memasukkan benda-benda itu ketempat sampah yang tersedia di kamar itu.
“Emangnya kamu siapa? Nyuruh-nyuruh kami, bener-bener nggak sopan kamu!” Kata Pak Topo sambil berbalik meninggalkan kamar itu dan mengajak Bi Ijah. “Kita laporkan saja kepada majikan kita.”.
Anna pun membawa kepingan-kepingan itu kebelakang halaman rumah. Sedangkan Bi Ijah sedang melaporkan kejadian itu kepada Pak Tanto bahwa ada wanita yang sebaya dengan Ferdi sedang mengamuk di kamar Ferdi. Di halaman belakang, kepingan-kepingan itu mulai terbakar, dengan api yang cukup besar. Maka dengan seketika, benda-benda itu pun hangus. Anna pun bingung, apa yang sedang dia lakukkan. Dan mengapa dia membakar itu semua. Mengapa dia harus kerumah Ferdi, dan mengapa dia harus mengacak-ngacak kamar Ferdi, dan pertanyaan “mengapa” terus berkecamuk di dalam otaknya. Anna segera masuk ke dalam rumah, dan melihat percakapan Bi Ijah dengan penelepon.
“Ini Pak orangnya!” Kata Bi Ijah yang langsung memberikan gagang telpon ke Anna.
“Halo…, ini siapa? Mengapa anda mengacak-ngacak kamar anak saya? Anda bisa saya laporkan kepada pihak yang berwajib!” Kata Pak Tanto dengan emosi.
“OK…, saya Siti Nur Hasanah, saya terpaksa melakukkan ini semua karena Bapak dan Ibu sebagai orang tua Ferdi tidak becus mendidik Ferdi.” Kata Anna dengan nada kasar.
“Lancang sekali, Kurangajar sekalih kamu!” Kata Pak Tanto semakin emosi.
“Biar mamah yang bicara Pah!” Bu Tanto merebut HP dari tangan suaminya.
“Halo…, ini siapa yah?” Kata Bu Tanto dengan Ramah.
“Kenapa Tanteh membiarkan anak Tante hidup dalam kemaksiatan hah? Ibu macam apa anda!” Kata Anna yang bener-bener kata-katanya terucap begitu saja.
“Anda…, membiarkan anak anda mengkoleksi barang-barang busuk di kamarnya. Mengapa anda harus menjadi seorang ibu baginya?” Kata Anna dengan lantang.
“Cukup…! Apa yang anda bicarakan adalah suatu penghinaan yang besar untuk kami. Asal kamu tahu, kami memberikan kebebasan kepada Ferdi seluas-luasnya. Karena kami mengerti, Ferdi mampuh memilih mana yang harus dia tiru dan mana yang tidak. Jadi, kamu sama sekalih nggak punya hak untuk mengatur kehidupan keluarga kami. Selamat malam!” Bu Tanto memutus teleponnya.
Anna kembali beraksi. Namun, ketika dia mau kembali kekamar Ferdi, dia dihalangi oleh Pak Topo. “Minggir…!” Bentak Anna kepada Pak Topo.
“Mau ngapain lagi Hah?” Pak Topo menjadi naik pitam. “Sebaiknya kamu pulang!” Lanjut Pak Topo sambil mengunci pintu kamar Ferdi.
“Buka Nggak!” Anna semakin emosih. “Nggak bisa!” Pak Topo tidak mau kalah. Akhirnya, Annna pun menendang pintu itu hingga terbuka. Pak Topo menjadi pucat, dia tidak menyangka ada cewek yang memiliki super power untuk mendobrak pintu kamar Ferdi dengan sekalih tendangan. Padahal, pintunya cukup kuat karena terbuat dari jati. Anna sendiri pun juga tidak mengerti, kok bisa begitu. Dia langsung menyalahkan komputer milik Ferdi. Kemudian muncul perintah untuk memasukan “User name And password”. Sedangkan dia sendiri sama sekalih tidak mengetahui itu semua. Tapi takdir berkehendak lain, tangannya langsung mengetik asal saja untuk mengisi nama user dan password. Akhirnya, komputer itu pun berhasil ditembus.
Anna langsung meng-klik menu search dan mengetik “*.jpg, *.gif, *.bmp, *.mp3, *.avi, *.mpg, *.wav, ” Dan file ekstensi lainnya yang bisa menampilkan media. Setelah mengetikan itu, dia langsung meng-klik “Search”. Hasilnya pun langsung bermunculan. Ribuan file langsung terpampang di layar komputer. Tanpa dibuka lagi, Anna langsung menghapus file yang dia yakini adalah file yang tidak layak untuk berada dikomputer itu. Setelah file-file itu ter-blok, dia pun menekan tombol “Shift+del” dan meng-klik “Yes” ketika muncul konfirmasih penghapusan dan “Yes to all” ketika muncul dialog yang memberitahukan bahwa file itu bersifat “Read only”. Anna hanya bisa memandangi status yang bertuliskan “Deleting file…” pada layar komputer itu. Hatinya resah, dia khawatir kalau-kalau file yang dihapusnya adalah file penting. Namun hati kecilnya terus meyakinkan bahwa semua yang dia lakukkan adalah benar adanya.
***
“Saha nu telpon malam-malam kiyou Jang?” Tanya neneknya Reski kepada Pak Tanto ketika mereka berada di ruang tengah.
“Saya bingung…, baru kali ini saya digurui sama bocah baru kemarin…” Kata Pak Tanto dengan nada jengkel. Terlihat sang Nenek berfikir penuh konsentrasi. “Atuh Jang…, ini teh gawat… Jang! Aya yang mengendalikan bocah itu!” Kata Nenek itu dengan panik.
“Maksud nyai apa?” Pak Tanto benar-benar bingung.
“Semacam mahluk gaib leluhur keluarga ini yang sangat marah dengan kalian semua.” Nenek menjelaskan.
“Hala…, semua itu nonsen! Nggak mungkin orang mati bisa melakukkan sesuatu!” Kata Pak Tanto sambil menggebrak meja. Tiba-tiba terdengar teriakan dari kamar Robi. “Pah Robi Pah!” Kata Ibunya Rina kepada suaminya yang ikut nimbrung dalam pembicaraan itu. Tampak Robi mengamuk di kamarnya, membuang apa saja yang berada di dekatnya. Mengacak-ngacak buku pelajarannya, kaset playstation-nya, dan benda-benda lainnya.
“Dia teh kesurupan!” Seru Nenek itu ketika melihat Robi yang sedang mengamuk.
“Nak…, kenapa?” Sang Ibu langsung memeluk anaknya. Tapi, Robi mendorong ibunya hingga jatuh. “Mamah dan Papah Jahat!”
“Emangnya jahatnya teh kunaon kasep?” Kata Nenek dengan ramah.
“Kenapa kalian nggak minta izin Mang Rahman kalau mau ngadain acara pertunangan?” Serentak yang mendengarkannya kaget.
“Nak…, Mang Rahman teh udah lama meninggal, gimana minta izinnya nak? Kamu teh macem-macem aja!” Kata sang Bapak.
Robi pun melempar bantal kearah Ibu dan Bapaknya. Serentak mereka pun mundur. “Kasep…, tenang! Nanti biar ua yang beri pengertian kepada mereka. Nggak boleh gitu, nggak boleh kasar sama orang tua…!” Kata sang Nenek kepada Robi.
“Rahman…, sangat marah sama kalian. Kalian telah benar-benar melupakannya setelah dia meninggal. Keluarga macam apa kalian?” Kata sang Nenek dengan nada menasehati kepada seluruh orang yang berada di situ. “Tapikan…” Kata Bapaknya Robi mengelak alasan sang Nenek.
“Pak…, saya tahu, anda kurang meyakini hal-hal mistis seperti ini. Tapi cobalah untuk mengerti. Biar dia sudah mati, tapi jiwanya tetap hidup dan terus memantau seluruh kegiatan Bapak dan keluarga.” Kata Nenek itu menjelaskan.
“Sekarang saya tanya, berapa kali sehari kalian mendoakan leluhur yang telah meninggal?” Lanjut Nenek itu. Mereka hanya terdiam.
“Apakah kalian nggak belajar agama? Atau mungkin…, kehidupan moderenlah yang merubah gaya hidup kalian. Saya nggak habis fikir, kenapa cucu saya harus mendapatkan jodoh dari keturunan kalian.” Kata Nenek itu yang membuat muka mereka semua memerah.
“Jadi…, apa yang harus kita lakukkan?” Kata Bapaknya Robi dengan nada bergetar.
“Mulai sekarang, kalian harus kirim doa kepada mereka, datangi makamnya! Terutama kepada Rahman, yang benar-benar kalian lupakan.” Kata Nenek itu dengan nada menggurui.
“Kami…, kami mengaku bersalah. Kami telah lupa setelah kami mengalami kehidupan yang moderen dengan harta yang berlimpah. Baiklah, Kami akan datangi makam Rahman secepatnya.” Kata Bapaknya Robi dengan nada sangat bersalah.
“Robi sayang, jangan ngamuk lagi yah! Kita akan pergi ke makam Mang Rahman besok.” Kata Sang Ibu kepada Robi sambil mencucurkan air mata.
“Benar Mah, Pah?” Kata Robi.
“Iya sayang, besok juga kita semua akan kesanah.” Kata Bapaknya Robi kepada anaknya.
“Iya Pah, Mang Rahman sangat sedih, karena kalian bener-benar melupakannya. Kasian dia!” Kata Robi dengan nada sedih.
“Iya-iya, sekarang kasep tidur lagi, biar besok nggak kesiangan ke makamnya.” Kata Sang Nenek dengan nada lembut sambil membelai rambut Robi. Benda-benda yang berserakan pun kembali dibereskan oleh Ibunya Robi. Beberapa menit kemudian, mereka pun meninggalkan kamarnya Robi.
“Saya nggak habis fikir, Rahman bisa terlupakan sama sekalih.” Kata bapaknya Robi kepada Pak Tanto, ketika mereka berada di ruang tengah.
“Kamu Jang, juga harus tahu. Bahwa anakmu Ferdy, harus lebih mendapatkan perhatian darimu dan istrimu. Biar bagai mana pun, sang anak tidak bisa diberikan kebebasan yang seharusnya tidak diberikan, ya seperti…, mengkoleksi barang-barang yang nggak pantas untuk dikoleksi. Jangan sekali-kali, anda menyalahkan bocah yang memaki-maki kalian di telpon tadi. Karena…, apa yang dikatakannya itu benar, kalian memang tidak bisa mendidik anak, mengajarkannya dijalan yang benar.” Kata Sang Nenek dengan nada menasehati.
“Yah…, kami merasa bersalah, kami hanya mementingkan bisnis kami yang menjanjikan kejayaan, tapi menghancurkan akhlak anak-anak kami.” Kata Pak Tanto. “hasanah, maafkan om!” Batin Pak Tanto.