Aku kemasi kosmetik-kosmetik ku ke tas tanganku. Sekali lagi aku melihat ke kaca, ”Sudah cantik!” gumamku dalam hati. Aku adalah seorang wanita-pria. Tuntutan hidup menjadikan aku seperti ini, sebenarnya tidak itu saja, aku juga mengalami trauma terhadap wanita.
Saat itu aku bekerja di rumah seorang konglomerat. Saat itu aku masih berumur 14 tahun. Peristiwa yang membuatku trauma adalah saat aku sedang memangkas bonsai di taman belakang rumah, tiba-tiba nyonya besar memanggilku. Bergegas aku menujunya. Di sana nyonya sedang duduk santai. Dia menggapai-gapaikan tangannya kearahku dan saat tanganku menyentuh tangannya dia menuntunku duduk disebelahnya.
”Kamu lagi ngapain?” tanyanya dengan manis.
”Saya sedang memangkas bonsai nyonya,” Jawabku dengan gugup, karena tangan nyonya sudah sampai di daerah sensitif dan makin lama makin ke dalam.
”Mungkin nyonya kesepian setelah ditinggalkan Tuan 4 bulan berlayar. Tapi mengapa dilampiaskan kepadaku?” Saat itu aku merasa ketakutan dan nyonya terus saja menggorogotiku. Aku tak bisa berbuat apa-apa, dia terus mempermainkanku.
Lamunanku terbuyar saat aku dengar suara ketukan pintu. ”Pasti Rani” Pikirku dalam hati.
Rani adalah teman kumpulku. Kami sering mangkal bareng, belanja, dan banyak, deh. Sebenarnya namanya Rony, tapi karena sekarang jadi wanita-pria, namanya diganti Rani. Riwayat hidupnya hampir sama denganku, bedanya yang merusak masa depannya itu bibinya sendiri.
”Lama amat, sih, Nek!” ketus Rani saat pintu ku buka.
Aku membimbing Rani ke dalam rumah. Seperti biasa dia bercerita panjang lebar.
”Tahu enggak, sih, Nek, akikah tadi ketemu berondong, sumpah imut banget gitu, lho!” Dia berbicara keras sekali sampai rambutnya yang ikal rusak sisirannya.
”You, sih nggak mau cepet buka pintu, kalau cepet, kan, You bisa ketemu dengan, tuh, berondong!” Sekali lagi dia berkata.
Aku hanya tersenyum sambil berkata, ”Akikah enggak nepsong lagi sam brondong. Akikah, kan sudah punya bronis!”.
”Apa, tuh, bronis?” Dia bertanya dengan penasaran sampai wajahnya maju ke depan.
”Berondong manis!”. Kami pun tertawa terbahak-bahak.
”Udah, nih, Nek, kita berangkat dulu, yuk! Nanti Oom Kumis keburu pergi lagi”. Dia berbicara sambil menjinjing tas tangannya.
Kami sampai di Club Malam tempat biasa kami mangkal. Seperti biasa, Oom kumis telah booking tempat di sudut ruangan.
”Hallo, Oom!” Kami berhambur sambil mencium Oom Kumis.
Sebenarnya nama Oom itu Oom Lukman, tapi karena kumisnya tebal dan bikin geli kami menjulukinya om kumis, deh.
”You kemana, sih, Nek, kok jarang tele-tele akikah?” Oom Kumis berbicara sambil membelai rambut ku.
Memang aku sudah satu minggu tidak mangkal, mungkin om kumis kangen denganku.
”Sekarang kita mau ngapain?” tanya Oom Kumis kepada kami.
”Ya, seperti biasa om, kita main engkek-engkekkan!” Rani bicara sambil meloncat-loncat.
”Apa tuh engkek-engkekkan?” tanya ku.
”Disko! Tapi di…” Tambahnya lagi.
Jujur malam ini aku capek sekali. Dari pada melayani Oom kumis yang keinginannya gede, lebih baik aku pulang.
Akhirnya dengan sedikit rayuan, aku bisa meninggalkan Oom Kumis dan Rani. Nampak di wajah rani, dia tidak mengerti denganku. Ah, biarkan saja, malam ini memang aku capek sekali.
Ku rebahkan tubuhku di atas ranjang yang mewah. Kupandangi langit-langit. Aku melamunkan diriku.
”Sepertinya aku telah jauh tersesat” gumamku dalam hati.
Sebenarnya aku ingin sekali menjadi laki-laki normal, tapi aku tak bisa lepas dari kehidupanku sekarang. Lamunanku buyar saat ku dengar dering telepon di ruang tamu.
”Pasti Oom Kumis” tebakku dalam hati.
”Hallo!” Aku bicara dengan lemas.
”Alhamdulillah, akhirnya kamu angkat juga, Le!”
Hah, bapak dan ibu?!! Dari mana mereka tahu nomor telepon ku??!!
”Ono opo pak?” Tanyaku kepada bapak. Tampak suara ibu dibelakang bapak berusaha ingin berbicara denganku.
”Begini, Le, bapak dengan ibumu punya hajat. Bapak dan ibumu ingin menikahkan kamu, Le.”
Dalam diamku aku tersentak, mana mungkin aku bisa menikah dengan perempuan.
Singkatnya bapak dan ibu ingin ke Jakarta untuk menjemputku, katanya dia akan datang 2 hari lagi. Aku memberitahukan ini kepada Ranid dan Rani, mereka menanggapi ini dengan serius tapi dia memberikan semangat kepadaku untuk keluar dari dunia kami.
”Udah, deh, Nek, jangan takut! You masih bisa bangunkan? Akikah doakan, deh, semoga You bisa menjalani hidup normal, dan nanti kalau ketemu akikah bisa, donk, kita, nih!”
Ucapan dan semangat yang diberikan Rani membangkitkan semangatku untuk meninggalkan dunia kami sekarang ini. Aku salut dengan Rani, biar begitu dia punya pengertian yang tinggi.
Malam ini kami menghabiskan sisa malam dengan berdandan secantik mungkin di restoran langganan kami. Sekali-kali kami menjaili bronis-bronis yang lalu lalang. Aku ingin menghabiskan malam terakhir ini bersama Rani, karena mungkin kami tidak bisa bertemu lagi.
Aku sampai dirumah kira-kira jam dua pagi. Aku tak tau apa-apa karena aku mabuk berat. Ku lalui ruang tamu yang entah kenapa tak terkunci. Di sofa aku melihat bapak dan ibu sedang kebingungan memandangiku. Ku lihat ibu meneteskan air mata.
”Astagfirullahul ‘azhim!” Bapak berteriak histeris.
Aku menceritakan semuanya kepada bapak dan ibu. Ku lihat ibu masih menangis sampai tersedu-sedu. Selendang kuningnya dipakai untuk menghapus air matanya. Saat itu aku tak tahu berbuat apa, mungkin karena pengaruh minuman aku menjadi jujur kepada bapak dan ibu.
Keesokan harinya kami pulang ke kampung. Bapak berjanji padaku untuk mengobati aku ke paranolmal di kampung kami dan setelah aku sembuh aku akan dinikahkan.
Saat hari pernikahanku ku lihat ibuku sangat bahagia. Dia mengundang semua kerabat dan penduduk setempat. Dalam senyumannya tersirat ketakutan bila semua undangan tahu bahwa sebelumnya aku adalah seorang wanita-pria. Akupun begitu. Aku takut orang-orang tau, terutama istriku yang cantik. Istriku adalah anak dari kepala desa. Aku dijodohkan dengan dia karena ayahku adalah teman dari kepala desa tersebut dan kata ibuku dari kecil aku telah dijodohkan.
Kami hidup bahagia di desa yang permai. Saat ini aku telah menjadi seorang kepala desa dan aku telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan mirip sekali dengan aku. Aku memberi nama anaku Ali, dan harapanku kelak dia akan menjadi seorang pemberani seperti Ali Bin Abi Tholib.
Saat sore hari yang cerah, aku menyuruh Ali untuk bermain sepak bola bersama aku dan teman-temannya. Entah mengapa Ali tak mau. Aku memaksa Ali untuk bermain bola hingga dia menangis. Ali berlari ke dalam kamarku dan mengunci pintu. Aku merasa sangat bersalah telah membuat bua hatiku menangis. Istriku membujuk ku untuk meminta maaf kepada Ali. Dan dengan agak berat aku bergegas menuju kamarku.
Di kamar ku dengar sayup-sayup ali menyanyi. Kelihatannya dia sangat bahagia, tapi mana mungkin dia bahagia setelah aku marahi. Karena penasaran aku mengintip ali dari lubang kunci. Betapa terkejutnya aku ketika melihat apa yang ku lihat. Ali memakai baju istriku dengan make up yang tebal serta memakai lipstik, dan bergaya bak peragawati di kamar!!!