Ramayana
Penulis: R. K. Narayan
PROLOG
Sesuai dengan tradisi klasik, Kamban memulai epiknya dengan menggambarkan negeri tempat kisah ini terjadi. Stanza pertama menyebutkan Sungai Sarayu, yang mengalir melewati negeri Kosala. Stanza kedua mengangkat pandangan kita ke langit untuk mengamati awan putih lembut yang perlahan menyeberangi langit menuju lautan, dan kelak kembali dalam bentuk awan gelap bergumpal-gumpal dipadati butiran air ke puncak-puncak gunung, di mana awan kelabu itu akan mengembun dan mengalir menuruni lereng-lereng dalam sungai-sungai kecil sambil menggerus harta kekayaan sisi gunung, berupa intisari dan mineral (“sungguh bagaikan seorang perempuan penghibur dengan lembut melepaskan barang-barang berharga pelanggannya sembari terus membelai”). Sungai itu mengalir turun dengan dipenuhi banyak barang berharga seperti batu mulia, kayu cendana, bulu merak, dan kelopak bunga beraneka warna serta butiran serbuk sari, membawa semuanya melewati gunung-gunung, hutan, lembah serta dataran negeri Kosala, dan, setelah dengan rata membagikan hadiah-hadiah tersebut, mengakhiri perjalanan di lautan.
Sang penyair kemudian menggambarkan pedesaan dengan kebun-kebun dan semak belukarnya; penduduk lelaki dan perempuan yang sibuk bekerja, kegiatan mereka berkisar dari menggarap tanah, menuai, dan menebah biji sampai menonton adu-jago di petang hari. Pada latar belakang, terdengar erangan tak henti penggilingan gula atau jagung, lenguh hewan peliharaan, atau riuh kereta ditarik sapi jantan dengan muatan hasil bumi untuk dibawa ke tanah nan jauh. Berbagai macam asap membubung di udara, dari cerobong dapur, tempat pembakaran, api upacara kurban, dan kayu wangi yang dibakar sebagai dupa. Berbagai macam sari manis dari tebu dan palmira, embun di tengah bunga krisan atau lotus, atau sarang lebah penuh madu di bawah pohon-pohon aromatik—pepohonan yang memberi makan lebah madu maupun burung-burung kecil yang bisa hidup hanya dari makanan semacam itu; bahkan ikan-ikan menikmati sari manis yang menetes dan mengambang ke dalam sungai itu. Selalu tengah terselenggara sebuah perayaan atau pesta pernikahan dengan tambur, suling dan arak-arakan di satu kuil atau yang lain. Kamban menggambarkan setiap bunyi, pemandangan, dan aroma desa itu, bahkan tidak lupa menyebutkan tumpukan sampah dengan ayam dan burung gagak tengah sibuk mengais dan mencari-cari di tengah sampah itu.
Kosala merupakan negeri yang luas, dan tak banyak yang bisa menyatakan telah menyeberanginya dari ujung ke ujung. Ibu kotanya adalah Ayodya, kota penuh istana, rumah besar, air mancur, alun-alun dan benteng-benteng dengan istana raja mendominasi lanskapnya. Kota itu mengagumkan dan hampir menyamai kota Amrawati tempat tinggal Dewa Indra yang menakjubkan, atau Alkapuri kediaman Dewa Kuwera. Pemilik istana dan pemimpin negeri ini adalah Raja Dasarata, yang memerintah dengan penuh keberanian dan kasih sayang, dicintai serta dihormati oleh rakyatnya, dan dalam berbagai segi kehidupannya, sangat berbahagia. Satu-satunya yang menyedihkan dalam hidupnya adalah bahwa ia tidak berputra.
Suatu hari Raja memanggil penasihat istana, Begawan Wasista, dan bersabda, “Aku merasa amat sedih. Dinasti surya ini agaknya akan berakhir dengan diriku. Bakal tidak ada penerus kalau aku sudah tiada. Aku sedih sekali memikirkan hal ini. Tolong katakan kepadaku bagaimana cara mengobati deritaku.”
Mendengar ini Wasista ingat akan satu kejadian yang telah ia saksikan melalui penglihatan batinnya. Suatu ketika semua dewa berangkat bersama-sama menghadap Mahadewa Wisnu untuk memohon pertolongan. Mereka menjelaskan, “Rahwana yang berkepala sepuluh dan saudara-saudaranya telah memperoleh kekuatan luar biasa dari kami dengan melakukan tirakat dan doa, dan sekarang mengancam akan menghancurkan dunia-dunia kami dan memperbudak kami. Mereka menjadi tirani yang semakin lama semakin nekat, menindas semua kebaikan dan kebajikan di mana-mana. Syiwa tidak mampu membantu; Brahma Sang Pencipta tidak bisa berbuat banyak, karena kekuatan yang sekarang disalahgunakan oleh Rahwana dan saudara-saudaranya itu dulunya pemberian kedua dewa tadi, dan tidak bisa ditarik kembali oleh mereka. Kau adalah sang Pelindung dan harus menyelamatkan kami.”Untuk itu Wisnu berjanji. “Rahwana hanya bisa dihancurkan oleh seorang manusia karena dia tidak pernah minta perlindungan terhadap manusia. Aku akan berinkarnasi sebagai putra Dasarata, dan kerang serta cakra-ku, yang kupegang dengan masing-masing tanganku untuk tujuan-tujuan tertentu, juga tempat dudukku, yakni Adisesya, si Ular, yang di atas gulungannya aku beristirahat, akan lahir sebagai saudara-saudaraku dan semua dewa di sini akan dilahirkan di bumi sebagai pasukan wanara—karena Rahwana sebelumnya telah dikutuk bakal hancur hanya oleh seekor wanara.”
Mengingat kisah itu, namun tidak menceritakannya, Wasista menasihati Dasarata,” Paduka harus segera mengadakan sesaji yagna. Satu-satunya orang yang layak memimpin upacara kurban semacam itu adalah Begawan Risyasringga.”
Tanya Dasarata, “Di mana dia? Bagaimana caranya aku dapat mendatangkan dia ke sini?”
Wasista menjawab, “Sekarang ini Risyasringga berada di negeri tetangga kita, Angga.”
“Oh, sungguh mujur! Kukira dia sedang bertapa di pegunungan yang jauh,” seru Dasarata.
Lalu Wasista menjelaskan, “Dengan tujuan mengakhiri kekeringan yang berkepanjangan, Raja Angga disarankan untuk mengundang Begawan Risyasringga ke negerinya karena hujan selalu turun di dekat begawan itu, tetapi mereka tahu bahwa sulit sekali membujuknya meninggalkan pertapaan di gunung itu. Sementara Raja sedang mempertimbangkan caranya memecahkan masalah itu, sekelompok gadis cantik menawarkan diri untuk berangkat mencari Begawan muda ini. Sesampai di pertapaannya, mereka menemukan Begawan itu sedang sendirian, dan mereka membujuknya untuk pergi ke Angga. Begawan itu belum pernah melihat manusia lain kecuali ayahnya, dan tidak bisa memahami makhluk apakah gerangan, ketika dara-dara dari Angga itu mengelilinginya. Namun seiring bekerjanya naluri, Begawan itu jadi ingin tahu dan menyerahkan diri kepada mereka. Mereka memperkenalkan diri sebagai pertapa dan mengundang Begawan itu mengunjungi pertapaan mereka, dan membawanya pergi.” (Di negeri Mysore di Kigga, empat ribu kaki di atas permukaan laut, ada sebuah ukiran pada pilar sebuah kuil yang menggambarkan petapa pemuda itu naik joli terbuat dari lengan wanita-wanita telanjang yang saling mengait) “Sesampainya di Angga, turunlah hujan. Raja senang sekali, menghadiahi gadis-gadis itu, dan membujuk lelaki muda tersebut menikahi putrinya dan menetap di istananya.”
Dasarata melakukan perjalanan ke Angga dan mengundang Begawan tersebut mengunjungi Ayodya. Begawan Risyasringga lalu memimpin sesaji yang berlangsung selama setahun penuh. Pada akhir upacara, sesosok makhluk supraalami luar biasa besar muncul dari api upacara kurban itu sambil membawa sebuah nampan perak dengan sekepal nasi kurban di atasnya. Ia meletakkan nampan itu di samping Raja Dasarata dan kembali menghilang ke dalam api.
Risyasringga menasehati Sang Raja, “Ambillah nasi itu dan bagikanlah di antara istri-istri Paduka dan mereka akan mempunyai anak.” Ketika tiba saatnya, istri-istri Dasarata, Sukasalya dan Kekayi, masing-masing melahirkan Rama dan Barata, Sumitra melahirkan Laksmana dan Satrugna.
Hidup Dasarata menjadi lebih penuh makna, dan ia merasa amat sangat bahagia saat mengamati anak-anaknya tumbuh dewasa. Pada setiap tahap pertumbuhan, ia memanggil guru untuk melatih dan mengembangkan mereka. Selama beberapa waktu, setiap pagi, para pangeran itu pergi ke hutan kecil di pinggiran kota dan mempelajari yoga serta filsafat dari para cerdik pandai yang tinggal di sana. Petang harinya, setelah pelajaran usai, manakala pulang ke istana dengan berjalan kaki, rakyat berkerumun di jalan raya untuk melihat para pangeran itu sekilas. Rama selalu menanyai setiap orang dengan kata-kata, “Apa kabar? Anak-anak sehat dan bahagia? Ada yang bisa kubantu?” Mereka selalu menjawab, “Dengan Paduka sebagai pangeran kami dan ayahanda agung Paduka sebagai pelindung kami, kami tidak berkekurangan.”