Malaikat Tak Perlu TOA

Pertama kali dia lihat satu jamur muncul dari semak-semak beludru. Warnanya hijau daun. Merayap serupa pong-pongan pantai berselimut cangkang bulat berhias halimun. Kuncup-kuncup embun ditabur di permukaan cangkang menyempurnakan hiasan dingin. Lalu muncul cangkang lain. Merayap. Berkilau, banyak jumlahnya.

Kali ini dari sela pilar istana batu yang menjura angkasa, memayung atap segitiga. Dari sana mungkin asal mengalunnya musik rancak perpaduan denting gamelan dan siulan seruling yang menggarit-garit langit. 

 

“Ayo menari…!” katanya! Lalu, tanpa aba-aba, cangkang-cangkang jamur berputar mengelilinginya. Menari, melompat, berteriak… senang sekali hatinya. Tertawa!

Tak jelas tariannya, tapi nanti dia akan memberi nama agar vokabuler tari ini tak hilang begitu saja. 

 

“Ayo… menari…! Jangan berhenti…!” 

 

—– 

 

Lasmi meletakkan gelas kopi panas di meja turob. Duduk di samping Parjo yang menguar keringat apak seharian buruh di proyek jembatan seberang kota. Tak hirau aroma menggoda kopi tubruk, tangan Parjo meraih minicompo butut dengan kabel putus-nyambung menggelantung mencapai sakelar di ujung ruang. 

 

“Mana Gendon?” 

 

 “Main, di luar,” katanya. “Mas makan sekarang?” 

 

Mengangguk. “Suruh jangan banyak main dia. Sudah mulai besar. Tahun depan sekolah.” 

 

Nasi berteman tahu bacem dengan taburan urab sporadis mendarat di meja, menyampingi gelas kopi. Segelas penuh air putih menyusul tiba. “Di rumah juga dia merepotkan. Ada aja yang rusak dibuat mainan. Mendingan main di luar, bareng teman-temannya.” 

 

Tombol tuning diputar, barisan musik berkelebatan sebelum berhenti pada salah satu gelombang kemerosok. Lagu dangdut Dewi Persik. “Paling tidak, di rumah lebih aman.” 

 

Lasmi kembali duduk. Memerhatikan suaminya mengangguk-angguk seirama goyang gergaji. Rambutnya kusut, taburan serbuk semen dan debu-debu proyek masih tampak jelas. Keringatnya apak, dikenalinya bertahun-tahun lewat. Tak mengganggu. “Kamsidin hari ini nggak masuk,” kata Parjo sambil menyendok-nyendok nasi, mencampurnya dengan secuil tempa bacem legit mahakarya Lasmi. “Anaknya, si Jurig, sakit panas. Kesambet, kata orang pintar!” 

 

“Kapan?” 

 

“Kemarin. Sekarang belum sembuh. Malah makin tinggi. Kesurupan terus dari pagi!” 

 

“Sudah dibawa ke dokter?” 

 

“Mana mungkin? Dokter nggak akan sanggup menyuntik hantu.” 

 

“Mungkin demam berdarah. Sekarang lagi musim.” 

 

“Jurig nggak bentol-bentol merah! Lagipula, demam berdarah nggak bikin orang kesurupan.” Dewi Persik masih geyal-geyol dengan suara kemerosok. “Nggak tahu Jurig main di mana. Makanya hati-hati sama Gendon. Jangan boleh dia main jauh-jauh. Kuatirnya kayak Jurig, kesambet.” 

 

“Sebentar lagi juga dia pulang. Belum makan.” 

 

“Jam segini?” 

 

“Matengnya barusan, Mas. Si Gendon terlanjur kabur, diparanin teman-temannya. Ada orang gila, katanya.” 

 

“Di mana?” 

 

“Pos Kamling.” 

 

“Orang gila baru?” 

 

“Mungkin. Anak-anak suka tertarik kalau ada orang gila baru masuk kampung.” 

 

Parjo menghela napas. Menyelesaikan suapan terakhir. Mereguk tandas air putih segelas penuh. Lalu beralih ke bungkusan tembakau. Meraciknya sendiri sebelum menyulut gugusan daun apak itu. “Heh… rokok makin mahal! Bensin turun, cukainya yang naik. Pemerintah macam-macam aja kerjaannya. Nggak peduli nasib wong cilik.” 

Baca:  Jingga Laksa Surya

 

“Tembakau ngelinting sendiri kan nggak kena cukai, Mas.” 

 

“Tembakaunya kena cukai!” balas Parjo, sinis. 

 

“Ya sudah, biar ngirit, ngelinting sendiri aja. Nggak usah aneh-aneh beli rokok. Kalo dibakar, hasilnya kan sama aja; asap!” Parjo mendengus. Bangkit. Dewi

Persik sudah berlalu. “Kau carilah si Gendon! Kuatir main di tempat keramat. Kesambet macam Jurig, repot pula kita!” 

 

“Ya. Nanti saya cari.” 

 

Parjo merebahkan badan di balai-balai. Menikmati asap tembakau sembari menatap langit-langit bambu. Lagu dangdut mengalun kemerosok. Dua lagu lagi tunai, Parjo harus segera kembali ke tempat proyek.

 

—–  

 

Proyek jembatan itu sudah berlangsung tiga bulan. Rangkanya baru berdiri sepasang. Jelas, masih lama untuk selesai. “Ini proyek pemerintah dalam rangka menyambut lebaran,” kata Pak Lurah, dulu. 

 

Lebaran sudah lewat sebulan yang lalu, jembatan masih kokoh berupa rangka. Kekurangan dana, katanya. Pembuat anggaran lupa memasukkan pos ‘KKN’ saat menyusun.

Padahal itu pos yang sangat vital bagi proyek negara semacam ini, dan pasti menyedot dana yang tak main-main. Makanya jangan heran dengan proyek macet milik pemerintah macam begini. 

 

Jembatan itu nantinya melintang di atas sungai sepanjang lima belas meter dengan luas empat meter. Cukup representatif menampung mobilitas kampung. Jembatan sebelumnya berjarak dua puluh meter dari sana. Reyot dan tua, peninggalan Belanda. Masih sanggup menopang transportasi, namun tak lagi memadai sebab jembatan itu diformulasikan untuk pejalan kaki. Belanda mungkin tak menyangka bahwa setengah abad setelah meninggalkan tanah ini, jalan kaki tidak lagi menjadi trend. 

 

“Kalau jembatan itu selesai dibangun, kampung akan berkembang pesat,” kata Pak Lurah, optimistis. Bukan lips service, sebab secara geografis kampung itu terisolir karena digenggam lingkaran sungai yang meliuk dari ujung kampung. Jembatan itu nantinya akan menghubungkan dua desa satelit yang merangkak maju. Imbasnya, kampung ini berpotensi tinggi menjadi wilayah bisnis. 

 

Tidak tanggung-tanggung. Babah Ong sudah beberapa bulan ini mencari lahan buat dia dirikan supermarket. Babah Ong merindukan bisnis seperti dahaga nelayan yang mereguk air laut. Satu bisnis dibentuk, berhasil, semakin banyak lagi ingin diambil! 

 

Dua bulan lebih. Lahan belum didapat. Warga kampung tak ada yang mau melepas tanahnya. Terlalu murah, katanya. Mereka sudah dilambungkan impian kampong ini akan menjadi kota. Ekspektasi berlebih, membuat mereka berlomba-lomba memasang harga tinggi. Baru Babah Ong yang menawar. Jadi belum ada pembanding.

Tunggu Babah Ong kedua. Harga pasti di-entul! Naik… naik… dan naik lagi!

 

—– 

 

Jamur-jamur dengan cangkang embun terus menari. Iramanya rancak bersahut-sahut dengan lengking seruling dari atap segitiga. Sekarang dia menjelma ratu.

Mahkota berlian disematkan di kepalanya, rambut mayangnya menjuntai dihiasi manik-manik. “Ayo… menari…! Hihihihi…!” 

 

Jamur-jamur pelangi dengan cangkang embun itu membentuk setengah lingkaran di belakangnya. Begitu penurut seperti sekawanan pengawal. Dia berlari ke kiri, cangkang-cangkang itu merayap ke kiri. Dia melompat ke kanan, cangkang-cangkang setia mengikuti. 

 

“Baaaa…!” dia berbalik. Cangkang-cangkang terkesiap, tersipu malu seperti perawan muda yang diminta menjadi mantu. Berlari sporadis ke segala penjuru.

Satu terjungkal, meringis-ringis. “Ooo… kau kenapa?” katanya seraya mendekat. 

 

“Sakiiit…!” 

 

“Mana, biar aku obati.” 

 

Tapi cangkang itu merayap, menjauh. Mungkin sungkan hendak disentuh. Bagaimanapun, dialah ratu dan cangkang itu paling-paling hanya prajurit rendah berpangkat kopral satu. 

 

“Hei… pergi kamu!” 

 

Dia melompat menjauh. Siluet bayangan merah jambu itu terburu-buru merengkuh cangkang yang meringkuk malu-malu. Tangannya melambai menyuruhnya menjauh….

 

—– 

 

Parjo memantik korek. Api bertabur disambar gas dari kotak koreknya. Bukan untuk menyulut gulungan tembakau, tapi ujung kabel minicomponya yang kembali ngadat. Mungkin ada kabel yang putus. Dia hendak menyambungnya. Sambungan kesebelas. “Sudah kubilang, jangan boleh Gendon main jauh-jauh.” 

 

“Di dekat mushala. Sama anak-anak lain.” 

 

“Itu mushala berhantu, kau tahu!” 

 

Mushala di ujung kampung itu layak disebut sarang hantu. Atapnya somplak lebih dari separo. Lantainya tanah lembab, ditumbuhi aneka umbi-umbian. Rumput liar menjangkau teras, dan tiang-tiangnya lapuk. Masuk ke dalamnya, banyak ditemukan sarang serangga. Bahkan sekawanan kalong membuat kota di lengkung dalam atapnya. Beranak-pinak tujuh generasi tanpa ada yang mengusik. 

Baca:  Kisah Bang Udin

 

“Jurig dibawa ke orang pintar. Jin penunggu mushala itu yang merasuk.” 

 

Lasmi terkesiap. “Tadi anak-anak kecil pada menyoraki Lastri. Di mushala.” 

 

“Lastri? Orang gila itu datang lagi?” Parjo menghentikan aktivitasnya menyambung kabel minicompo. 

 

“Iya. Nggak tahu gimana dia bisa pulang lagi ke sini. Hampir saja dia menggangu Gendon. Untung saya pas datang. Saya usir dia menjauh.” 

 

“Orang gila itu selalu mengganggu.” 

 

“Dia sih mendingan, Mas! Nggak kayak orang gila yang lain.” 

 

“Tetap saja mengganggu.” 

 

“Dibuang lagi aja ke kota. Atau ke kampung yang jauh. Mas bilang ke Pak Lurah. Bilang kalau Lastri suka mengganggu anak kecil.” 

 

“Mana bisa? Dulu aku buang diam-diam. Aku pancing dengan makanan, dan kugiring menyeberang jembatan. Kalau Pak Lurah tahu aku yang buang, bisa panjang urusannya.” 

 

“Pak Lurah sendiri sudah nggak mengakui Lastri adik kandungnya.” 

 

“Jelas saja!” Parjo melengos. “Lastri gila kan karena dijadikan tumbal saat Pak Lurah mencalonkan diri. Tapi Pak Lurah tetap nggak setuju Lastri dibuang. Kalau pergi sendiri dari kampung, nggak masalah.” 

 

“Pancing lagi aja, Mas! Biar nggak bikin resah.” 

 

“Nantilah aku pikirkan. Sekarang Gendon mana?” 

 

“Di dalam. Masih muntah-muntah.” 

 

“Aku panggil orang pinter.” 

 

Lasmi mengangguk, menyusut keringat di dahi dengan ujung gaun merah jambu yang warnanya pudar karena kelamaan direndam rinso.

 

—– 

 

Apa? Babah Ong mau membeli tanah mushala? 

 

Gila! Ini sebuah solusi untuk banyak masalah sekaligus. Warga masih tak kunjung mau melepas lahan. Masih berharap harga tinggi. Kompromi-kompromi sudah dilakukan diam-diam. Kalau ada yang mau melepas tanah dengan harga rendah, akan mendapat hukuman dari warga yang lain. Sindikasi akut! Orang-orang kampong ternyata mampu juga memainkan konspirasi macam ini. 

 

Tapi Babah Ong serupa Paman Gober yang selalu beruntung, cerdas, flamboyan, dan memiliki strategi yang tak terduga. 

 

Mushala itu lama tak terpakai. Dulu sekelompok remaja pernah membuat berbagai kegiatan keagamaan; mendirikan TPA, mengajar mengaji, dan berbagai aktivitas ruhiyah lainnya. Namun demo warga dengan isu aliran sesat membuat semua berakhir. Dua remaja pendatang ditangkap aparat, nggak tahu nasibnya sekarang.

Satu orang dideportasi keluar kampung. Tiga lainnya ikut program transmigrasi… 

 

… dan satu orang menjadi gila: Lastri! Mantan aktivis yang masih saudara kandung Lurah baru. Bebas dari usutan polisi. Menjadi gila setelah peristiwa demo warga berbau anarkhi. 

 

Lalu… napas agama terhenti di nadi kampung yang terisolasi liukan sungai. Mushala menjadi istana kalong. Atapnya somplak, tak ada yang peduli. Lantainya pecah-pecah… sebagian dijarah, dijadikan tambahan keramik kamar mandi. 

 

Keberadaan mushala itu menjadi masalah tersendiri. Lokasinya strategis dengan wajah geografis baru pasca jembatan dibangun. Dulu, mushala ini berada di zona sunyi, tak berharga, bersembunyi malu-malu dari riuh mobilitas kampung. Di belakangnya belukar tinggi menyambung ke kaki gunung. Tapi, jika jembatan baru itu selesai dibangun, wilayah ini akan menjadi wilayah bisnis. Berada di jalur ramai. 

 

“Saya akan membelinya.” 

 

“Ini tanah umum.” 

 

“Tidak masalah! Uangnya bisa dibagi-bagi seluruh kampung.” 

 

Cerdas! Perlawanan yang terorganisir ternyata mampu dipatahkan dengan cara begini. Kepentingan yang sama, menunjukkan adanya obsesi yang sama. Itu yang tak pernah terpikir. Warga sama-sama ingin harta. Mereka kini berpeluang mendapat harta gratis yang bisa dinikmati langsung. Tidak seperti tanah mushala itu, meskipun sama-sama bisa diklaim menjadi milik umum. Lagipula, mushala itu tidak berharga. Tak ada warga yang memakainya sejak bertahun-tahun lalu.

Jika sekarang bisa diuangkan dan dibagi-bagi… alangkah indahnya! 

 

Harga telah disepakati… bahkan telah dibagi-bagi. Tinggal penyerahannya, di malam menjelang peletakan batu pertama supermarket baru. Supermarket ini nantinya akan menjadi magnet bisnis. Oh… indah sekali.

Baca:  Harga sebuah Pengabdian

 

—– 

 

Lastri terus menari-nari. Kali ini tanpa cangkang-cangkang jamur yang berputar mengelilingi. Malam gemintang cahaya tabur. Anak kalong menyusu di lengkung dalam istana yang somplak atapnya. 

 

… dialah ratu. 

 

Begitu menyenangkan … menjadi ratu yang ditinggal sendirian di Keputren! Dia tidak perlu menari-nari sepanjang hari. Dia bisa mengeksplorasi barang-barang di sekitarnya tanpa takut akan menjatuhkan wibawanya sebagai ratu… 

 

Oh, benar! Betapa merdekanya menjadi orang awam. Bertahun-tahun dia menjadi ratu dan harus patuh segala macam peraturan. Dia harus tertawa walaupun hatinya sedih. Dia harus menari meskipun fisiknya letih…. 

 

Oh… benar! Sekarang dia sendiri. Tak ada cangkang-cangkang jamur menari mengikuti.

 

—– 

 

Malam itu digelar pesta! Babah Ong membagi-bagikan uang. Harga jual tanah mushala itu tak seberapa, tak ada yang peduli. Yang penting dapat bagian. Kalau dihitung-hitung, angkanya masih lebih besar dari upah kerja proyek selama sebulan. Bukankah itu indah sekali? 

 

Berkaleng-kaleng ciu diusung ke tengah kampung. Malam ini mereka ingin mabuk kebebasan. Bebas dari lahan berhantu yang lama ditinggalkan. Bebas dari desakan menahan angka penawaran lahan. Dan bagi Parjo, bebas dari bayangan masa lalu… 

 

… saat demo anarkhi! 

 

Orang-orang ramai melempari mushala dengan sekelompok remaja yang mencoba bertahan. Aliran sesat, katanya. Polisi telah dipanggil. Dalam perjalanan menuju lokasi. Lalu… dia melihat gadis itu; Lastri. Menyelinap ragu-ragu ke semak belakang yang menghubungkan lahan dengan kaki gunung. Hendak melarikan diri.

Tak ada yang melihat. Hanya Parjo. 

 

… hanya Parjo! 

 

Lalu demo berakhir. Beberapa orang diamankan polisi. Beberapa orang dideportasi. Beberapa orang… hilang tak kembali. Lastri ditemukan di semak-semak kaki gunung! Pakaiannya cabik masai. Menangis, melukai tubuhnya, mencakar-cakar kulitnya sendiri.

 

—– 

 

Lastri ingin menyanyi! Bukankah selama ini dia hanya menari dan menari saja tanpa henti? 

 

Orang-orang terbadai mabuk cairan ciu yang diperas dari fermentasi tape. Melejing-lejing, lupa diri. Terkapar dengan tawa derai. Babah Ong memunguti lembaran uang yang tercerai berai. 

 

Langit semburat di timur jauh. Malam mulai menjangkau shubuh. Dewi Persik geyal-geyol di layar VCD yang diputar tanpa henti. Semalam suntuk. Gadis-gadis penari murahan mempraktikkan kepiawaiannya goyang gergaji. Meniru-niru popularitas artis yang wajahnya kerap muncul di tivi. 

 

Laki-laki kampung tua muda berbaur di panggung. Serupa stage. Sebagian terkapar, menungging, terbadai cairan ciu dengan mulut menceracau. 

 

Perempuan-perempuan kampung meringkuk di kamarnya dengan selimut kumal, menunggu lelakinya pulang seraya berharap esok diajak ke toko membeli gelang. Tangannya yang polos tanpa hiasan, membelai bocah kecilnya agar terus terlelap. 

 

“Bapak mana, Bu?” 

 

“Di luar… sedang bekerja.” 

 

“Gendon mau nonton dangdut.” 

 

“Itu untuk orang dewasa. Nanti kalau kamu sudah besar, kamu boleh nonton dangdut sepuasnya…” 

 

Lastri menyanyi… sendiri. Seperti seorang bidadari. Sudah lama dia tak menyanyi. Selama ini dia hanya menari dan menari. Satu-satunya lagu yang dia ingat malam itu…. “Allahu akbar… Allahu akbar…! Asyhadu ala ilaha illallah…!”

 

—— 

 

Suara itu mengalun… ritmis dari ujung kampung! 

 

VCD berhenti sejak beberapa menit tadi. Menyisakan layar biru. Tak ada yang menekan tombol “play” karena semua orang di panggung sudah tak ada lagi yang memiliki kesadaran. 

 

Suara itu mengalun menembus embun. Indah… bening… penuh penghayatan. Mata Parjo memicing. “Astaga… itu suara adzan!” 

 

Tengkuknya merinding. Beberapa orang ikut terjaga. Berjuang keras melawan mabuk dan pengaruh ciu. Pak Lurah ikut terjaga. “Suara itu… berasal dari mushala!” 

 

“TOA-nya sudah lama mati.” 

 

“Malaikat tidak perlu TOA!” 

 

… ah! Malaikat! Mana dia perlu TOA? Suaranya mampu membelah langit! 

 

“Jangan-jangan… kita sudah salah jalan?” 

 

Jangan-jangan…. 

 

Mereka bangkit, merayap seperti cangkang jamur. Ditaburi embun. 

 

“Ayo… kita wudhu…! Kita shalat! Berjamaah! Diimami malaikat…!” 

 

… ah! Mereka lupa! Kata ‘malaikah’ termasuk jenis kata muannas… bukan mudzakkar! Malaikat tak pernah menjadi imam shalat untuk manusia!

Bagikan artikel ini
Sakti Wibowo
Sakti Wibowo

Pegiat di FLP dan penulis buku Tanah Retak

Articles: 1

Leave a Reply