Jakarta – Kasus kekerasan di dunia pendidikan kembali menjadi bahan perbincangan yang ramai dibicarakan. Kamis 27 Oktober lalu, sejumlah orang tua murid mengadu ke Komnas Perlindungan Anak. Mereka mengadukan tindakan kekerasan yang dialami oleh anak-anak mereka.
Dan usut punya usut, tindakan kekerasan yang terjadi ternyata dikabarkan telah berlangsung selama beberapa tahun. Seperti telah menjadi bagian dari “Budaya Pergaulan” di sekolah bertaraf Internasional tersebut.
Telah banyak siswa yang menjadi korbannya. Para junior kerap kali menjadi sasaran empuk para seniornya. Mulai dari menempeleng, memukul, bahkan sampai memeras pun seperti sudah menjadi hal biasa di sana. Dan anaehnya, tidak ada sangsi tegas dari pihak sekolah. Keadaan itu seperti dibiarkan begitu saja.
Baru setelah para orangtua gerah dan kasus ini telah menjadi konsumsi publik, pihak sekolah mulai angkat bicara. Mereka memang membenarkan terjadinya tindak kekerasan yang mereka di sekolah yang mereka kelola. Namun mereka juga mengatakan bahwa pengaduan ke Komnas Perlindungan Anak itu terlalu jauh dan berlebihan. Menerut mereka, sanksi tegas telah diterapkan demi mendisiplinkan murid. Mereka juga mengklaim telah melakukan dialog dengan orang tua siswa.
Sungguh mengerikan. Tak dapat dibayangkan, bila Lembaga pendidikan yang semestinya menjadi tempat para generasi harapan bangsa menuntut ilmu dan mempersiapkan diri untuk meneruskan memimpin negeri ini, berubah menjadi camp militer tempat pelampiasan para senior kepada juniornya. Generasi macam apa yang nantinya muncul dari hasil pendidikan ala militer itu?
Dan Kasus yang terjadi di SMAN 70 ini bukanlah sebuah kasus yang berlebihan bila hanya terjadi sesekali saja. Atau bila pihak sekolah langsung memberi tindakan-tindakan tegas bila ada kasus terdeteksi di ranah “kekuasaan mereka”.
Peristiwa ini hendaknya menjadi warning sekaligus pelajaran bagi lembaga-lembaga yang mengaku mengabdi di dunia pendidikan. Kita sudah jenuh dengan berita kekerasan yang terjadi di tempat yang semestinya menjadi media harapan bersama itu.
Dan kalau sebuah kasus telah mencuat ke masyarakat, maka muncullah sederet tanda tanya besar. Kemana para guru yang setiap hari berinteraksi dengan anak didiknya? Apa yang telah mereka ajarkan? Kurikulum macam apa yang mereka pilih untuk mendidik calon penerus bangsa?(Satrio)