Aku leleh berada disini sendiri
Aku lelah dengan sepi yang tak kunjung pergi
Aku lelah bernyanyi untuk dinding tuli kamar ini
Aku lelah memendam semuanya dalam hati
Entah kepada siaapa kuharus berbagi rasa ini
Rasa yang begitu nyata untukku, namun tak pernah mmereka coba tuk fahami
Bayangan sang waktu yang membawa pekat di tangannya terus mengintai di setiap hari-hariku yang dingin dan beku. Sepi dan sendiri yang mewarnai hari-hariku membuat jiwa ini merasakan setiap belaian penyakit yang bersarang di tubuhku. Mencekam….itulah yang kurasakan. Sebenarnya aku sadar betul bahwa sang waktu tidaklah membawa maut untuk kemudian dipersembahkan kepadaku, ia hanya membawa pekat yang kemudian akan menemani di sepanjang usiaku. Kebutaan, itulah kenyataan yang harus kuterima sebagai konsekuensi karena bersahabat dengan sebuah penyakit yang bernama “glaukoma”, sebuah penyakit mata yang menyebabkan tekanan di bola mata sehingga mengakibatkan kerusakan syaraf mata. Dan sebagai manusia yang belum mengerti bagaimana caranya untuk ikhlas menerima semua goresan takdir dari tuhan, aku hanya mampu membiarkan rasa takut berkeliaran tanpa batas dalam hidupku. Kubiaarkan rasa takut itu melucuti warnaku hingga tak lagi nampak warna-warni keceriaan yang dulu tersemat dalam duniaku.
begitu terasa setiap detik yang kulalui. Bagaimana tidak, jiwa dan raga ini dipaksa bersahabat dengan sepi dan menjalani aktivitas yang monoton. Tak ada aktivitas yang berarti yang kulakukan kecuali berdiam diri di kamar. Diam dan sesekali berdiskusi dengan jam dinding yang berdentang seirama derap langkah sang waktu yang terus mengejarku, itulah rutinitas baruku setelah berkenalan dengan penyakit yang bisaa dijuluki “thief of sight” itu. Dinding usang kamar miniku serta boneka-boneka barbie berparas ayu yang kudapat dari pacarku pun tak luput menjadi sahabat dalam sepi. Tak jarang aku bernyanyi atau sekedar berdiskusi ringan tentang kehidupan bersama mereka. Sangat baik hati benda-benda tak bernyawa itu, dengan setia dan penuh perhatian mereka mendengarkan nyanyianku. Senyum keikhlasan mendengarkan setiap cerita yang meluncur dari mulutku terpancar jelas dari mereka. Namun air mata justru meleleh di kedua pipiku tatkala mulut ini selesai menguntai kata demi kata untuk mereka. Tentu saja karena sedih melihat mmereka yang tak mampu berkomentar dan menghadiahiku untaian kata indah bernada motivasi. Jiwa ini kosong nyaris tak mendapat suntikan motivasi untuk melawan penyakit yang sedang kupangku ini atau pun sekedar mendapat keberanian untuk menghadapi sang waktu yang tak bisa selamanya kuhindari.
sebenarnya duniaku tak seutuhnya pucat pasi. Masih ada sepercik harapan yang terselip di antara kesendirian dan pelarianku dari sang waktu. Setidaknya masih ada tangan yang mengulur padaku. Ada taangan malaikat yang menjelma pada sosok anak laki-laki yang selama ini telah mengukuhkan dirinya sebagai belahan jiwaku, kalau boleh aku mengibaratkannya seperti itu. Si tangan malaikat itu adalah johan, anak laki-laki yang berusia dua tahun lebih tua dariku. Dia selalu ada untukku dan sudi merelakan tubuhnya bergulat dengan rasa lelah karena harus mengantarku kencan dengan dokter setiap minggunya. Ia rela hidungnya mencium bau obat di apotek. Ia pun rela menempuh jarak jauh melewati hamparan sawah yang menghampar di sepanjang jalan dan membiarkan kulitnya terpanggang di bawah terik matahari yang nakal menggodanya. Itulah beberapa uluran tangannya padaku. Jutaan kebahagian tentu menari-nari di hatiku karena mendapati ada sosok yang masih menganggapku ada meskipun kenyataan pahit tentang penyakitku tersaji di hadapannya.
berjuta kebaikan yang ditunjukan si tangan malaikat membuatku yakin bahwa dialah sosok yang akan menemaniku menghadapi sang waktu dan menyibak pekat yang kelak akan menyelimuti duniaku.namun hati ini rasanya belum puas jika belum mendengar langsung dari mulut anak laki-laki yang sudah hamper tiga tahun menjalin hubungan denganku. Akhirnya di sela-sela waktu yang kami miliki usai kencanku dengan dokter langgananku, kuberanikan diri untuk menanyakan kesungguhan hatinya padaku. Dan tempat yang kami pilih untuk membicarakan semuanya adalah sebuah jembatan kenangan yang penuh dengan kisah cinta antara aku dan johan. Kami bisaa menghabiskan waktu di jembatan yang terletak di sebuah kawasan objek wisata alam.
aku dan johan berdiri di tepi jembatan sambil menikmati hembusan angin yang berbisik pada kami. Riak anak sungai yang berada di bawah kami seakan gembira menyambut kehadiran kami di tempat ini. Kali ini kami lebih banyak diam dan seakan sibuk dengan lamunan masing-masing. Aku melirik kea arah johan. Ia nampak asyik mengamati anak sungai yang dipenuhi bebatuan itu.
“aku ingin bersembunyi di balik cyrus yang berarak di atas sana…” ucapku sambil melepaskan pandangan ke langit lepas. Johan langsung mengarahkan pandangannya ke langit yang sedang menaungi kami. Kalimatku tadi rupanya mampu memecah lamunannya.
“untuk apa?” Tanyanya dengan pandangan tetap mengarah pada arak-arakan awan di atas sana.
“agar kenyataan tak membawaku pergi ke dunia yang berbeda yang sama sekaali gak pernah aku rasakan sebelumnya…” jawabku tanpa menatap ke arah johan.
“maksud kamu apa?”
Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Dan setelah terdiam beberpa saat, kedua mataku kuarahkan pada johan. Rupanya sedari tadi ia sedang menatap ke arahku.
“kamu tahu kan ada penyakit yang menghuni tubuhku?”
“kamu juga tahu kan kenyataan yang kelak akan aku terima karena penyakit ini?”
“iya, aku tahu. Terus kenapa?” Ucapnya sambil tetap menatap ke arahku.
“aku akann buta permanen, han. Kamu tahu itu kan?” Ucapku sambil menatap matanya. Dia terdiam mendengar ucapanku itu.
“duniaku akan berubah. Tak akan ada lagi cahaya yang menerangi langkahku,” lanjutku. Kedua bola mataku yang bersembunyi di balik kacamata mulai berkaca-kaca.
“kamu gak akan buta. Eka percaya ya sama aku…!!”
“dunia kamu akan tetap sama seperti dulu. Gak akan ada yang berubah, begitu pun dengan kedua mata kamu,”
“kamu pasti bisa sembuh dan terlepas daari penyakit itu. Aku janji gak akan ninggalinn kamu apapun yang terjadi. Suatu saat nanti aku akan melamar kamu. Terus kalo aku udah lulus kuliah dan bekerja, aku akan bawa kamu ke dokter yang paling hebat. Kamu gak usah takut ya, kamu gak akan sendirian karena ada aku di sisimu…” ucap johan sambil menggenggam erat tanganku.
“semakin hari penglihatanku semakin menurun. Bahkan untuk melihat wajahmu pun aku kesulitan,”
“kalo seandainya aku benar-benar buta, apa kamu masih mau berdiri di sisiku untuk menuntunku?”
“apapun yang terjadi aku akan tetap di sisimu. Aku gak akan beranjak dari sisimu meski cuma sekejap…!! Aku saying samakamu, kamu yang sama kayak dulu dan gak akan berubah. Lupakan soal kebutaan itu, ka…!!” Ucapnya sambil menggenggam tanganku dengan erat, seakan meyakinkanku bahwa ia memang tak akan beranjak dari sisiku. Mendengar kalimatnya itu hatiku menjadi lega dan air mata yang sedari tadi menggelayut di kedua mataku pun akhirnya meluncur dari sudut mataku. Namun air mata yang meluncur itu bukanlah air mata kesedihan melainkan air mata kebahagiaan.
“makasih ya, han…!!”Ucapku sambil tersenyum kepada johan.
“terimakasih tuhan karena engkau telah mengirimkan seorang malaikat untuk menemani di sisa cahaya yang kumiliki…!” Ucapku dalam hati.
semakin lama semakin terasa kehadiran sang pekat. Kedua mataku semakin lemah menangkap setiap bentuk benda yang ada di sekelilingku. Tatkala petang merajai bumi pertiwi, jiwa ini gelisah. Jiwa ini seakan mencari-cari cahaya, memanggil-manggil sang fajar agar segera datang menjemputku. Namun bukannya keceriaan yang didapat tatkala sang fajar menyapa dunia, justru tekanan yang didapat. Tekanan yang berasal dari rasa jenuh yang menggunung membuatku tak terkendali. Tak jarang aku berteriak dan menangis.semua itu hadir ketika rasa jenuh menggodaku.
seiring dengan kondisiku yang memburuk, tangan malaikat itu pun tak lagi membelaiku. Tangan itu tak lagi menggenggam erat jiwaku. Sosok itu hilang terbawa angin yang datang bersamaan dengan tekanan di diriku. Tangan itu tak melambai atau pun menjabat tanganku sebelum beranjak dari kehidupanku dan terbang bersama angin. Ia pergi begitu saja tanpa pamit. Ia meninggalkanku di sini dalam sebuah dimensi ruang hampa yang kosong. Sepertinya jenuh menghampiri jiwanya yang bebas. Atau mungkin ia mulai menyadari kenyataan yang menimpa hubungan kami yang ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Kehampaan sepertinya mulai ia rasakan, kehampaan karena tak ada kekasih yang menemaninya menikmati dunia. Aku sadar betul bahwa tak semudah itu menerima kekurangan orang lain. Mungkin mudah saja jika hanya menerima kekurangan orang lain namun tak mudah jika yang harus kita beri toleransi adalah pacar sendiri. Menerima dengan lapang dada dan berani mengatakan, “wanita yang tak bisa melihat itu adalah pacarku” tak semudah itu ditunaikan oleh setiap manusia, termasuk olehjohan .
sosok itu terus bersembunyi di balik alasan-alasan yang ia ciptakan. Sebenarnya aku sudah bisa menebak bahwa sikapnya yang tiba-tiba menghindar adalah cerminan dari ketidaksanggupan dia untuk tetap berada di sisiku. Namun aku tak begitu saja mengiyakan sikapnya itu, aku terus membombardirnya dengan pertanyaan serta sikap yang menunjukkan bahwa aku butuh keberaniannya untuk menjelaskan tentang kepergiannya dari hidupku. Dan demi mendapatkan semua jawaban itu, kulangkahkan kedua kakiku untuk menemuinya. Berdesakan di angkutan umum dengan penglihatan terbatas serta jarak yang membentang tak menyurutkanku . Dan setelah sampai ternyata tidak semudah itu menemuinya. Dia tak mau menemuiku. Namun setelah didesak ia pun mau menemuiku namun dengan syarat yang ia ajukan. Ia membatasi waktu pertemuan kami.
dingin….itulah sikap yang ia tunjukkan padaku. Untuk sekedar menanyakan kondisiku saja ia tak melakukannya. Karena tak merasa nyaman dengan sikap dinginnya itu, aku pun langsung meminta jawaban atas sikapnya selama ini. Dan seperti tersambar petir saat tahu apa yang ia katakan. Tubuhku lunglai, jantungku seakan berhenti berdetak, darahku pun seakan berhenti mengalir. Ia mengatakan hal yang diluar dugaanku. Sama sekali tak terpikir dia akan mengatakan hal yang menyakitkan semacam itu. Hatiku seakan remuk mendengar semua pernyataannya.
“kamu kenapa?” Tanyaku memulai pembicaraan di antara kami.
“maksud kamu apa?” Ucapnya dingin.
“kenapa sih kamu selalu menghindar dariku? Aku punya salah ya sama kamu?”
Johan terdiam dan seakan tak bergairah mengomentari ucapanku.
“pasti semua ini ada kaitannya sama penyakitku kan?” Ucapku sambil menatap ke arah johan, namun anak laki-laki itu masih mengunci mulutnya rapat-rapat.
“kamu udah capek ya punya pacar kayak aku? Kamu malu ya punya pacar low vision kayak aku?” Tanyaku pada johan namun ia masih mematung tanpa sedikit pun menatap ke arahku.
“aku sadar sama kondisiku, han. Kalo kamu ingin putus, aku rela…” ucapku untuk yang kesekian kalinya. Lalu aku terdiam, mencoba memberi kesempatan pada johan untuk meranggkai kata-kata.
“aku belum siap dengan semuanya…” ucap johan setelah mematung cukup lama.
“tuhan, apakah semuanya akan berakhir sekarang?” Ucapku dalam hati sambil menggenggam sebuah gelang yang melingkar di tangan kananku. Dadaku berdegup kencang dan rasanya aku ingin menutup kedua telingaku agar tak bisa mendengar kalimat berikutnya yang akan johan lontarkan. Aku seakan bisa menebak kalimat apa yang akan meluncur dari mulutnya.
“aku takut hidup kita akan menemui kesulitan kalo terus bersama. Aku belum siap kalo suatu saat nanti punya istri seorang tunanetra. Siapa yang akan mengurus anak-anak kita nanti? Makanya sebelum hati kita benar-benar menyatu, lebih baik hentikan dari sekarang…” lanjutnya.
“kenapa kamu ngomong kayak gitu, han? Rasa sayangku sama kamu bukanlah laju kendaraan yang bisa dihentikan kapan pun kita mau. Rasa saying ini benar-benar tulus sama kamu, han…” ucapku dalam hati sambil menhan air mata yang menggenang di kedua mataku.
“cinta adalah sebuah perasaan dan sebuah perasaan gak akan selamanya sama. Sebuah perasaan pasti bisa beruba, begitu pun perasaanku sama kamu…” ucapnya sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku jaket putihnya.
“terus kamu mau putus?”Tanyaku padanya, namun ia tak menjawab pertanyaanku.
“jawab, han…!!” Pintaku padanya, namun ia lagi-lagi diam tanpa mau metapaku. Sepertinya ia tak ingin lagi melihatku di hadapannya.
“sekarang kamu beda, han. Kayaknya ada sorot mata kebencian yang terpancar dari kedua matamu. Aku gak ingin penyakit ini menciptakan permusuhan dan kebencian di antara kita…” lanjutku.
“aku gak benci sama siapapun, termasuk sama kamu. Aku cuma benci sama penyakit kamu,”ucapnya dengan nada kesal. Rupanya perkataanku tadi membuatnya tersinggung.
“kalo kamu benci sama penyakitku, kenapa kamu malah ninggalin aku?!? Seharusnya kamu bantu aku melawan penyakit ini,”
“aku harus bantu apa lagi, hah…?!? Apa semua yang aku lakukann selama ini masih kurang?!? Apa kamu belum puas selama ini menyiksaku dengan penyakit kamu itu?!? Selama ini aku udah mengorbankan semuanya untuk kamu…!” Ucapnya dengan nada tinggi. Hatiku semakin remuk dan air mataku semakin sulit kubendung.
“semua ini adalah resiko yang harus kamu tanggung karena punya penyakit kayak gitu. Jangan salahkan orang lain atas semua penderitaan yang kamu terima. Semua itu adalah takdirmu…” lanjutnya.
“kalo aku boleh memilih, aku pun gak mau hidup dengan takdir kayak gini. Kalo aku boleh memilih, aku pun ingin hidup sempurna. Kalo aku boleh memilih, aku gak mau merepotkan orang lain. Tapi aku cuma manusia yang tak bisa menggugat tuhan yang udah meminjamkan kehidupan ini padaku,” ucapku dengan air mata yang mulai meleleh di kedua pipiku.
“makasih atas semua kebaikanmu selama ini dan maaf selama ini aku udah merepotkanmu,”
“maaf, aku gak bisa menjadi cewek sempurna buat kamu!… ini aku kembalikan gelang pemberian dari kamu…” ucapku sambil memberikan gelang yang semula melingkar di tanganku.
“sebelum aku pergi, boleh kan aku melihat wajah kamu untuk yang terakhir kalinya. Aku takut saat kita bertemu kelak, kedua mataku udah gak mampu lagi melihat wajah kamu.”
Dan setelah melihat wajah johan sebagai tanda berakhirnya hubungan kami, aku pun pergi dengan sungai kecil di pipiku.
ternyata tangan malaikat itu palsu….ternyata selama ini ia menghitung setiap kebaikan yang ia berikan padaku. Dan ketika dirasanya aku tak mampu membayar, ia berpaling dariku. Tak bisa menyalahkannya atas semua ini. Sudah menjadi haknya untuk menentukan pilihan. Dia meninggalkanku hanya karena penyakit yang kuderita, memang tak adil untukku. Namun jika aku menahannya untuk tetap berada di sisiku, justru itu tak adil untuknya. Bagaimana pun dia bebas memilih dengan siapa ia akan melewati hari-hari. Sekali lagi aku katakan, tak mudah menuntun seorang pacar di setiap kencan, tak mudah untuk selalu mengambilkan botol saus dan menumpahkannya dimangkuk bakso pacar kita. Ternyata dia bukanlah sosok yang akan menjadi pelita dalam gulitaku.
cinta adalah sebuah perasaan dan sebuah perasaan tak selamanya sama.kalimat itu memang benar. Cintanya dan kesetiaannya yang semula kuprediksi akan tetap ada sepanjang usiaku ternyata menguap begitu saja. Pun janjinya untuk tetap bersamaku apapun yang terjadi ternyata mengalir bersama air mata yang ada. Semua angan dan asa terbang entah kemana. Hidupku semakin perih menerima kenyataan baru yang tak kalah menyakitkan dari kenyataan sebelumnya.
Aku tak pinta siang tuk selamanya benderang
Pun tak pinta petang untuk tak dating
Kusadari sang waktu kan tiba bawa pekat dalam terang
Dan lonceng sang takdir akan tetap berdentang
Ciptakan kisah dan buatku melangkah dalam bayang
Sebelum pekat itu tiba, kuingin memetik satu bintang di atas sana
Tuk kujadikan pelita sebagai penerang dalam gulita
Tuk terangi langkahku di dunia yang berbeda
Sebelum waktunya tiba, kuingin bercerita
Agar semua merasa apa yang aku rasa
Aku tak ingin sendiri di sisa cahaya yang ada
Cintaa … ah. Aku tak tega,,,,