Kawan, perjalananku kali ini membawaku ke satu kisah yang banyak dialami oleh penyandang disabilitas. Nah, menurutmu apa yang kau rasakan ketika salah satu keluargamu mengalami satu musibah dan kemudian ia menjadi penyandang disabilitas? Hatimu perih? Itu tentu. Kau kecewa? Aku rasa iya. Atau kau merasa malu karena salah seorang keluarga cacat? Perasaan-perasaan semacam itu mungkin bergejolak dalam nuranimu. Karena pada fitrahnya, manusia selalu menginginkan kesempurnaan dalam hidupnya.
Aku sendiri tak pernah menyangka, bisa menjadi seorang yang alhamdulillah sedikit mengerti tentang dunia disabilitas. Kisah masa lalu itu, telah membawaku ke dunia yang terasing. Dunia yang selama ini dianggap tak pernah ada. Dunia tempat bagi orang-orang yang hanya mengharapkan belas kasihan orang lain untuk menunjang hidupnya.
Seringkali jika kau bertemu mereka, sebagian dari kalian mengatakan:
”Kasihan dia, bagaimana hidupnya nanti dengan keadaannya yang cacat itu?” Terus terang, aku merasa kesal dan marah ketika seorang warga desa mengatakan hal itu saat aku dan kakakku berjalan-jalan di pinggiran desa. Ya, kakakku lah yang mengetuk nuraniku untuk menjadi aktivis penyandang disabilitas.
Kawan, kakakku orangnya biasa saja dari segi fisik yang cukup kau beri nilai tujuh bila bertemu dengannya.
”Kalau kau sudah besar nanti,” ujarnya sambil menggendongku di pundaknya yang kokoh. ”Ku harap kau berguna bagi banyak orang.”
Kami sering menghabiskan waktu bersama, duduk di batu berbentuk perahu di depan halaman rumah kami. Kakak sering membuatkanku gangsing dari biji karet, dan kami sering mengadu ketangkasan kami bermain gangsing usai menggarap ladang. Namun keceriaan itu lenyap, ketika ia terserang penyakit kronis. Warga desa mengatakan kakakku terkena kutukan leluhur akibat perbuatan salah seorang keluarga kami. Tuduhan kejam. Belakangan ketika seorang mantri memeriksanya, aku tahu kalau kakakku bukan terkena kutuk.
”Anakmu terkena campak, Yan!” katanya ketika mengobrol dengan ayah.
Karena kurangnya penanganan dokter, akhirnya penyakit itu merenggut penglihatan kakakku. Mengingat desa kami terletak di daerah pedalaman Bandung. Jangankan dokter, listrik saja belum memasuki desa kami. Beruntung, Tuhan masih menyelamatkan Kakak. Meski penglihatannya sudah tak berfungsi lagi, namun semangat hidupnya tetap tinggi. Kata-katanya yang pernah membuatku menangis haru adalah:
”Kakman, Tuhan boleh mengambil penglihatanku. Tapi, asalkan Dia tetap memberiku kemampuan untuk berbuat yang bermanfaat bagi orang banyak dengan keadaanku ini!” kalimat itu keluar dari lisannya ketika aku hendak merantau ke Jakarta untuk memperbaiki nasib.
Kini, bus kusam ini akan membawaku kembali menemui keluarga di kampung halaman sana. Aku kangen pada Umi setelah lima tahun berpisah. Aku kangen dengan nasihat Abah saat aku terlelap manja di pangkuannya, dan … aku kangen pada Kak Ilham. Orang yang mendorongku untuk menjadi seorang aktivis disabilitas.
Bus Jakarta-Bandung yang ku tumpangi mulai memasuki tol. Mataku menerawang ke depan, kilasan-kilasan kendaraan perlahan melintasi benakku. Kendaraan-kendaraan itu mengingatkanku pada pengapnya Jakarta akan kepedulian. Pandangan masyarakatnya yang terkenal sebagai warga metropolitan masih terbilang sempit pada disabilitas. Banyak aspek yang mereka kritik, namun hanya seputar kepentingan mereka saja. Jarang diantara warga Jakarta menyadari, di luar sana sekelompok orang berjuang dengan keterbatasan fisiknya demi menunjukkan keberadaan mereka.
Dan tahukah kau, kawan? Negara yang selama ini sering kita cela karena gencar menyerobot hak-hak kita, ternyata lebih menghargai kerja keras disabilitas. Kembali aku teringat kakakku. ingat ketika ia bertekad belajar mengenal sekolah meski rela belajar di luar kelas. Ingat tekad kerasnya untuk mengetahui teknik perkalian dan disuruhnya aku membacakan kalimat matematika di bukuku padanya. Peristiwa semacam itulah yang menguatkan tekadku untuk membantu penyandang disabilitas menunjukkan keberadaannya pada masyarakat.
Lulus SMA di Bandung, aku mencari info tentang kampus yang menyediakan pendidikan, karena tak ada istilah lain waktu itu, untuk memperkenalkanku pada dunia penyandang cacat. Sahabat sekolahku memberitahu kampus yang tepat.
”Setahu saya, mata kuliah itu tergolong baru, dan saya rasa kamu cocok masuk kampus itu kalau memang mau menjadi aktivis penyandang cacat.”
Awal tahun 2007 waktu itu, aku pertama kali mengenal dunia disabilitas melalui mata kuliah di kampus.
Pukul tiga sore aku tiba di terminal Bandung. Suasana yang sering ku jumpai di Jakarta, kini terasa juga disini. Teriakan tak senonoh para kondektur, pedagang yang mondar-mandir menawarkan dagangannya, bahkan bau pesing pun diam-diam iseng mengunjungi hidungku.
”Rek kamana, Jang?” tanya seorang kondektur pada seorang remaja tanggung.
Aku melewati mereka, di seberang sana angkot yang akan membawaku ke desa telah menunggu. Sekilas, bayangan Kak Ilham melambaikan tongkat kayunya melintas di mataku.
Kakman, akhirnya kau kembali! Berapa banyak orang sepertiku telah kau kenalkan pada masyarakat?
Langkahku terhenti. Suara itu begitu nyata, suara yang serak, dalam, dan ceria. Oh Kak Ilham, bagaimana keadaanmu sekarang?
”Saya mau ke Jakarta, Kang, busnya yang mana?”
Kulihat kondektur menarik kasar tangan remaja tanggung itu. Ada sesuatu yang baru ku perhatikan. Aku melihat remaja itu menggenggam benda yang telah kukenal.
Aku berbalik arah, ku hampiri kedua orang itu.
”Maaf kang, adik ini mau ke Jakarta katanya?” kondektur itu mengangguk.
”Sebentar kang!”
Kondektur itu menatapku curiga.
”Akang ada perlu sama dia?” suaranya agak kasar.
Ku tepuk bahu remaja itu, ”Siapa nama kamu?”
Ia menoleh ke arah suaraku. Kedua matanya normal, bola matanya berwarna hitam. Ketika ia menoleh ke arahku rasanya mata itu menatap, tapi bukan padaku. Tatapannya tidak fokus, ku ulurkan tanganku padanya. Ia tak merenspon, ku perhatikan kedua mata anak itu. Ku tatap matanya, namun aku tak mendapatkan tatapan balasan darinya. Itu berarti ia penyandang netra total. Ada kerusakan pada retina melihat gejalanya.
”Radit, kang!”
”Kang, biar saya saja yang mengantar adik ini naik bus!”
Kondektur itu melepas tangan Radit dan bergegas ke seberang jalan. Kulihat ia memasuki warung kopi.
“Ada keperluan apa di Jakarta?”
Kuarahkan tangannya ke sikuku, kami melangkah ke ruang tunggu terminal.
”Saya sekolah disana, Kang!” kami duduk di bangku kayu yang masih kosong.
”Kok sendiri?”
”Kebetulan, Paman saya cuman mengantar sampai pintu terminal. Saya ingin belajar sendiri, biasanya Paman mengantar saya langsung ke Jakarta.”
”Oh ya, saya belum tahu nama Akang.”
Aku meraih tangannya, ”Kakman.”
Radit berjalan menyusuri pinggiran halte, tongkatnya meraba-raba jalan mencari apapun yang memberinya tanda letak meja loket. Aku mengawasinya dari bangku tunggu. Beberapa orang memperhatikan dengan pandangan antara kasihan dan kesal. Mungkin dugaan mereka ”Dasar, gak ada yang nganterin apa? Cacat begitu kok dibiarin jalan sendirian.”
Sekilas pandangan mereka tertuju padaku. Radit menyapa seorang ibu yang duduk tak jauh dari loket. Ia memperhatikan suara ibu itu, dan menegurnya tepat disamping ibu itu. Agak samar kudengar percakapan mereka.
”Meja loket dimana, bu?”
Perempuan paruh baya itu memegang tangan Radit. Ia mengarahkan Radit tapi tidak mengantarkannya. Ia hanya berteriak mengarahkan letak meja loket. ”Terus, kiri dikit, dan belok kanan!”
tongkat Radit mengetuk meja loket. Aku hanya mencibir menyaksikan adegan itu. Sengaja ku biarkan Radit mencari loket sendiri. Aku hanya ingin tahu, bagaimana cara para penumpang memberitahu Radit tentang apa yang harus di lakukannya.
Aku melangkah menyusul Radit. Kemudian kutepuk pundaknya. ”Kamu sudah sering ke tempat ini?”
”Baru dua kali Kang, Makanya saya agak lupa letak meja loket.”
”Dan kamu harus bertanya-tanya seperti tadi?”
Ia tersenyum kecut. ”Itu pun kalau ada yang ngasih tahu, Kang. Kadang, saya sering sibuk mondar-mandir mencari loket. Padahal letaknya gak jauh dari saya.”
”Hmm … kalau akang boleh tahu, apa yang memudahkanmu untuk mengenali suatu tempat?”
”Tanda, Kang.”
”Seperti apa?”
Radit mengeluarkan uang dari sakunya. Uang itu tersusun rapih terdiri dari dua lembar ribuan dan tiga lembar sepuluh ribuan. Ia menyerahkan uangnya ketika penjaga loket menyerahkan karcis.
”Ya, bagusnya sih tulisan braille di pintu atau di dinding halte.”
Kami melangkah ke tempat pemberhentian bus. Ku lihat, bus Jakarta masih berhenti di dekat pintu masuk.
”Atau minimal ada tanda khusus yang memudahkan saya untuk memahami lingkungan terminal. Entah jalan, atau apapun yang bisa dilihat dengan tangan.” Tambahnya
Aku mengantarkannya naik ke bus. Kami saling menukar nomor handphone.
”Lain kali Akang main ke sekolahmu!”
”Terimakasih, kang mau nolongin saya!”
Aku menepuk bahunya sebagai tanda perpisahan. Aku kembali ke pintu utama terminal. Angkot tadi sudah berangkat rupanya. Aku mencari-cari disekitar terminal, barangkali masih ada angkot yang masih mencari penumpang. Nihil, aku menyebrang jalan. Angkot merah itu masih ada.
”Umi, Abah, Kak Ilham. Aku pulang!”. (Senna)