Tiba-tiba terdengar suara memekakkan telinga dari seberang sana, yang kudengar juga di dekatku. Ini membingungkan, apa seseorang yang mencari orang bernama kevin dekat dengan posisiku berdiri saat ini?.
“Apa itu?” dengan serta-merta aku bertanya pada seorang yang merasa bahwa aku kevin.
“ Duh, ada motor nabrak dari belakang lagi, mana mogok mobil gw.. duh Vin liatin mobil gw doong” ia menjawab dengan nada memelas. Seandainya dia tahu bahwa orang yang ia panggil kevin ini tak bisa melihat, ia pasti sangat menyesal pernah meminta bantuanku.
“Please, kev..” ujarnya memohon lagi.
“Maaf, saya nggak bisa..” jawabku singkat. Aku memang tidak bisa membetulkan mobilnya. Dulu, aku bisa. Bahkan teman-temanku sering meminta bantuanku. Tapi sejak duniaku menjadi gelap, aku belum terbiasa untuk melakukannya lagi.
“Ayolah, Kev.. Masa bantu teman sendiri nggak mau sih? Gw nyamperin lo ya, gw udah liat lo kok di seberang jalan.” wanita itu tak menyerah dan bahkan mengatakan akan menghampiriku. Apa katanya tadi? Menghampiriku yang sedang berdiri di seberang jalan dari mobilnya yang tertabrak motor?. Sepertinya dia benar-benar menganalku, tapi aku jelas bukan kevin.
“Maaf. Pertama, saya tidak mengenal anda. Kedua, saya memang tidak bisa membetulkan mobil anda karena saya tidak bisa melihat. Ketiga, saya juga punya urusan penting yang harus saya selesaikan” aku berbalik pergi meninggalkannya. Aku yakin aku berbicara tepat dihadapannya, ia mematikan sambungan telepon ketika menghampiriku, aku mendengar langkah kakinya mendekat tadi.
“Kevin, tunggu! Kamu ini ngomong apa sih? Aku Dania, Kev” rupanya ia masih mengira bahwa aku adalah orang yang dicarinya. Dania? Aku tidak pernah punya teman yang bernama Dania. Aku mulai heran, seberapa miripnya aku dengan orang yang bernama Kevin itu? Aku pernah mendengar bahwa di dunia ini kita mempunyai tujuh orang kembaran. Tentu saja bukan saudara kembar yang sebenarnya, hanya mirip. Ah, aku mulai sok tahu lagi. Semakin aku memikirkannya, semakin aku muak karena menyadari bahwa kejadian ini sangat mirip dengan sinetron yang biasa ditonton ibuku setiap malam.
“Saya bukan Kevin! Anda salah orang” tanpa basa-basi lagi aku meninggalkan wanita itu. Aku tak ingin memperpanjang masalah dengannya. Belum lagi ponselku terus-terus berdering. Aku yakin itu adalah telepon dari orang yang belum kubalas pesan singkatnya hari ini. Aku terus menolaknya. Jelas-jelas aku bukan Kevin.
Pagi itu suara ketukan pintu membangunkanku. Tentu saja itu ibu yang mengetuk pintu kamarku. Ibuku selalu menghargai privacy anak-anaknya. Ia tidak pernah masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu. Bahkan untuk membangunkanku saja, ia hanya cukup mengetuk pintu. Dan aku bukanlah seorang yang harus mendengar alarm dengan suara yang keras untuk bisa terjaga dari tidurku.
“Bangun, Ga”. Arga. Itulah namaku yang sebenarnya. Arga Kenny Virgantara. Bukan Kevin.
“Bangun, Ga. Ada yang mencarimu” ujar ibuku. Aku bertanya-tanya dalam hati. Siapa yang mencariku? Aku tak biasa menerima tamu. Atau mungkin, orang itu mengunjungiku karena aku tak kunjung membalas pesannya. Entahlah, screen reader ku masih juga belum berfungsi, jadi aku tak tahu siapa saja yang mengirim pesan kepadaku.
“Selamat pagi, Arga” sapa seseorang yang sudah menungguku diruang tamu. Suara yang sepertinya pernah kudengar…kemarin! Suara wanita yang mengaku bernama Dania. Tapi kali ini dia tidak memanggilku Kevin. Atau mungkin dia bukan Dania, hanya suaranya saja yang mirip. Aku terdiam, tak menjawab. Menunggunya untuk bicara lagi.
“Aku Dania” ternyata benar, dia memang Dania. “Aku datang kemari untuk meminta maaf atas kejadian kemarin. Kamu sangat mirip dengan teman lamaku, namanya Kevin” lanjutnya.
“Darimana kamu tahu rumahku?” tanyaku. Pertanyaan itu yang pertama terlintas dibenakku. Dia terdiam dan mengeluarkan suara “umm..”. Suara itu. Suara yang sering dikeluarkan sebelum seseorang berbohong.
“Lupakan, nggak usah dijawab” aku terlalu malas mendengarkan kebohongan-kebohongan. Aku benci orang munafik.
“Sebagai permintaan maafku, aku ingin mengajakmu jalan-jalan dan makan siang bersama hari ini. Itupun kalau kamu nggak keberatan”.
“Tentu saja nggak keberatan. Lagipula Arga sudah lama tidak refreshing. Arga juga libur hari ini, iya kan Ga?” ibu menjawab tawaran Dania sebelum aku sempat menjawab. Tapi aku tidak bisa memungkiri apa yang dikatakan ibu. Aku hanya mengangguk.
Angin sepoi menyapu wajahku dengan lembut. Sunyi. Bau air tercium olehku. Bau danau lebih tepatnya. Aku yakin Dania membawaku ke tepi danau. Dan kini kami berdua duduk disebuah kursi taman. Berlomba untuk diam lebih lama. Hanya suara angin yang terdengar.
“Dulu aku sering ke tempat ini” ya, sudah kuduga aku yang akan menang dalam perlombaan ini. Aku tetap terdiam, tak menanggapinya. Aku tahu masih banyak kata yang ingin diungkapkan olehnya. Dan aku benar lagi.
“Aku dan mantan pacarku sering ketempat ini. Mendengarkan lagu bersama, sambil menikmati semilir angin. Sesekali dia membawa gitar, dan kami akan bernyanyi bersama” ceritanya. Aku tak mengerti mengapa dia menceritakan hal ini kepadaku. Apa peduliku? Aku tak mengerti mengapa dia menceritakan masa lalunya kepada seseorang yang baru saja dikenalnya secara tidak sengaja. Apa dia masih menganggapku Kevin, temannya? Aku hanya mendengarkannya dalam diam.
“Mau dengar lagu yang biasa kudengar bersamanya?” tanyanya terdengar antusias.
“Boleh saja” jawabku. Kemudian ia menyodorkan headset kepadaku. Akupun segera mengenakannya. Tak lama, terdengar alunan musik mengalir melalui headset itu. Lagu yang belum pernah kudengar sebelumnya. Chord gitarnya mudah. Tak hanya mantan pacarnya, akupun juga bisa memainkannya dengan gitar walaupun dengan kemampuan bermusikku yang pas-pasan.
“Aku beli minum sebentar, ya. Kamu mau?” tanya Dania.
“Saya nggak haus”. Kemudian ia pergi. Aku masih mendengarkan lagu dari ponsel Dania. Beberapa lama kemudian, lagu itupun habis. Berganti dengan lagu yang lain. Bukan, kali ini bukan lagu. Terdengar seperti rekaman suara seseorang.
“Happy first anniversary, Dania. Semoga kita bisa terus bersama, ya. Aku sayang kamu” pasti itu rekaman suara mantan pacarnya. Tapi…sepertinya aku mengenal suara itu. Suara itu…suaraku!
Bersambung
editor: Putri Istiqomah P