Hai pembaca yang baik. Sudah cukup lama saya tidak mencoret-coret di sini. Kali ini saya ingin berbagi pengalaman yang saya alami beberapa bulan yang lalu.
Waktu itu hari Jumat, kebetulan saya sedang tidak ada mata kuliah sama sekali. Akhirnya saya memutuskan untuk bermain ke rumah salah seorang teman di daerah Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Dari UI saya berangkat ke Pondok Cabe naik angkot, dan semua berjalan dengan sangat lancar tanpa hambatan.
Siang harinya, saya mendapat SMS dari seorang teman yang intinya mengajak saya bertemu di salah satu mall di Jalan Margonda. Berhubung saya belum pernah bertemu dengan teman saya itu (read: saya mengenalnya hanya dari sosial media), maka saya setujui ajakan ketemuan itu. Saya mengatakan bahwa saya akan sampai di sana sekitar jam 6 sore.
Jam 5 sore, saya pulang dari rumah teman saya di Pondok Cabe dan langsung meluncur ke Jalan Margonda, Depok. Semua berjalan mulus sesuai rencana, sekitar jam 6 (sebetulnya hampir jam setengah 7) saya tiba di mall yang telah disepakati.
Sekarang mari kita masuk ke inti cerita. Sekitar jam setengah 9 saya memutuskan untuk pulang. Mata “low vision” saya sudah sangat sulit digunakan ketika malam hari. Tadinya saya ingin pulang naik ojek, tetapi kata teman saya agak sulit mencari ojek di sekitar mall tersebut. Akhirnya saya memutuskan untuk naik taxi. “Nggak apa-apa deh mahal dikit, daripada gue nggak bisa pulang?” begitu pikir saya.
Akhirnya saya menemukan sebuah taxi. Dan terjadilah percakapan seperti berikut.
X: “Tolong antar teman saya ya Pak. Kemana Ry?”
Saya: “Polsek Beji Pak, deket kok.”
Supir: “Sendiri mas? Atau Mbaknya ikut juga?”
Saya: “Saya sendiri aja Mas.”
Supir: “Mbaknya ikut aja.”
X: “Dia bisa sendiri kok Mas.”
Supir: “Aduh, saya nggak berani Mbak. Takut nyasar.”
Saya: “Yaelah Mas, saya hafal kok jalannya. Tenang aja.”
Supir: “Udah, Mbaknya ikut aja.”
Saya: (berbicara ke teman saya) “Ah, udah ah, ribet amat ini supir.”
Tak lama berselang, akhirnya saya menemukan ojek di depan aall tersebut. Akhirnya saya pulang naik ojek dengan hati senang.
Dari cerita di atas, saya menarik kesimpulan bahwa masih banyak transportasi umum yang menolak penumpang tunanetra dengan berbagai macam alasan. Takut nyasar menjadi alasan klasik yang biasa mereka gunakan. Ada pula penyelenggara transportasi umum yang menolak penumpang tunanetra dengan alasan “takut nggak dibayar” (menurut saya itu alasan yang bisa dibilang cukup “kurang ajar”).
Solusinya? Simpel saja. Tunanetra harus membiasakan diri naik transportasi umum, dan lama kelamaan para penyelenggara transportasi umum pun akan mengetahui keadaan yang sebenarnya.
nah, ada tips sederhana untuk persoalan ini. Apabila mengalami pelayanan kurang mengeenakkan dari supir Taksi, langkah pertama yaitu catat nomor lambung, brand taksi, dan juga nama supir (kalo bias). Kemudian laporkan via telepon atau minimal twit dengan mention ke account resminya. Biasanya itu akan segera ditindak kok. Atau pas mau naik taksi, takut-takutin aja dengan suruh teman awas mencatat nomor taksinya dengan lantang di depan supir taksinya. Biasanya dia akan takut kalo dilaporkan ke pusat dan itu ada sanksinya lho. Ya manusia memang beragam dan kita harus siap menghadapi orang2 yang masih sempit pemikirannya dan beranggapan bahwa disabilitas, khususnya tunanetra, hanya akan merepotkan. Tetap hadapi dengan senyum dan kepala dingin.
huuuf, di Bandung banyak? jakarta juga banyak loh! malah taksi roda tiga belatak di jkt. :))
Penumpang taksi numpang komen ya? hehehe :p resep untuk naik taksi ni: 1. cari taksi yang udah terkenal maksudnya yang populer jangan taksi ece2 atau sembaran. taksi populer misalnya: ex… bl… ci… pokonya taksi yang ga asal ngangkut atau taksi tembak dan taksi tembak banyak tuh di mol2, diterminal, dibandung banyak. jadi pemilihan taksi juga harus tepat. alhamdulillah aku ga pernah ditolak taksi si, kl ditolak yang lain pernah hehehe 🙂
kemungkinan terbesar ya, antara dua itu ri! takut si tunet gak bayar sama hmm, takut si tunet salah nyebut alamat. :)) Di bandung sini supir taksi malah rebutan kl ada penumpang tunet, sebab apa? bukan soal si tunet gak mw bayar, tapii, kl si tunet dibohongin angka di argo mana dia tahu? :)) tmn aku pernah cerita argo dari kantor aku ke rumahnya smpai 50 ribu, padahal pas aku jalan sama teman yang awas ke tujuan yang sama di argo cuma tertera 24 ribu. 😛
bisa jadi juga sih, si supir kasian karena suka main argo mungkin hehe
rasanya gak mungkin ya ada supir taksi gak tahu jalan? 😛
tp itu mw gak mw pernah terjadi, padahal sebagai supir harusnya lulus tes uji dulu, minimal daerah jangkauan hafal semua. 🙂
tapi ini pernah terjadi sama aku loh mbak Nensi, aku lupa dari mana tapi aku inget tujuannya yakni ke rumahku,
kayaknya dari Tangerang itu
,saat aku bilang ke …. dia (supir taxi) langsung bertanya “Itu dimana?”,”Bapak tahu tol ke arah ….?”,”Tahu”,”Ya sudah, nanti bapak akan saya bimbing setelah keluar tol”, walhasil aku ngarahin beliau ke rumahku.
terus saudaraku juga pernah mengalami ini dan dia dari luar kota, main bingung karena supirnya tidak tahu arah.
seharusnya memang iya, dan wajib mengetahui minimal daerah domisilinya,saya sendiri kurang tahu kenapa bisa begitu.
maap
mungkin emang ngga tau jalan kali, soalnya emang banyak supir yang kurang hapal jalan. Daripada salah nanti dia juga yang tanggung jawab.
mungkin juga mau nolak,
siapa yang tahu?