Bersamaan dengan suara azan Subuh dari masjid kampung, Uli merambat turun dari peraduannya. Di atas lantai berlapis semen ia mengesot layaknya ikan lumba-lumba. Perlahan ia menuju ke ruang belakang. Sudah menjadi rutinitasnya tiap pagi sebagaimana perempuan pada umumnya, sibuk di dapur. Menjerang air dan memasak makanan untuk sarapan pagi keluarganya. Meski tanpa kedua kaki, ia begitu lincah dan terampil melakukan semua itu.
Terlahir dengan fisik tidak sempurna tak menjadikan gadis duapuluh lima tahun itu kehilangan semangat untuk hidup mandiri. Ia selalu belajar untuk bisa melakukan segala sesuatunya sendiri, tanpa bergantung pada pertolongan orang lain. Keterbatasan dirinya justru menjadi tantangan untuk menaklukkannya. Ia berusaha mengatasi setiap kesulitan yang dihadapi dengan caranya sendiri. Sesuatu yang menurut kaca mata orang normal tidak mungkin dan mustahil untuk dilakukannya sebisanya dilakukan!
Memasak, mencuci, menyapu, menyulam, dan merias wajah adalah sebagian kegiatan yang bisa dilakukannya sendiri. Kedua orang tuanya pun membiarkan Uli melakukan semua pekerjaan itu. Uli bukan gadis yang suka bermalas-malasan dan berpangku tangan. Ia tidak bisa diam barang sebentar. Kekurangan fisik tidak menjadi alasan buat dirinya tak mau mengerjakan apa-apa. Justru ia sadar tak bisa selamanya hidup bergantung pada orang tua, apalagi kedua orang tuanya sudah semakin tua dan lemah.
Di rumah Uli menjalankan kegiatan menyulam dan merangkai bunga dari bahan plastik warna-warna. Benda kerajinan tangan itu dititipkan pada toko souvenir, terkadang ada juga pembeli yang datang langsung ke rumah. Hasil penjualan barang kerajinan itu cukup lumayan, meski terbilang tidak besar tapi setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Bahkan sedikit-sedikit bisa membantu ekonomi keluarga. Biasanya ia bekerja membuat kerajinan tangan usai urusan beres-beres rumah selesai. Bila sudah asyik bekerja, ia sampai lupa waktu. Hingga malam pun dilakoninya!
Dengan rutinitas kerja yang demikian padat dan menguras tenaga itu, maka tak ada waktu lagi buat Uli memikirkan yang lain. Uli sudah cukup enjoy dengan pekerjaannya. Membebaskannya dari perasaan minder atas keadaan fisiknya. Ia tenggelam dalam keasyikan menekuni hobi merangkai bunga dari plastik warna-warna. Namun di tengah kedamaian yang melingkupi hidupnya, tiba-tiba hatinya terusik oleh percakapan Nina dan Lusi, kedua sahabatnya yang berfisik normal. Mereka sedang membicarakan tentang jodoh!
“Wah, enak sekarang kamu ya, Nin! Sudah menemukan jodohmu. Omong-omong kapan peresmiannya?” cetus Lusi pada Nina.
“Alhamdulillah! Doakan saja bila tak ada aral melintang bulan depan. Keluarga Kang Asep sudah datang melamar. Kamu sendiri kapan?” sahut Nina kemudian balik bertanya.
“Yaah, calon aja belum punya, boro-boro menentukan kapan…”
“Makanya cari. Tapi jangan lama-lama, keburu tua nanti tidak laku?”
“Ih, jangan sampai jadi perawan tua! Masak cewek secakep gue nggak ada yang ngarepin?” ujarnya bergurau.
Uli yang diam-diam mendengar percakapan mereka dari balik pintu tertegun. Ada sudut hatinya yang terpilin perih. Ah, betapa indahnya kehidupan gadis-gadis normal itu. Mereka begitu riang dan cerianya membicarakan tentang jodoh. Mereka beruntung bisa mendapatkan jodoh tanpa kesulitan berarti. Sepertinya puncak kebahagiaan seorang gadis ketika ia menemukan laki-laki idaman hati sekaligus menjadi jodohnya. Berbeda dengan dirinya. Membayangkan sosok laki-laki yang dicintai, apalagi menjadi jodohnya saja Uli tak berani.
Uli tak pernah berpikir tentang cinta! Menurutnya, cinta hanya bisa dinikmati oleh mereka yang dikaruniai fisik normal. Jarang –atau bahkan mungkin tidak ada— laki-laki yang mau menikahi gadis penyandang disabilitas seperti dirinya. Kebanyakan laki-laki tentu mengharapkan kekasih yang cantik rupawan dan bertubuh ideal. Uli segera menepis jauh-jauh keinginan mendapatkan seorang kekasih. Ia menyadari kondisi fisiknya yang penuh kekurangan. Ia hanya bisa berpasrah diri, jika Tuhan menakdirkan dirinya tak memiliki jodoh apa boleh buat. Ia tak mau terlalu berharap, tak mau menggantungkan angan setinggi langit!
Namun terkadang di lubuk hatinya terdalam muncul keinginan menikmati keindahan cinta. Bukankah manusia terlahir ke dunia atas dasar cinta, kehidupan manusia tak bisa dilepaskan dari cinta. Karena cinta adalah perasaan universal yang dimiliki oleh semua manusia tanpa terkecuali. Manusia yang tak memiliki cinta hidupnya akan terasa gersang dan hampa. Ibarat hamparan tanah yang tandus, tak ada satu tanaman pun tumbuh di atasnya. Begitulah yang dirasakan Uli kala menyadari betapa hidupnya sangat monoton dan kering tanpa cinta!
***
“Uliii…!” suara panggilan itu mengejutkan Uli dan membuyarkan lamunannya. Gadis itu menoleh. Dilihatnya seorang perempuan yang sudah cukup tua berdiri di depan pintu. Dialah ibunya!
“Ada apa, Bu?” tanya Uli dengan suara sedikit gugup. Dia agak malu karena ketahuan sedang melamun.
Perempuan itu tidak langsung menjawab. Ia menghampiri putri semata wayangnya dan duduk di sampingnya. Sejenak tangannya mengelus kepala Uli lembut. Meskipun hanya memiliki seorang anak, cacat pula, tapi perempuan tua itu tak pernah menyesal. Ia merawat dan membesarkan putrinya penuh cinta kasih. Ia dan suaminya bahkan sangat menyayanginya. Saking sayangnya, mereka tak mau berpisah dengan Uli. Pernah kerabatnya mengusulkan agar Uli dititipkan ke panti asuhan saat bayi biar mereka tidak dibuat repot dan menanggung aib, tapi mereka menolaknya.
Apa pun keadaannya mereka menerima kehadiran Uli dengan ikhlas. Karena Uli adalah anugerah dari Tuhan. Mungkin ada hikmah di balik semua ini. Meskipun penuh keterbatasan, tapi Uli tumbuh jadi anak yang cerdas, berprestasi, dan mandiri. Dia tak pernah merepotkan orang tua. Dia juga anak yang sholeh dan berbakti pada orang tua. Di kala anak-anak gadis sebayanya masih bergantung pada orang tua, dia malah sudah bisa mencari uang dan mencukupi kebutuhannya sendiri. Bahkan sedikit banyak telah membantu ekonomi keluarga!
Namun demikian, sebagai orang tua, mereka tetap diliputi rasa was-was dan khawatir terhadap masa depan putrinya. Sebagaimana umumnya orang tua mereka berharap putri mereka bisa menikah dan membangun mahligai rumah tangga. Karenanya ketika dua hari lalu ibu Uli bertemu dengan Pak Somad di jalan dan laki-laki itu mengutarakan maksud hati ingin memperistri Uli, betapa senang hati perempuan itu. Meskipun Pak Somad sudah cukup tua dan beristri dua serta memiliki sepuluh orang anak, tapi hal itu tak jadi soal. Yang penting Uli punya suami yang bisa menjaga dan mengayominya.
Ketika hal ini disampaikan pada Uli, gadis itu untuk beberapa saat termenung. Ia tak menyangka ada laki-laki yang berkenan padanya, meskipun sudah beristri. Hatinya pun diliputi perasaan tak karuan, antara bingung dan tak percaya. Apalagi ibunya mengatakan kalau kedua istri Pak Somad sudah setuju suaminya menikah lagi. Buat Uli bukan masalah dirinya dijadikan istri ketiga atau keempat, karena agama sendiri membolehkan, yang penting bisa bersikap adil dan bisa mengayomi. Lamaran dari Pak Somad membuatnya yakin bahwa dirinya memiliki jodoh.
“Bagaimana, Uli? Kamu setuju diperistri Pak Somad?” cetus ibunya kemudian meminta jawaban Uli.
“Menurut ibu sendiri bagaimana?” tukas Uli ingin mendengar pendapat ibunya.
“Ibu sih, terserah kamu. Kalau kamu setuju, ibu pun setuju. Apa yang terbaik buat kamu dan bisa membuatmu bahagia, ibu akan selalu mendukung. Tapi kalau ibu boleh berpendapat, sudah saatnya kamu hidup berumahtangga. Karena nanti ada yang melindungi dan mengayomi dirimu. Ibu dan bapak sudah semakin tua, kami tidak bisa selamanya mendampingimu. Ibu tak mau kamu hidup sendirian bila nanti sewaktu-waktu kami dipanggil Tuhan. Jadi inilah kesempatan baik buatmu menemukan jodohmu!” tutur Ibu.
Uli bisa mengerti perasaan ibunya. Kedua orang tuanya sangat memikirkan masa depannya. Mereka khawatir bila nanti umur mereka tidak panjang dan tidak bisa mendampingi putrinya untuk waktu lebih lama. Namun memutuskan untuk menerima lamaran seorang laki-laki juga perlu pemikiran matang. Menikah bukan sekadar menyatukan dua insan dalam hubungan yang sah, namun juga bertujuan membangun cinta kasih dan kebahagiaan. Karenanya Uli meminta waktu untuk berpikir. Dia akan menjalankan shalat istikharah dulu, meminta petunjuk dari Allah agar bisa mengambil keputusan yang tepat!
Dan malam itu Uli menjalankan shalat istikharah. Ia memohon kepada Allah agar diberikan ketetapan hati untuk menentukan pilihan, apakah menerima atau menolak lamaran Pak Somad. Memang tidak seketika itu juga dia mendapatkan petunjuk dari Allah. Tapi dia yakin Allah akan memberikan petunjuk-Nya lewat jalan apa pun. Dan petunjuk itu benar-benar datang esok hari melalui dua orang sahabatnya, Nina dan Lusi. Tiba-tiba mereka datang untuk mengklarifikasi kabar tentang pinangan Pak Somad. Uli membenarkan kabar itu, tapi menyatakan belum memberikan jawaban!
“Wah, jangan sampai deh, Li, kamu menikah dengan Pak Somad. Pengangguran macam dia tak pantas jadi suamimu! Lagi pula kelakuannya juga nggak bener. Suka judi, mabok, dan hidup seperti parasit. Hanya menggantungkan diri pada kedua istrinya. Iya, nggak, Lus?” cetus Nina berapi-api.
“Bener, Li! Aku yakin keinginannya menikahi kamu cuma ingin manfaatin kamu. Soalnya dia tahu kamu bisa cari uang sendiri. Dia tidak suka kamu, tapi lebih suka uangmu!” tegas Nina membenarkan.
Uli diam tertegun. Ia masih bingung dengan keterangan kedua sahabatnya ini. Ia memang tak begitu mengenal Pak Somad, karena jarang keluar rumah. Kedua sahabatnya itu paling tahu tentang orang-orang di luar. Uli yakin mereka tak bermaksud menyebar fitnah dan menggagalkan keinginannya mendapatkan jodoh.
“Maaf, Li. Bukannya kami berniat merusak rencanamu untuk menikah. Tapi ini demi kebaikanmu. Kami tak mau melihatmu diperdaya orang, kami tak ingin membiarkanmu terjerat dalam perangkap buaya darat!” kata Nina lagi.
“Kamu itu gadis yang baik, Li. Kamu juga cantik. Biarpun keadaanmu seperti ini, tapi kamu pantas mendapatkan yang terbaik. Allah berfirman wanita solehah akan mendapatkan laki-laki yang soleh pula. Kamu harus yakin Allah akan memberikan jodoh yang lebih baik buatmu!” sambung Lusi.
Uli tersenyum. Ia tidak marah dan sakit hati dengan perkataan mereka. Ia justru berterima kasih mendapat peringatan mereka. Ia yakin inilah petunjuk yang diberikan oleh Allah melalui sahabat-sahabat baiknya. Mereka melakukan semua ini karena rasa sayang dan perhatian pada dirinya.
“Tidak apa-apa, teman. Aku malah sangat berterima kasih karena telah dibukakan kedua mataku pada kenyataan yang ada. Aku merasa diselamatkan!” ujar Uli menepis perasaan mereka.
Lusi dan Nina tersenyum lega.
Sekarang Uli tahu, keputusan apa yang mesti diambilnya. Ia tidak mau, karena kecacatan pada dirinya menjadikan dirinya mudah ditipu dan diperdaya orang lain. Ia juga tak mau mengasihani diri sendiri dan bersikap pasrah. Ia harus tetap semangat dan berikhtiar. Ia yakin Allah akan memberikan jodoh yang lebih baik untuknya. Karena seperti kata Lusi, biar pun keadaan dirinya seperti ini ia berhak mendapatkan yang terbaik! (*)