Laga baru memasuki menit ke-5. Kedua tim bermain begitu luar biasa! Bola tak pernah berhenti bergulir. Sungu aksi serang-serangan yang mengagumkan! Tak pelak lagi, adrenalin pun terombang-ambing. Pendukung kedua tim terhenyak di singasana masing-masing. Secara terang-terangan, mimik kecemasan pun terpampang jelas di wajah mereka.
Ini bukanlah pertandingan antara keseblasan Real Madrid versus barcelona. Apalagi antara Manchester United versus Manchester City. Ini merupakan partai seru yang melibatkan dua SMA negeri ternama di kota Makassar. Melalui proses yang begitu dramatis akhirnya kedua SMA tersebut harus saling bertempur dipartai final kompetisi futsal league tahun ini.
Aku bukanlah penggemar sepakbola, kawan. Aku juga kurang mengikhlaskan keberadaanku di tempat ini. Andai saja, lelaki gila itu tidak memaksaku, mungkin aku saat ini sedang berada di dalam kamar, sambil bereksperimen akan teori-teori Kimia yang kukuasai. Ataukah aku akan bermain-main dengan ilmuan faforitku: Alberd Enstein dengan teori relatifitasnya yang hingga saat ini belum kumengerti. Ataukah mungkin aku akan membaca buku-buku motifasi yang saat ini sedang bertumpukan di perpustakaan pribadiku!
“Semua siswa harus ke Gor untuk memberikan dukungan!” itulah perintah yang menurutku sangat otoriter yang keluar dari bibir Pak Sem. Dan jika ia sudah bersabdah, tak satu pun yang boleh membantahnya. Apalagi kalau hanya seorang siswi seperti diriku.
Sejenak kulirik papan skor. Di sana terterah nama sekolahku: SMA Negeri 9 Makassar, dan SMA Negeri 6 Makassar yang siang itu menjadi rival sekolahku. Kedudukan masih imbang tanpa gol. Padahal, pertandingan sudah memasuki pertengahan babak pertama. Menurut info yang kuketahui, biasanya sekolahku mampu mencetak gol diawal-awal pertandingan. Namun, kali ini sepertinya sulit. Apalagi tim lawan begitu bersemangat dan berupaya mengimbangi pertandingan.
Kejenuhan mulai menyapaku. Dengan tanpa minat sedikit pun, kucoba mengalihkan perhatianku ke tengah-tengah pertandingan. Tanpak olehku kini bola dikuasai oleh anak-anak SMA 6. pemain bernomor punggung 8 mempermainkan sikulit bundar dengan sangat memukau. Dengan lincahnya, ia berhasil mengecoh dua orang pemain dari tim sekolahku. Sejenak kemudian bola telah berpindah ke kaki pemain nomor punggung 10. ia mempermainkan bola sejenak, dan secara tak terduga, dan diluar perhatian semua penonton, telah ada dua orang pemain dari tim SMA 6 yang telah berdiri bebas di depan gawang!. Tanpa menunggu aba-aba, pemain bernomor punggung 10 langsung mendorong bola ke depan!. Sayang, tim kami baru menyadari akan keberadaan kedua pemain yang berdiri bebas itu. Kini harapan kami berada pada penjaga gawang. Aku tak sanggup melanjutkan tontonanku. Kucobah mengalihkan pandangan.
Goool!
Kurang dari tiga detik kemudian, teriakan itu terdengar membahana dan membuat semua pendukung SMA 6 yang ada di dalam Gor Sudiang berteriak histeris menyambut keberhasilan timnya mencetak gol!. Tentu saja, para pendukung sekolahku kecewa. Pak Sem tak bisa menyembunyikan kekecawaannya. Aku melihat, ada dua buah botol air mineral terjun bebas dari tangannya. Hahaha, aku merasa senang melihat tingkah beliau. Biar tau rasa dia.
Laga memasuki menit-menit akhir untuk babak pertama. Kali ini, bola dikuasai oleh para pemain SMA 9. Rudi, sang kapten berusaha mengatur pasukannya. Ini merupakan kali pertama SMA 9 kebobolan terlebih dahulu. Ia mencoba menenangkan kawan-kawannya.
“Pertandingan masih lama. Kita masih bisa membalas!” teriaknya lantang. Pertandingan kini semakin seru. Dengan segala upaya dan kemampuan yang mereka miliki, pemain-pemain dari SMA 9 berusaha menyeimbangkan keadaan. Rasa bosan kembali membuntutiku. Akal dan pikiranku menuntunku untuk mencari cara untuk terlepas dari keramaian yang membosankan ini.
Tiba-tiba saja, penglihatanku menemukan sesuatu hal yang ganjil. Untuk memastikan hal itu, aku berusaha lebih menfokuskan pandanganku pada objek tersebut. Di sisi lain Gor Sudiang, aku melihat seseorang suporter dari SMA 6 yang nampak berbeda dengan suporter-suporter lain. Aku melihat aura ketenangan dari orang tersebut. Di tangannya, tergenggam sebuah benda berwarna putih yang berbentuk melingkar dan panjang. Keanehan juga tampak pada bola mata anak itu. Ada sebuah titik putih yang nampak di kedua bola matanya. Otakku langsung bekerja dan menghasilkan sebuah hipotesa yang mengatakan bahwa anak itu pasti punya masalah pada indra penglihatannya. Ia begitu menikmati pertandingan dengan caranya sendiri.
Entah mengapa, setelah lebih memperhatikan anak itu, ada rasa ketertarikan yang tibah-tibah mengusik rasa bosanku. Sampai-sampai berbagai pertanyaan muncul dalam benakku. Ingin rasanya aku mendekati anak itu. Namun, itu tak mungkin kulakukan. Tensi pertandingan yang memanas telah membentangkan jurang pemisa yang sangat luas antara suporter SMA 9 dan SMA 6.
Aku tak bisa membayangkan, jika saja saat ini aku mendekati anak itu dan mengajaknya berbincang-bincang sejenak, Kemudian Pak Sem dari singgasananya melihat seseorang siswi yang mengenakan atribut SMA 9, tiba-tiba berada di tengah-tengah suporter lawan. Kupastikan dia akan murka semurka-murkanya. wajahnya akan memerah seperti kepiting rebus yang telah hangus total!. Bukan hanya itu, kupastikan semua pendukung SMA 9 akan mengutukku habis-habisan karena menganggapku telah menginjak-injak harkat dan martabat SMA 9. sebelum laga ini dimulai, pendukung SMA 6 dan SMA 9 telah sepakat untuk tidak saling berinteraksi selama pertandingan berlangsung. Aku juga tak begitu tau dan tak mau tau apa penyebabnya.
Terus terang saja, rasa ingin tahuku akan anak itu semakin lama semakin bertambah. Ingin rasanya aku melanggar kesepakatan tolol yang telah membatasi ruang gerakku. Otakku kupaksa mencari ide untuk melakukan hal itu. Sayangnya, semakin kupaksa, dia semakin melawan dan menentang perintahku.
Sementara itu, pertandingan babak pertama telah usai. Kedudukan masih 1-0 untuk SMA 6. kedua tim diberi kesempatan untuk beristirahat selama 5 menit. Dari tempat dudukku, aku bisa menangkap raut wajah-wajah kecewa dari semua pemain tim sekolahku. Yang berbeda hanya Rudi. Raut optimis masih menghiasi wajahnya yang oval.
Laga babak kedua pun segera dimulai. Kedua tim sudah memasukki arena pertandingan. Gor Sudiang kembali diramaikan dengan nyanyian-nyanyian penyemangat dari masing-masing suporter. Pertandingan dimulai dengan penguasaan bola untuk SMA 9. di tengah-tengah arena pertandingan, kini bola berada dihadapan Rudi. Sesaat kemudian ia mendorong bola ke belakang. Ardan telah menanti di sana. Ternyata bola itu tidak di tujukan padanya. Bola terus bergulir melewati anak itu. Tanpa diduga-duga, sesosok bayangan tiba-tiba berlari dari belakang dan langsung menendang bola tersebut dengan teramat keras. Ini tentu di luar perkiraan anak-anak SMA 6. mereka pun terlambat mengantisipasi akan hal itu. Semua suporter SMA 9 bersorak riang. Sayang, bola itu tidak menemui sasaran dan justru membentur mistar gawang. Gol gagal tercipta. Kekecawaan kembali berpesta.
Bola kembali bergulir di sekitar daerah pertahanan SMA 6. dan, sebuah hal luar biasa kembali terjadi. Kurang dari sepersekian detik kemudian, Rudi dan Ardan telah berhasil menjangkau bola yang bebas itu. Tim SMA 6 tidak tinggal diam. Dua orang pemain langsung mengunci pergerakan Ardan dan Rudi. Sang kapten SMA 9 memberi isyarat pada pemain lain untuk ikut maju. Kali ini bola didorong pada Said. Kurang dari sedetik kemudian, bola ia kembalikan pada Rudi, dan setelah itu bola berada di kaki Ardan. Ketiga pemain itu berusaha mencari celah untuk menembus pertahanan lawan. Laga yang menarik akhirnya menjadi super menarik!
Kucoba mengalihkan pandangan sejenak. Ekspresi ketegangan ternyata kini telah menghinggapi para suporter SMA 6. namun, kini aku tak melihat lagi kehadiran anak lelaki tadi yang sempat mencuri perhatianku. Ke manakah anak itu? Mataku kini kupaksa bekerja lebih ekstra. Aku begitu ingin berkenalan dengan anak itu, minimal bisa tau namanya dan berapa nomor HP-nya. entah mengapa, sejenak ketika aku memandang anak itu, tiba-tiba, ada rasa senang yang masuk ke dalam qalbuku.
Ternyata, anak itu kini sedang berjalan menuju pintu keluar Gor Sudiang. Aku melihat ada dua orang yang menuntunnya.
“Apakah ia akan pulang?” pertanyaan itu muncul begitu saja dalam benakku. Tapi instinkku membenarkannya. Ingin rasanya aku mengejarnya. Satu persatu atribut SMA 9 yang melekat pada pakaianku kulepas dan kumasukkan ke dalam tas. Setelah itu, aku mengambil sebuah jaket biru yang cukup mirip dengan seragam suporter SMA 6 dan memakainya. Tatapan sinis dari teman-temanku tak kupedulikan.
“Mau ke mana, Ga?” seorang dari mereka bertanya.
“Aku mau keluar sebentar.”
“Tapi, itu kok di lepas semua?”
“Hmmm, saya rasa, itu bukan urusanmu!” jawabku mulai jengkel. Semakin lama, anak itu semakin mendekati pintu keluar. Seketika itu, aku langsung menyusulnya. Sepintas aku melirik ke belakang. Kini wajah sinis tadi telah berubah menjadi jengkel. Hmmm tak perlu kupikirkan itu.
Ternyata aku kehilangan jejak anak itu. Sesampaiku di halaman Gor Sudiang, mataku tak mampu lagi mendeteksi keberadaannya. Aku jengkel pada diriku sendiri. Galau, mungkin itulah kata yang tepat untuk menilai kondisi hatiku.
Tiba-tiba saja, otakku menyuruhku untuk menuju ke suatu tempat. Yah, mungkin anak itu sedang berada di tempat parkir. Tanpa berbasa-basi, kakiku langsung mengambil tindakan. Ternyata benar. Anak itu ada di sana. Namun, harapanku kembali bertolak dengan kenyataan. Anak itu sudah berada di atas sebuah motor. Seorang anak lelaki kulihat akan memboncengnya.
Aku tak mungkin lagi berkenalan dengannya. Sebuah kamera digital kukeluarkan dengan cepat dari tas. Minimal, aku harus bisa mengambil gambar wajahnya.
sayangnya, aku kembali dikalahkan oleh waktu. Yang berhasil kuabadikan hanyalah sebuah tas beserta sebuah benda yang dalam keadaan terlipat empat, dan terselip dibagian depan tas anak itu. Setelah kuteliti lebih detail, ternyata benda itu adalah sebuah tongkat moderen yang berwarnah putih. Benda itu sebelumnya telah digunakan anak itu ketika berada di dalam Gor Sudiang. Ingin rasanya aku mengejar anak itu. aku mencoba mencari akal.
Sementara itu, sayup-sayup dari dalam Gor Sudiang, aku mendengar teriakan-teriakan bernada kegembiraan. Mungkin ada gol lagi yang tercipta. aku merasa malas untuk kembali menonton pertandingan. Mengejar anak itu juga sudah mustahil. Aku baru sadar, ternyata aku tidak membawa kendaraan ke tempat ini. Akhirnya kuputuskan untuk pulang saja dengan menggunakan kendaraan umum.
* * *
Langit begitu ramah hari ini. sungguh pemandangan yang begitu indah disaat seorang manusia dapat merasakannya. Sekumpulan awan putih saling beriringan dan tak pernahh lelah menjalankan titah tuhannya. Terkadang mereka memberikan kesejukan yang tak ternilai pada manusia.
Tanpa terasa, sebuah masa-masa indah di bangku SMA telah kulewati. Kehidupan kini memberiku tanggung jawab baru. Sebuah tantangan lain telah menantiku di Gerbang Universitas Negeri Makassar. Mahasiswa, sebuah gelar yang tanggungjawabnya tak semudah mengucapkannya.
Kupandangi arlojiku yang saat ini sedang melingkar ditangan kiriku. pukul 10.45. aku masuh harus menunggu sekitar dua jam lagi untuk mengikuti perkuliahan selanjutnya. Dalam masa penantian itu, kutuntun diriku untuk nongkrong di teras Masjid universitas. aku memang lebih senang menghabiskan waktu di Masjid dibanding tempat-tempat lain.
Sebenarnya, aku sudah ada di kampus sekitar satu jam yang lalu. Agenda utamaku hari ini adalah ingin mengurus kartu anggota perpustakaan jurusan. Ternyata proses pengurusannya tidak membutuhkan waktu yang lama. berbeda dengan jurusan-jurusan lain di Fakultasku yang membutuhkan waktu berjam-jam atau mungkin berhari-hari hanya untuk membuat sebuah kertas kecil yang ukurannya tidak lebih besar dari KTP (kartu tanda penduduk). Itulah sebabnya aku datang lebih cepat. Dugaanku, prosedur pengurusannya sama dengan jurusan lain. Ternyata hipotesaku tidak benar. Kartu perpustakaanku selesai mereka buat tak kurang dari setenga jam. jika ingin, sebenarnya aku sudah bisa melakukan peminjaman buku di perpustakaan tersebut. Namun, tasku sudah terlalu kepenuhan, kuputuskan untuk melakukannya diwaktu lain.
Tiba-tiba, mataku menemukan sesosok mahasiswa sedang berjalan ke arah Masjid. Rasa-rasanya, aku pernahh melihat mahasiswa itu. Aku mencoba mengingat-ingat. Sementara itu, mahasiswa itu semakin mendekat. Hm, aku semakin penasaran. Di manakah aku pernahh melihat orang itu?
Sementara otakku berusaha mengingat, mahasiswa itu kini telah berada di teras Masjid. Setelah membuka sepatu yang ia kenakan, ia langsung menuju ke tempat pengambilan air wudhu’. Dua menit kemudian, ia telah berada di dalam Masjid dan melaksanakan Shalat Duha. Dua rakaat, empat rakaat, enam rakaat, delapan rakaat. Ia berhenti di rakaat ke delapan. Hingga saat itu, aku masih belum menemukan ingatanku.
Setelah mengerjakaan shalat duha, aku melihat mahasiswa itu membuka tasnya. Ia mengeluarkan dua buah buku tebal-tebal. Kemudian ia lalu mengeluarkan sebuah buku notes yang berukuran kecil. Sebuah benda aneh tiba-tiba ikut keluar dari tasnya. Sebuah benda yang mengingatkanku akan sebuah peristiwa.
Seketika itu, aku langsung membuka tasku sendiri. Dengan tergesa-gesa, kukeluarkan sebuah laptop dan menyalahkannya. Sesaat kemudian aku telah berselancar di tumpukan file-file photo yang jumlahnya tak terkira. Aku mencari sebuah photo yang kupindahkan dari kamera digitalku sekitar tuju bulan yang lalu.
Hampir setengah jam aku mengutak-atik file yang ada di memori laptopku. Tanda-tanda keberadaan photo itu belum juga nampak. Aku sangat yakin, photo itu pasti ada. Namun, ingatanku tidak mampu mendeteksi keberadaanya. Aku mulai diserang rasa bosan dan putus asa. Ketika aku memutuskan untuk mengakhiri pencarianku, sebuah file photo tiba-tiba menyeruak dari tumpukan file-file tersebut.
Ahh… inilah photo itu. Sebuah gambar tas beserta benda yang dalam posisi terlipat empat. Ingatanku perlahan muncul. Kuteliti baik-baik photo itu. Lalu kubandingkan dengan benda yang dimiliki mahasiswa yang ada di dalam Masjid. Astaga, ternyata kedua benda itu sama. Apakah mahasiswa itu orang yang sama dengan lelaki yang ada di pertandingan waktu itu?, diakah orang yang telah membuat diriku penasaran?
Ahh… tak mungkin. Mahasiswa itu normal. Tak ada yang aneh dengan bola matanya. Hmmm… tapi, aku kan belum memastikannya. Sewaktu berjalan tadi, aku tak memperhatikan matanya. Tetapi kalau memperhatikan cara jalannya, sepertinya mahasiswa itu baik-baik saja. tak ada yang lain dengan dirinya. Kuputuskan saja untuk berbicara dengan mahasiswa itu. Namun, aku tak mungkin melakukannya di dalam Masjid.
Kembali kupandangi arlojiku. Pukul 11.55. sekitar lima menit lagi, waktu shalat Dzuhur tiba. Sekitar pukul 13.00, aku harus mengikuti perkuliahan. Hmmm, aku belum mempunyai timeing yang tepat untuk berbicara dengan mahasiswa itu. Aku bingung harus bagaimana. Dalam kebingungan itulah, adzan dzuhur pun berkumandang. Kuputuskan untuk shalat terlebih dahulu.
Seusai shalat, aku tak menemukan lagi mahasiswa itu di dalam Masjid. Mungkin ia telah meninggalkan Masjid menuju kelasnya. Sayangnya, aku tak tau di mana kelasnya. Ada banyak ruangan kelas di kampus ini. Aku tak mungkin menelusurinya hanya untuk mencari keberadaannya.
Ketika kuputuskan untuk meninggalkan Masjid, sebuah benda tiba-tiba menyita perhatianku. Benda itu terletak di bagian saf lelaki, dan tidak begitu jauh dari jendela. Sejenak kuperhatikan suasana masjid. Masih banyak jema’ah. Pikiranku berada di benda itu. Kuputuskan untuk mengambil benda itu. Dengan rasa percaya diri yang kupaksakan, kulangkahkan juga kaki ini menuju benda tersebut. Ada beberapa pasang mata yang menatapku aneh, namun aku berusaha untuk tidak mempedulikannya.
“Hai! Itu bukan milikmu!” bentak seorang lelaki ketika benda itu sudah berada di dalam genggamanku. Aku sempat terkejut dibuatnya. Hingga akhirnya aku kembali dapat menguasai diriku. Bentakan lelaki itu sontak membuat perhatian seisi masjid tertuju kepadaku dan kepada lelaki itu.
“Yaa, ini memang bukan milikku. Tapi ini milik temanku.” Entah mengapa jawaban itu secara spontan meluncur bebas dari bibirku.
“Hmmm… benarkah?” balasnya kemudian sambil menatapku tajam. Aku tak tau harus berkata apa. Sementara itu semakin banyak mata yang tertuju kepada kami.
“Kkalau memang itu milik temanmu, lalu siapa nama pemilik benda itu?” sebuah pertanyaan yang seakan-akan langsung menelanjangiku. Kuakui, aku kali ini salah. Aku telah berbohong, tapi sungguh, itu bukan keinginanku. Sama sekali bukan.
“Hai…, Kenapa kau terdiam? Kau cukup menyebut nama temanmu! Gampang kan?. Ataukah mungkin kau berdusta?.” Kali ini, posisiku semakin terjepit. Aku juga bingung, kenapa jawaban tolol tadi tiba-tiba meluncur dari bibirku?, aku hanya bisa tertunduk. Aku tak tau bagaimana model wajahku saat ini.
“Ada apa ini, Man?”
“Aha! Kebetulan kamu datang, Syat!” sesosok laki-laki muncul ditengah-tengah kami. Aku hanya mendengar suaranya. Aku sama sekali tak berani menampakkan wajahku. Malu.
“Kamu kenal dia, syat?”
“Tidak. Memang kenapa dengan dia?”
“Dia mengaku-ngaku sebagai temanmu.”
“Hmmm… tapi kok wajahnya jadi traffic light begitu?.” Mendengar kalimat terakhir, sontak aku tak bisa menyembunyikan senyum. Kuberanikan untuk mengangkat wajahku. Dan aku tidak tertunduk lagi. Ketika itulah aku memperhatikan sosok itu. Astaga, ternyata dia adalah mahasiswa yang kulihat tadi!.
“Maaf, benda itu punya saya…” ucapnya sambil melirik tongkat yang ada dalam genggaman tanganku.
“Iya. Tapi, bolehkah kita bicara di luar?” ajakku kemudian. Kedua orang itu hanya mengangguk lalu mengikutiku keluar dari masjid. Perhatian jama’ah tidak tertuju lagi pada kami.
“Maaf, bukannya aku ingin mengambil tongkat ini…,” ucapku ketika telah berada di teras masjid. aku lalu menceritakan pada kedua orang itu tentang peristiwa yang terjadi ketika aku masih duduk di bangku SMA. Cerita yang ada hubungannya dengan benda yang dimiliki oleh mahasiswa itu. Keduanya hanya mengangguk-ngangguk. Namun ada ekspresi lain yang tergambar di wajah mahasiswa yang tongkatnya kuambil tadi. Ia sepertinya berusaha mengingat sesuatu.
“Hmmm… benar. Akulah yang kau lihat dipertandingan waktu itu. Waktu itu, aku tidak menghabiskan pertandingan, karna mataku harus dioprasi. Dan, inilah hasil oprasinya. Mataku tak seperti lagi dengan yang kau lihat di pertandingan itu. Tak ada lagi yang menuntunku. Kini aku bisa melakukannya sendiri.” Jawaban penjelas itu cukup membuatku mengerti. Ternyata dugaanku benar. Dialah orang yang kucari selama ini.
“Namaku Mega Silfia.” aku menyulurkan tangan mengajak berkenalan.
“Iya. Aku Irsyat Alamsyah.” Waktu membatasi perkenalan kami saat itu. Aku harus segera menuju ke kelas. Sehingga kami hanya sebatas memperkenalkan nama. Tak apalah. Satu impianku telah tercipta.
Sejarah telah mencatat pertemuan siang itu. Sebuah pertemuan yang mengawali pertemuan-pertemuan selanjutnya. Hingga hatiku kemudian memunculkan sebuah rasa. Rasa perpaduan antara dua elemen yang tak kumengerti. Namun dampaknya cukup terasa.
Tahukah kau aku rindu,
Dengan dirimu yang misterius,
Yang menggemparkan isi hatiku,
Dan mempermainkan hidupku.
Aku tak tau,
Mengapa perasaan itu tiba saja bertengger di hatiku,
Merusak sistem kerja nalarku,
Dan menyingkirkan logikaku.
Apakah itu cinta?
Yang terkesan pada tatapan pertama?
Ataukah mungkin hanya kekaguman belaka?
Namun semuanya menjadi indah.
Gowa, 1 februari 2013
sepertinya udah pernah baca cerita ini tapi dimana ya? di facebook bukan ya? hehe
oia ini formatnya cerpen kan ya? kami sudah tambahkan tag Cerpen di postingan ini agar lebih mempermudah kategorisasi. terus untuk masalah editing mungkin ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika posting di Kartunet. Biasanya ketika posting, pakai mode visual atau text? jadi itu pilihan yang ada di bawah kotak edit title. Apabila sumber tulisan diambil (copas) dari MS Word, ada baiknya pilih yang mode visual. Jadi nanti enter satu kali, akan dianggap jeda oleh system. Akan tetapi jika dari notepad, sebaiknya pakai mode text dan jangan lupa antar paragraph dienter dua kali ya.