Membuka Jendela Hati Melalui Kartunet

Heeem, bingung kalau harus menceritakan suatu hal tentang kartunet karena sejujurnya saya baru tahu kartunet beberapa bulan yang lalu. Oke, saya mulai dengan mengucapkan “Bismillah” semoga tidak ada salah kata dalam penulisan ini.

Berawal dari komunitas IDCC (Indonesia Disabled Care Community) yang mengadakan kegiatan NCDA (National Conference on Disability Awareness). Ada rasa ingin mencoba untuk terjun ke dalam dunia disablitas, sehingga saya memutuskan untuk ikut menjadi panitia di NCDA. Acara ini sendiri adalah konferensi pertama yang ada di Indonesia, di mana pesertanya terdiri atas pendis dan non-pendis. Sejak September 2013, saya dan teman-teman panitia lainnya mempersiapkan segala hal semaksimal mungkin demi terlaksananya acara tersebut dengan baik, di mana akan diselenggarakan pada bulan Desember 2013. Habibie Afsayah adalah satu-satunya panitia yang berasal dari golongan pendis, namun demikian ia tidak pernah merasa sungkan terhadap yang lain. Ia justru berperan aktif dan sering memberikan masukan agar kegiatan NCDA tersebut tidak terasa memberatkan untuk para pendis nantinya.

Baca:  SEWINDU BERSAMA KARTUNET DAN HARAPANKU

Nah, ketika NCDA itu berlangsung mulailah saya tidak hanya mengenal Habibie sebagai penyandang tuna daksa, tetapi ada banyak teman-teman disable lainnya seperti teman-teman tuna rungu dari Young Voice dan juga teman-teman tuna netra dari Kartunet. Saat itu saya untuk pertama kalinya tahu dan melihat sendiri kalau ternyata salah satu yang menjadi pembicara di acara NCDA tersebut adalah seorang tuna netra. Tidak hanya seorang pembicara biasa, pastinya ia adalah seorang yang luar biasa sehingga dapat dipilih. Ia adalah alumni dari UI jurusan Sastra Inggris dan juga telah menyelesaikan kuliah pendek di Australi (Heeem melayang deh yang merasa). Yuup! melalui Kak Dimas lah saya mengenal kartunet, hingga akhirnya ia memberitahu alamat website kartunet dan mulailah saya mencari tahu apa itu kartunet.

Benar-benar tidak terbayang selama hidup saya bagaimana mereka para tuna netra bisa berkreasi dan berinovasi, tapi di kartunet semua itu menjadi nyata. Mereka tetap bisa beraktivitas seperti layaknya manusia normal yang memiliki kesempurnaan anggota tubuh. Tidak ada yang berbeda, bahkan bisa jadi mereka lebih hebat dan luar biasa perjuangannya. Salah satu keterampilan yang mereka miliki adalah menulis. Banyak karya-karya tulisan mereka yang telah terbit di media dan saya telah membacanya yang ada di website kartunet.com. Banyak sekali cerita yang sangat mengispirasi. Seperti cerita seorang perempuan remaja bernama Ekka yang tiba-tiba harus menerima dirinya sebagai penyandang tuna netra lantas ia bingung harus bagaimana. Kedua orangtuanya menyuruhnya untuk putus sekolah saja, namun ia masih bersih keras untuk bisa melanjutkan sekolahnya. Akhirnya ia bertemu dengan kartunet yang memberikan saran dan masukan sehingga sekarang ia bisa tetap melanjutkan pendidikannya dengan bantuan software untuk penyandang tuna netra yang kartunet infokan kepadanya. Dan masih banyak lagi cerita fakta tentang perjalanan hidup mereka yang secara tidak langusung telah membuka hati dan pikiran saya serta menjadi motivasi bagi saya untuk bisa hidup lebih bermanfaat lagi untuk orang lain dan tidak mengenal putus asa.

Baca:  Ketidaktahuan

Kartunet itu tidak hanya sebagai media penyampaian informasi tapi juga wadah untuk membangun rasa kekeluargaan dari kesamaan yang dimiliki. Khususnya bagi mereka yang menyandang tuna netra, mereka dapat belajar banyak hal dari kartunet bagaimana bisa menggunakan teknologi seperti komputer layaknya manusia lainnya. Siapa saja dapat bergabung di kartunet untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi dengan berbagi ilmu melalui tulisan.

Berharap kalian “Sang Pendekar” alias pengurus kartunet ini dapat terus istiqomah dalam menjalankan kegiatan mulia ini. Semoga kartunet juga bisa melakukan lebih banyak lagi kegiatan sosial di masyarakat secara langsung sehingga masyarakat lebih familiar dengan tunet dan insya Allah saya yakin pastinya mereka akan salut dengan kalian. Masih banyak masyarakat umum yang belum bisa memanfaatkan teknologi seperti internet untuk mencari atau berbagi ilmu pengetahuan, sehingga mereka tidak banyak mengetahui bagaimana berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Bahkan ada diantara mereka yang memiliki seorang anak penyandang disabilitas, namun masih merasa malu untuk mengakuinya. sehingga anak tresebut dibatasi dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Sungguh menyakitkan.

Bagikan artikel ini
Mulyati Sholeha
Mulyati Sholeha

Mahasiswa USBI, jurusan Pendidikan Matematika. Pernah mengajar di Sinar Cendekia Elementary School dan menjadi anggota RISKA (Remaja Islam Sunda Kelapa). Sekarang bekerja sebagai guru di SMP Islam Al Ikhlas

Articles: 3

32 Comments

  1. Keren tulisannya benar2 membuka jendela hati untuk tetap bersyukur atas nikmat yang ada pada kita dan lebih merangkul teman2 disabilitas, tetap semangat teman2 relawan…. !!! 🙂

      • Heeem, bingung mau bales komen dari mana..
        Dimulai dengaaaaan, peluuuuk mba Tyasetaaaaa. Ketemuan yuuuk???
        kayanya mba harus coba baca buku “La Tahzan” Jangan Bersedih karena masih banyak diluar sana yang lebih sengsara dari pada kita, masih banyak lagi kisah2 Nabi yang lebih menyakitkan dari pada kita dan terpenting masih banyak lagi nikmat kehidupan di dunia ini yg lebih menyenangkan dari pada mengingat sesuatu yang menyedihkan. sekarang uda ada e-booknya jadi saya ga perlu ngerekam ya, hehehehe

        Waaah, bagus dong klo sekarang uda berani bicara coz klo diem pasti orang ga akan tahu apa yang ada dalam hati kita. Sedih, senang, kesal, sudah mengerti atau tidak. Sumpah deh lebih baik ngajar siswa yang bawel dari pada pendiem dengan diam tanpa kata. Bingung jadi gurunya dia uda ngerti atau ga 😀

  2. Keren banget tulisan kaka Moel. Seharusnya memang kegiatan yang mencakup interaksi antara pendis dan non pendis sehingga terjadi keselarasan. karena, terkadang, non pendispun belum mengetahui bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan pendis. Sedih juga, karena banyak orang yang saat ini masih memandang pendis sebelah mata. Entah karena mereka belum tau sebenarnya semua orang dapat melakukan hal yang sama walau dengan cara yang berbeda, atau karena yang lain. Semangat ya kaka Moel. keren tulisannya.

    • untuk berinteraksi dengan penyandang disabilitas sebetulnya tidak perlu dilihat sebagai sesuatu yang rumit dan butuh cara-cara tertentu. Pernah ada tayangan video mengenai sekelompok anak yang terdiri penyandang disabilitas dan non-disabilitas. Dalam satu lokasi yang sama, buktinya mereka dapat bermain dan berinteraksi bersama-sama .Padahal tidak ada pelatihan terlebih dahulu. Itu membuktikan bahwa tak perlu cara khusus, hanya cara pandang yang diperlukan. Bagaimana memandang penyandang disabilitas juga manusia yang sama dengan masyarakat pada umumnya, tak perlu takut menyinggung, cukup tanyakan apa yang mereka butuhkan dan cara seperti apa yang nyaman buat mereka. beres.

  3. amin.. amin.. amin.. semoga apa yang bersama kita lakukan di Kartunet ini istiqomah dan selalu diberi kemudahan agar lebih berkembang dan memberikan manfaat.. Terima kasih ya mbak Moel sudah menulis di Kartunet. Ditunggu tulisan-tulisan lainnya. Rajin-rajin aja buka-buka Kartunet 🙂

    • thanks ya uda mau baca tulisan yang alakadarnya ini.. eeemm, saya jadi sedih lagi nih, jadi terasa teriris hati ini baca komen mba Tyaseta yang sepertinya sangat membara. Sabar ya mba, maksudnya terima perkataan mereka dengan lapang namun juga melakukan aksi yang dapat membuka hati dan pikiran mereka.
      mungkin seharusnya kami yang non pendis mencari tahu bagaimana berinteraksi dengan pendis dan dari pihak keluarga pendis harusnya tidak malu atau sungkan memperkenalkan anaknya. jadi tetap ada interaksi diantara kita.

      • iya sangat membara,

        iya makasih,

        iya selalu saya terima dalam keadaan diam dan menunjukkannya ke hal yang lain, tapi jujur, aku malah lari sebenernya dengan menjadi relawan, dan ini akupun dibatasi karena dibilang aneh dan stigma negatif lainnya.

        meskipun sakit hati begitu, aku cuma bisa nanggung ini sendirian, nangis, dan berserah sama Tuhan.

        bukan hanya jadi relawan, menulis juga dijadikan pelarian buatku.

        setidaknya ini suatu kegiatan yang positif daripada melakukan yang melanggar norma/aturan sosial.
        aku pernah loh ditawari bir, tapi aku tolak, aku masi inget agama dan dampaknya.

        betul banget itu seharusnya yang non pendis mencari tahu bagaimana berinteraksi dengan pendis.
        Jadi, bisa terjadi komunikasi dan interaksi dengan baik tanpa adanya penilaian atau stigma negatif yang membentengi dan bikin gep atau tertawa di atas penderitaan difabel itu. setiap difabel punya keterbatasan dan kemampuannya sendiri.

        hanya saja, apakah ada kesadaran untuk kesana?
        terkadang mereka juga melakukan mental blocking karena sudah merasa benar dalam menghadapi non pendis.

        by the way pendis itu akronim dari penderita disabilitas ya? maaf baru baca soalnya, eheheh..

        • makanya aku mendingan di luar deh, di komunitas, terutama di jaringan relawan deh….
          tapi,
          untuk berorganisasi aku juga dilarang gmn dong?
          bingung,
          justru organisasi bikin aku bawel, kasi masukan/kritik/ide, tempat enak buat banyak hal.
          soalnya juga dulu dikasi saran sama Psikolog si gitu, aku ini dulu pendiam banget loh,suram dah liat masa lalu….

      • sebetulnya kuncinya adalah penerimaan diri. Ketika seseorang sudahmau berdamai dengan segala kelebihan dan kekurangan dirinya, maka hambatan seperti apapun akan terasa lebih ringan. Sebab ia merasa bangga dengan dirinya sendiri dan tak peduli dengan cercaan dan hinaan, sebab ia selalu berfikir bahwa mereka belum tahu. Sama seperti strategi Rasulullah yang meski mendapat hinaan dan kekejamaman apapun dari masyarakat, ia tetap percaya pada keyakinannya dan berfikir positif bahwa mereka belum tahu. jadi tidak ada yang salah.

  4. Iyah….
    Sangat amat sangat menyakitkan
    *nahan tangis*
    Kenapa malah dibatasi? Mungkin maksudnya baik untuk melindungi, namun menurut saya itu reaksi yang berlebihan. Kenapa?

    Hello….disabilitas juga butuh komunikasi dengan orang lain, khususnya dengan orang normal. Sama kok sama orang normal yang butuh komunikasi ke sejenisnya.

    Justru, saat dibatasi komunikasi, akhirnya apa? semakin terbatas, semakin terkungkung, dan itu memperparah kondisinya secara kejiwaan.

    Kalau uda gitu siapa yang mau bertanggung jawab? Selalu yang dipersalahkan adalah si difabel alias disabilitas, kenapa dihadirkan? dan bisa apa, selalu, sering kali digituin, bikin sakit hati dan emosi.

Leave a Reply