Jakarta – Wacana Pendidikan Berbasis Hak seharusnya tidak menjadi hal baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Karena, sejak 2002 lalu Katarina Tomasevski telah mengangkat hal ini dalam makalahnya yang bertajuk Universalizing the Right to Education of Good Quality: A Rights-based Approach to Achieving Education for All dalam Workshop Regional UNESCO di Manila, Filipina. Dan, segala hal yang dikemukakan Tomasevski merupakan dasar universal dari pendidikan yang seharusnya dilaksanakan oleh seluruh negara di dunia. Pada artikel kali ini, kita akan mengenal secara umum apa yang dikemukakan oleh Tomasevski mengenai Pendidikan Berbasis Hak.
Pendidikan Berbasis Hak adalah satu dasar pelaksanaan pendidikan yang berasaskan hak-hak asasi manusia untuk mendapatkan pendidikan. Dalam pengantarnya, Tomasevski menyatakan bahwa pemenuhan hak atas pendidikan merupakan proses yang sedang berjalan, demikian juga dengan upaya penyatuan berbagai komitmen global untuk mencapai pendidikan untuk semua. Oleh karena itu, pelaksanaan Pendidikan Berbasis Hak merupakan langkah untuk mewujudkan pendidikan yang adil, kesamarataan pelayanan berdasarkan kebutuhan setiap peserta didik.
Untuk lebih mengukuhkan pelaksanaan Pendidikan Berbasis Hak, Tomasevski mengaitkan pemikiran ini dengan bidang hukum, yang mana setiap negara, termasuk Indonesia, menjadikan pendidikan sebagai hak setiap warga negaranya. Dalam hal ini, terdapat skema A4 sebagai acuan terwujudnya Pendidikan Berbasis Hak. Skema tersebut merupakan; Availability (ketersediaan), Accessibility (keterjangkauan), Acceptability (keberterimaan), dan Adaptability (kebersesuaian). Berdasarkan teks asli makalah yang disusun oleh Tomasevski, berikut ini adalah penjelasan mengenai Skema A4 yang menjadi acuan pelaksanaan Pendidikan Berbasis Hak.
Availability (ketersediaan), mengacu pada tiga macam kewajiban pemerintah yaitu: (1) pendidikan sebagai hak sipil dan politik mensyaratkan pemerintah untuk mengizinkan pendirian sekolah-sekolah yang menghargai kebebasan terhadap pendidikan dan dalam pendidikan; (2) pendidikan sebagai hak sosial dan ekonomi mensyaratkan pemerintah untuk menjamin pendidikan wajib dan tanpa biaya bagi anak usia sekolah; dan (3) pendidikan sebagai hak budaya mensyaratkan dihargainya keragaman, khususnya hak-hak bagi kelompok minoritas dan penduduk asli.
Hak Ketersediaan lebih menekankan pada adanya sarana dan fasilitas sekolah bagi berbagai macam murid. Mulai dari kondisi murid yang berketerbatasan secara finansial, fisik, hingga kelompok minoritas dalam masyarakat. Untuk murid disabilitas, bangunan sekolah yang disediakan hendaknya mampu menyediakan fasilitas yang memudahkan gerak para murid disabilitas tubuh, membantu penunjangan informasi disabilitas pengelihatan dengan fasilitas informasi suara dan braile, serta mempermudah penerimaan informasi disabilitas pendengaran menggunakan tulisan.
Accessibility (keterjangkauan), berarti pemerintah harus menghapuskan praktik-praktik diskriminasi jender dan rasial dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia secara merata, dan pemerintah tidak sekedar puas dengan hanya pelarangan diskriminasi secara formal. Keterjangkauan itu berkenaan dengan jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi; pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan wajib dan tanpa biaya bagi seluruh anak usia sekolah. Hak atas pendidikan seyogianya diwujudkan secara progresif agar pendidikan wajib dan tanpa biaya dapat dilaksanakan sesegera mungkin, dan mempermudah akses untuk melanjutkan pendidikan setelah wajib belajar.
Hak Keterjangkauan yang digagaskan Tomasevsky lebih menekankan pada keterjangkauan pendidikan oleh semua masyarakat guna mencapai wajib belajar dua belas tahun. Keterjangkauan ini mengarah pada aspek finansial, dimana setiap warga negara memiliki hak memperoleh pendidikan sekalipun berketerbatasan finansial. Demikian pula untuk murid-murid disabilitas, jika hak ini terlaksana tidak ada lagi alasan adanya seorang disabilitas yang tidak mengecap pendidikan karena ketidakmampuan untuk membiayai sekolah.
Acceptability (keberterimaan), mempersyaratkan penjaminan minimal mengenai mutu pendidikan, misalnya persyaratan kesehatan dan keselamatan atau profesionalisme bagi guru, tetapi cakupan yang sesungguhnya jauh lebih luas dari yang dicontohkan tersebut. Penjaminan tersebut harus ditetapkan, dimonitor, dan dipertegas oleh pemerintah melalui sistem pendidikan, baik pada institusi pemerintah maupun swasta.
Keberterimaan dapat diperluas melalui pemberdayaan peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia; penduduk asli dan mintoritas berhak memprioritaskan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Sementara itu, pelarangan terhadap hukuman fisik harus dilakukan dengan mengubah metode-metode pembelajaran dan penerapan disiplin sekolah. Persepsi yang muncul tentang anak-anak sebagai subjek yang berhak atas pendidikan dan berhak dalam pendidikan telah diperluas batasannya dalam hal keberterimaannya yang mencakup isi kurikulum dan buku pelajaran, yang sekarang ini lebih dipertimbangkan dalam perspektif hak asasi manusia.
Hak Keberterimaan menuntut praktisi pendidikan dan masyarakat luas untuk membuka jalan bagi murid-murid disabilitas. Keberterimaan ini bisa terleksana jika dua hak pertama, Hak Ketersediaan dan Hak Keterjangkauan terpenuhi. Keberterimaan murid disabilitas bisa diwujudkan melalui program inklusi di seluruh jenjang pendidikan dan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan yang ada di antara murid bukanlah sebuah penghalang terlaksananya pendidikan. Justru, perbedaan antar murid dapat menjadi keberagaman dan mempererat persaudaraan antar murid.
Adaptability (kebersesuaian), mempersyaratkan sekolah untuk tanggap terhadap kebutuhan setiap anak, agar tetap sesuai dengan Konvensi tentang Hak-hak Anak. Hal ini mengubah pendekatan tradisional, yakni sekolah yang mengharapkan bahwa anak-anaklah yang harus dapat menyesuaikan terhadap berbagai bentuk pendidikan yang diberikan kepada mereka. Karena HAM tidak berdiri sendiri, kesesuaian menjamin diterapkannya hak asasi manusia dalam pendidikan dan memberdayakan HAM tersebut melalui pendidikan. Hal ini memerlukan analisis lintas sektoral atas dampak pendidikan terhadap hak asasi manusia, misalnya, memonitor tersedianya pekerjaan bagi lulusan dengan cara melakukan perencanaan terpadu antarsektor terkait.
Hak Kebersesuaian merupakan hak lanjutan dari tiga hak pertama dalam Pendidikan Berbasis Hak. Hak ini menuntut adanya penyesuaian berkelanjutan dari sekolah atas kebutuhan murid-muridnya. Dalam penerapannya, Hak Kebersesuaian menciptakan tradisi dimana bukan murid yang harus menyesuaikan diri dengan sekolah, melainkan sekolahlah yang harus menyesuaikan dirinya dengan keadaan murid-muridnya. Dengan demikian, melalui pendidikan Hak Berkesesuaian para murid yang tadinya bukan seorang disabilitas dan karena satu hal menjadi disabilitas, misalnya karena kecelakaan harus menggunakan kursi roda selama hidupnya, tidak harus pindah sekolah untuk menyesuaikan kebutuhannya yang baru, sekolahlah yang harus menyesuaikan sarana dan fasilitasnya untuk memenuhi kebutuhan ruang gerak yang lebih terjangkau untu k murid berkursi roda ini.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hak-hak atas pendidikan pada prinsipnya melibatkan tiga pelaku utama; pemerintah sebagai pengada dan/atau badan penyandang dana untuk sekolah-sekolah negeri; anak-anak sebagai pemegang hak-hak atas pendidikan dan terkait dengan syarat-syarat wajib belajar; dan orang tua anak yang sesungguhnya adalah “pendidik pertama.”
Keberadan tiga pelaku pendidikan ini seharusnya dapat bersinergi guna mencapai pendidikan yang sesuai dengan hak-hak anak. Dengan kata lain, kerja sama antar pihak merupakan satu kunci kesuksesan pendidikan suatu negara di luar dari segala teori yang ada. Dengan demikian, Pendidikan Berbasis Hak sebagai landasan guna mencapai pendidikan yang merata dan sesuai hak anak adalah pendidikan yang mampu bertindak secara adil kepada setiap pelaku pendidikan. Terakhir, yang perlu ditekankan adalah bahwa penerapan keadilan bukanlah kesamaan kuantitatif. Keadilan dalam pendidikan yang berbasis hak adalah kesamaan pelayanan pendidikan sesuai dengan hak-hak anak yang bersangkutan, entah itu terhadap anak pada umumnya maupun pada anak berkebutuhan khusus.
Wacana Pendidikan Berbasis Hak seharusnya tidak menjadi hal baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Karena, sejak 2002 lalu Katarina Tomasevski telah mengangkat hal ini dalam makalahnya yang bertajuk Universalizing the Right to Education of Good Quality: A Rights-based Approach to Achieving Education for All dalam Workshop Regional UNESCO di Manila, Filipina. Dan, segala hal yang dikemukakan Tomasevski merupakan dasar universal dari pendidikan yang seharusnya dilaksanakan oleh seluruh negara di dunia. Pada artikel kali ini, kita akan mengenal secara umum apa yang dikemukakan oleh Tomasevski mengenai Pendidikan Berbasis Hak.
Pendidikan Berbasis Hak adalah satu dasar pelaksanaan pendidikan yang berasaskan hak-hak asasi manusia untuk mendapatkan pendidikan. Dalam pengantarnya, Tomasevski menyatakan bahwa pemenuhan hak atas pendidikan merupakan proses yang sedang berjalan, demikian juga dengan upaya penyatuan berbagai komitmen global untuk mencapai pendidikan untuk semua. Oleh karena itu, pelaksanaan Pendidikan Berbasis Hak merupakan langkah untuk mewujudkan pendidikan yang adil, kesamarataan pelayanan berdasarkan kebutuhan setiap peserta didik.
Untuk lebih mengukuhkan pelaksanaan Pendidikan Berbasis Hak, Tomasevski mengaitkan pemikiran ini dengan bidang hukum, yang mana setiap negara, termasuk Indonesia, menjadikan pendidikan sebagai hak setiap warga negaranya. Dalam hal ini, terdapat skema A4 sebagai acuan terwujudnya Pendidikan Berbasis Hak. Skema tersebut merupakan; Availability (ketersediaan), Accessibility (keterjangkauan), Acceptability (keberterimaan), dan Adaptability (kebersesuaian). Berdasarkan teks asli makalah yang disusun oleh Tomasevski, berikut ini adalah penjelasan mengenai Skema A4 yang menjadi acuan pelaksanaan Pendidikan Berbasis Hak.
Availability (ketersediaan), mengacu pada tiga macam kewajiban pemerintah yaitu: (1) pendidikan sebagai hak sipil dan politik mensyaratkan pemerintah untuk mengizinkan pendirian sekolah-sekolah yang menghargai kebebasan terhadap pendidikan dan dalam pendidikan; (2) pendidikan sebagai hak sosial dan ekonomi mensyaratkan pemerintah untuk menjamin pendidikan wajib dan tanpa biaya bagi anak usia sekolah; dan (3) pendidikan sebagai hak budaya mensyaratkan dihargainya keragaman, khususnya hak-hak bagi kelompok minoritas dan penduduk asli.
Accessibility (keterjangkauan), berarti pemerintah harus menghapuskan praktik-praktik diskriminasi jender dan rasial dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia secara merata, dan pemerintah tidak sekedar puas dengan hanya pelarangan diskriminasi secara formal. Keterjangkauan itu berkenaan dengan jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi; pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan wajib dan tanpa biaya bagi seluruh anak usia sekolah. Hak atas pendidikan seyogianya diwujudkan secara progresif agar pendidikan wajib dan tanpa biaya dapat dilaksanakan sesegera mungkin, dan mempermudah akses untuk melanjutkan pendidikan setelah wajib belajar.
Acceptability (keberterimaan), mempersyaratkan penjaminan minimal mengenai mutu pendidikan, misalnya persyaratan kesehatan dan keselamatan atau profesionalisme bagi guru, tetapi cakupan yang sesungguhnya jauh lebih luas dari yang dicontohkan tersebut. Penjaminan tersebut harus ditetapkan, dimonitor dan dipertegas oleh pemerintah melalui sistem pendidikan, baik pada institusi pemerintah maupun swasta.
Keberterimaan dapat diperluas melalui pemberdayaan peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia; penduduk asli dan mintoritas berhak memprioritaskan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Sementara itu, pelarangan terhadap hukuman fisik harus dilakukan dengan mengubah metode-metode pembelajaran dan penerapan disiplin sekolah. Persepsi yang muncul tentang anak-anak sebagai subjek yang berhak atas pendidikan dan berhak dalam pendidikan telah diperluas batasannya dalam hal keberterimaannya yang mencakup isi kurikulum dan buku pelajaran, yang sekarang ini lebih dipertimbangkan dalam perspektif hak asasi manusia.
Adaptability (kebersesuaian), mempersyaratkan sekolah untuk tanggap terhadap kebutuhan setiap anak, agar tetap sesuai dengan Konvensi tentang Hak-hak Anak. Hal ini mengubah pendekatan tradisional, yakni sekolah yang mengharapkan bahwa anak-anaklah yang harus dapat menyesuaikan terhadap berbagai bentuk pendidikan yang diberikan kepada mereka. Karena HAM tidak berdiri sendiri, kesesuaian menjamin diterapkannya hak asasi manusia dalam pendidikan dan memberdayakan HAM tersebut melalui pendidikan. Hal ini memerlukan analisis lintas sektoral atas dampak pendidikan terhadap hak asasi manusia, misalnya, memonitor tersedianya pekerjaan bagi lulusan dengan cara melakukan perencanaan terpadu antarsektor terkait.
Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa hak-hak atas pendidikan pada prinsipnya melibatkan tiga pelaku utama; pemerintah sebagai pengada dan/atau badan penyandang dana untuk sekolah-sekolah negeri; anak-anak sebagai pemegang hak-hak atas pendidikan dan terkait dengan syarat-syarat wajib belajar; dan orang tua anak yang sesungguhnya adalah “pendidik pertama.”
Kerja sama tiga pelaku pendidikan ini seharusnya dapat bersinergi guna mencapai pendidikan yang sesuai dengan hak-hak anak. Dengan kata lain, kerja sama antar pihak merupakan satu kunci kesuksesan pendidikan suatu negara di luar ari segala teori yang yang ada. Dengan demikian, Pendidikan Berbasis Hak sebagai landasan guna mencapai pendidikan yang merata dan sesuai ahak anak adalah pendidikan yang mampu bertindak secara adil kepada setiap pelaku pendidikan. Terakhir, yang perlu ditekankan adalah bahwa penerapan keadilam bukanlah kesamaan kuantitatif. Keadilan dalam pendidikan yang berbasis hak adalah kesamaan pelayanan pendidikan sesuai dengan hak-hak anak yang bersangkutan, entah itu terhadap anak pada umumnya maupun anak berkebutuhan khusus.(Nir)