Topik diskriminasi Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014 pada penyandang disabilitas masih memanas. Hari ini komunitas disabilitas mengancam Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI akan melakukan somasi apabila persyaratan yang dinilai diskriminatif pada beberapa jurusan dalam SNMPTN 2014 tidak dicabut. Namun di luar itu semua, terungkapnya kasus ini hanyalah puncak gunung es yang dialami oleh penyandang disabilitas yang dilakukan oleh negara selama ini.
Apabila ingin dirunut dari berpuluh tahun yang lalu, sistem segregatif dalam pendidikan antara anak yang dikatakan “normal” dengan yang berkebutuhan khusus dalam institusi yang berbeda, sudah sebuah perlakuan diskriminatif. Kebijakan mengkhususkan pendidikan bagi mereka dalam Sekolah-Sekolah Luar Biasa (SLB) dan juga panti-panti sosial, membuat penyandang disabilitas makin terpisah dengan masyarakat. Dampaknya, mereka seakan dianggap manusia lain dan muncullah persepsi normal dan tidak normal.
Lalu di era pendidikan inklusif, masih ditemui pihak sekolah yang menolak seorang anak berkebutuhan khusus yang ingin mendaftar di sekolah umum hanya karena alasan kedisabilitasannya. Seakan ada persepsi dalam benak beberapa pendidik bahwa penyandang disabilitas itu punya kekurangan, dan kekurangan tersebut akan jadi penghalang pada saat kegiatan belajar-mengajar. Fenomena ini sangat ironis ketika terjadi di lingkungan pendidikan. Sebab kewajiban seorang pendidik adalah mencerdaskan anak bangsa tanpa terkecuali. Berbagai kebutuhan khusus yang ada pada diri siswa, sepatutnya tidak dipandang sebagai penghalang, tetapi tantangan bagi pendidik untuk mencari solusi dan belajar kembali.
Alasank lasik yang biasa digunakan untuk menolak siswa berkebutuhan khusus di sekolah umum adalah fasilitas. Mereka akan mengatakan bahwa sekolah kami belum siap untuk menerima anak berkebutuhan khusus dan disarankan untuk masuk SLB atau sekolah lain yang sudah pernah menerima sebelumnya. Padahal mengajar siswa berkebutuhan khusus itu tidaklah sulit jika pendidik memiliki kreativitas dan kecerdasan untuk memecahkan masalah. Banyak alat bantu sederhana yang dapat digunakan disekitar dalam proses transfer knowledge dan komuniksi dengan siswa berkebutuhan khusus.
Lantas segala hal tersebut bermuara pada output dari sistem pendidikan yaitu di lapangan kerja dan usaha. Tak kurang kasus-kasus penolakan pihak perusahaan kepada pelamar kerja yang meiliki disabilitas. Alasannya tak jauh beda, yakni soal fasilitas pendukung dan kemampuan yang dianggap tidak mumpuni. Image yang ada tak lepas dari andil negara dalam memperlakukan penyandang disabilitas. Masyarakat beranggapan bahwa tunanetra itu hanya mampu menjadi tukang pijat atau pengengis. Sedangkan tunadaksa hanya duduk di kamarnya dan membuat prakarya. Semua hal itu bentuk pelatihan keterampilan yang diberikan dalam panti-panti milik negara. Padahal mereka juga punya potensi yang sama dengan manusia lainnya, hanya perlu diberi kesempatan dan sarana yang sesuai.
Mungkin apabila yang melakukan diskriminasi hanya perusahaan swasta, hal tersebut masih dapat dipahami karena kekurang-tahuan meski sudah ada UU no 4 tahun 1997 yang mewajibkan 1 dari 100 karyawan perusahaan BUMN dan swasta adalah penyandang disabilitas. Negara seakan tidak memberikan teladan pada institusi-institusinya dengan ikut mengakomodasi penyandang disabilitas dalam jajarannya. Setiap seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), kerap kali ditemui persyaratan bahwa calon peserta tidak boleh buta, tuli, pincang, atau minimal buta warna. Bayangkan saja bagaimana bangsa ini mau jadi masyarakat yang inklusif apabila negara saja tidak memberikan contoh ideal.
Belakangan, memang sudah ada kebijakan untuk memberi kuota sejumlah penyandang disabilitas yang dapat diterima di seleksi CPNS. Akan tetapi, persepsi bahwa penyandang disabilitas itu orang cacat yang punya kekurangan dan kemungkinan hanya akan merepotkan, masih terlihat jelas. Misal pada CPNS Pemprov DKI Jakarta 2013, ada beberapa jatah untuk pelamar dengan disabilitas. Akan tetapi kuota tersebut dibatasi dengan ketentuan bahwa mereka dialokasikan pada posisi tertentu, dan posisi tersebut sudah ditentukan pula jenis disabilitas apa yang boleh masuk. Layaknya sebuah affirmative action yang setengah hati dan belum paham benar bahwa penyandang disabilitas saat ini sudah banyak yang lulus dari perguruan tinggi berbagai jurusan, dan kemampuan mereka dapat bersaing dengan sesama sarjana di posisi yang sama.
Dengan kata lain, persoalan SNMPTN 2014 yang sedang mencuat beberapa hari terakhir ini hanya buih dari lautan diskriminasi yang masih dialami penyandang disabilitas. Mungkin aturan-aturan tersebut dilakukan atas dasar iba dan belas kasihan, tapi niat baik yang tak tepat, maka tidak akan benar pula hasilnya. Coba mulailah untuk lihat penyandang disabilitas sebagai manusia yang utuh, memiliki akal sehat dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya. Mari kedepankan dialog dan komunikasi, agar negara juga tahu bahwa dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan saat ini, penyandang disabilitas dapat berdaya. Gempur diskriminasi, hingga ke dasar-dasarnya.(DPM)
Imbauan untuk semua adalah setelah kebijakan mengenai SNMPTN ini diubah, harus tetap waspada dan bergerak sebab ini hanya puncak dari sebuah gunung es. Masih banyak ketidak-adilan yang lainnya yang perlu untuk dihancurkan.
Iya betul,
Kebetulan,
saya juga kemarin sempet baca koran (namanya diRAHASIAkan),
masa ada tulisan kalau disabilitas mental dilarang berpendidikan,
padahal kan perlu itu
kalau pasif saja malah jadi memperparah kondisinya dan makin psikososial
Semoga semua kekurang-adilan ini hancur semua yaa,
amiin…
Sedikit tambahan lagi semua partai juga ikut bergerak,
mereka menghimpun di suatu acara,
biarlah semua sejalan beriringan,
namun,
tetaplah konsisten dengan koridornya masing-masing yang saya sendiri masih banyak kurang tahu, dan belum saling mengenal,
masih banyak gep
yang hanya Tuhan mengetahuinya, semoga diizinkan
Mohon maaf, atas kekurangsopanan saya,
saya bukanlah siapa-siapa dan hanyalah anak kecil eheh..
60 tahun Indonesia merdeka. Tapi undang-undang penyandang cacat baru ada tahun 1997. Tidak ada undang-undang penyandang cacat tahun 1960, , 1970, dan 1980.
Iya Indonesia itu memang lamban dalam buat UU. Bukan hanya untuk penyandang cacat, yang lainnya juga, yang na’asnya masih terjadi hingga kondisi saat kini. Kurang mengerti kenapa. Apa yang menjadi permasalahannya, apa jalan keluarnya. Menarik….
Mungkin saja iya Dim. Kalau lihat sejarahnya, Belanda mendirikan Wyata Guna bertujuan untuk menampung tunanetra. Bukan untuk dididik. Memang benar. Banyak sekolah yang ingin menjadi sekolah inklusi. Hanya pingin uangnya aja. Dan sekolah bonafit nggak akan tertarik untuk jadi sekolah inklusi.
Kalo secara kultural, bangsa Indonesia itu bangsa komunal. Lebih mudah mencontoh dan menjadi followers daripada harus berfikir sendiri dan berinisiatif atau paling tidak kesadaran. yangjelas, bangsa ini kurang teladan baik. para pejabat dan pemimpinnya malah membeirkan contoh2 buruk egois.
Kalaumelihat sejarah berdiri wyata Guna, Belanda menjadikan itu sebagai tempat penampungan tunanetra, bukankarena ingin menyetarakan.
Nasib abk saat ini seperti bola. Di slb mereka tak mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Sementara mau bersekolah umum, mereka juga takut ditolak.
Pendidikan inklusi baru bisa diterapkan kalau pengetahuan tentang pendidikan inklusi sudah diberikan di sekolah-sekolah keguruan.Selama pendidikan inklusi hanya menjadi proyek jangan harap bisa berhasil. Dan sekolah yang mau menerimaABK harus diberi penghargaan. Dan yang menolak diberi sanksi.
ada isu juga bahwa menjadi sekolah inklusif semacam hal yang diperebutkan oleh pihak sekolah. Itu bukan karena komitmen untuk mengakomodasi kebutuhan siswa2 ABK, tapi agar dapat proyek dana dari Kemdikbud yang jumlahnya lumayan besar. Tapi kadang penggunaannya disalahgunakan.
Betul
Malu sama Vietnam. Vietnambaru berkembang, tapi kebijakannya terhadap para disabilitas sangat jelas. Vietnam lebih mengutamakan pendidikan inklusi daripada segregasi. Di kamboja tak ada slb. Semuanya inklusi. Sejak awal kemerdekaan pemerintah kita memang tak pernah meimikirkan disabilitas.
apa ada pengaruh dari kebijakan Belanda zaman dulu? Pemerintah kita saat ini kan notabenya hanya semacam jadi “penerus” pemerintah kolonial. Banyak ketidak-puasan di luar Jawa dan kelompok2 minoritas lainnya.
Mungkin ada, selain kebijakan Belanda, rasanya bercampur dengan kebijakan Jepang. Tradisi kita dari dulu seolah tiada terangkat. Mungkin.