Hai hai hai kartuneters! Sebelum mulai menulis, salam kenal dulu ya buat kartuneters yang baru pertama kali ini baca tulisan Saya. Maklum, selama bertahun-tahun punya account di kartunet.com, kayaknya baru pernah post atau ngasih komentar beberapa kali aja deh. 😛
Jadi, kali ini Saya mau menulis sedikit pendapat dan pandangan yang mungkin benar, tapi mungkin juga salah. Karena ini opini pribadi, jadi tolong jangan digeneralisasi sebagai pendapat semua teman-teman disabilitas yaaa. Kalo ada yang setuju atau nggak setuju, ayo kita sama-sama berdiskusi dengan cara yang santun.
Ok deh, langsung aja yaaa. Kartuneters, terutama yang merupakan penyandang disabilitas pastinya tau kan isu apa yang beberapa hari ini sedang hangat menjadi bahan pembicaraan dan advokasi di kalangan teman-teman disabilitas? Betul! Isu yang Saya maksud adalah soal beberapa persyaratan yang ditetapkan oleh beberapa jurusan atau program studi yang dianggap diskriminatif dan dicantumkan pula di dalam website resmi SNMPTN di www.snmptn.ac.id.
Jadi, beberapa hari lalu, tepatnya hari Kamis, 6 Maret 2014, untuk pertama kalinya Saya mendapat informasi tentang persyaratan yang ‘diskriminatif’ ini. Saya juga diajak untuk ikut menghadiri pertemuan untuk menyampaikan tuntutan penyandang disabilitas berkaitan dengan persoalan ini ke komnas HAM. Pertemuan ini diinisiasi oleh berbagai organisasi disabilitas. Akhirnya, Saya memutuskan untuk hadir ke pertemuan tersebut karena ingin mengetahui persoalan ini secara lebih jelas.
Sebenarnya ssejak membaca beberapa postingan, broadcast message, dan beberapa bentuk ajakan melalui pesan-pesan untuk menghadiri pertemuan di Komnas HAM, Saya agak heran sih. Karena hamper semua isi pesannya menyatakan bahwa tindakan diskriminatif ini dilakukan oleh Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Airlangga. Padahal, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) ini kan mencantumkan kata ‘nasional’, ya berarti secara logika saja pasti skalanya nasional dong. Terus, kenapa yang dianggap diskriminatif hanya 2 universitas itu yaaaa? Dan soal jurusan atau program studi yang menetapkan syarat tambahan seperti tidak tunanetra itu sebenarnya sejak saya mendaftar seleksi masuk universitas di tahun 2009 juga sudah ada kok, Cuma kalimatnya nggak se-eksplisit ini. Tapiiiii, berhubung waktu itu Saya belum sempat baca persyaratan itu secara lengkap dan masih takut salah membuat kesimpulan, akhirnya Saya putuskan untuk tetap datang ke Komnas HAM dan nggak berkomentar apa-apa dulu selama pertemuan dengan staff Komnas HAM.
Sejujurnya, ada beberapa hal yang agak membuat Saya nggak sependapat sih dari apa yang disampaikan oleh beberapa orang di pertemuan itu. Walaupun banyak juga kok hal dan pernyataan lain yang Saya setujui. Tapi, lagi-lagi Saya mau mengingatkan nih, pendapat ini Cuma pendapat probadi lho. Misalnya soal tuntutan agar rector dari kedua universitas yang dianggap melakukan tindakan diskriminatif ini mundur. Ya, ini memang implikasi dari anggapan bahwa kedua universitas itu melakukan tindak diskriminasi sih. Kalo semua universitas negeri di Indonesia yang notabene adalah bagian dari seleksi nasional ini dianggap diskriminatif, pasti yang diminta mundur juga semua rektornya sih. Lalu Saya juga mendengar ada beberapa persoalan yang nggak berkaitan langsung dengan persoalan ini juga disampaikan dan diminta untuk ditindaklanjuti juga oleh Komnas HAM, bukan apa-apa sih, kalo semua disampaikan pada saat yang bersamaan, jadi kurang focus aja. Dan ketika ada pernyataan bahwa komnas HAM seolah-olah nggak bisa berbuat lebih dari sekedar memberikan rekomendasi kepada pihak terkait, hmmmmm, Saya jadi kayak mau membela Komnas HAM gitu, yak arena kewenangan yang ditetapkan oleh undang-undang yang membentuknya dan juga aturan-aturan lainnya memang Cuma sebatas itu. Tapi, itu nggak perlu sih dibahas di sini. Jadi, ayo kembali ke topic awal lagi. J
Kebetulan Saya mendapat kesempatan untuk menyampaikan pendapat di dalam pertemuan itu. Saya nggak berkomentar tentang persyaratan itu sih. Saya Cuma memceritakan pengalaman pribadi Saya yang mungkin bisa jadi bahan perbandingan. Ketika Saya mendaftar seleksi masuk (simak) UI di tahun 2009, *udah lama juga yaaa*, Ketua panitia simak melarang Saya mengikuti seleksi masuk yang diselenggarakan secara mandiri oleh UI untuk pertama kalinya itu. Katanya, untuk disabilitas sudah disiapkan kok semua sarananya untuk mengikuti tes melalui SNMPTN. SNMPTN tahun 2009 beda banget lho ya sama SNMPTN 2014. Dulu justru kuota dari SNMPTN itu yang terkecil dibanding beberapa jalur masuk lainnya untuk UI. Dan perasaan Saya, nggak bisa digambarkan deh gimana kaget, sedih, kecewa, dan banyak lagi. Gimana enggak, waktu itu kuota terbesar untuk masuk UI ya melalui jalur simak, dan kalo Saya nggak boleh ikut, berarti peluang Saya untuk bisa menjadi mahasiswa UI akan semakin kecil dong! Yang ada dipikiran Saya waktu itu tuh “ngerjain soal try out aja udah susah payah, nilai try out untuk seleksi masuk universitas juga nggak bagus-bagus banget, eh, malah harus ikut seleksi yang kuotanya paling kecil.” Secara matematis sih peluang diterimanya juga makin keciiiil dan sempat membuat Saya down juga, terus jadi agak males belajar karena udah pesimis duluan. Akhirnya Saya memutuskan untuk bertanya langsung ke panitia simak UI, kalo nggak salah langsung ke ketuanya deh. Setelah menjelaskan keadaan Saya dan menyampaikan keluhan Saya, ternyata apa jawabannya? Mengejutkan saudara! *maaf lebai*. Katanya seluruh proses pendaftaran simak itu dilakukan secara online dan harus dilakukan sendiri, dan data pendaftaran yang sudah masuk itu nggak boleh salah, sedangkan tunanetra pasti kesulitan untuk melakukan pendaftaran secara online. Berbeda dengan SNMPTN yang pada saat itu masih dilakukan secara manual, kalo nggak salah sih dibantu oleh pihak sekolah masing-masing gitu deh. Terus, setelah mulai menemukan titik terang, Saya menjelaskan kalo sekarang itu ada teknologi screen reader yang bisa membuat tunanetra mampu mengakses internet, computer, maupun hp secara mandiri. Jadi, soal pendaftaran online itu bukan masalah sama sekali, *kecuali kalo pas proses pendaftaran ternyata internet lagi ada gangguan atau kuota internet pas habis ya* hahahaha. Setelah memperoleh penjelasan itu, akhirnya panitia simak mengizinkan Saya ikut simak kok, dan proses selanjutnya justru nggak ada kesulitan sama sekali. Jadi, buat yang belum menemukan apa inti dari cerita panjang dan nggak penting itu, Saya Cuma mau menjelaskan kalo setiap hal itu bisa dilihat dari dua sisi. Dilihat dari apa yang Saya alami itu, pasti yang pertama terlintas jelas ‘itu tindakan diskriminatif’. Tapi ada baiknya juga, kita mengklarifikasi dulu apa sebenarnya alasan pembuat kebijakan menetapkan aturan tersebut. Toh setelah dijelaskan, semua bisa terselesaikan dengan baik dan nggak ada pihak yang dirugikan kan? Itu sih alasan kenapa Saya menceritakan pengalaman itu dalam pertemuan dengan Komnas HAM. Supaya ada bahan perbandingan.
Setelah menyampaikan aspirasi selama beberapa jam dan ditutup dengan makan siang, Kami semua membubarkan diri dengan tertib, hehehe. Sempat sih ada pembicaraan tentang apa tindakan-tindakan berikutnya yang akan dilakukan setelah upaya mengadukan persoalan ini ke Komnas HAM. Tapi bukan itu yang mau Saya bahas. Setelah beberapa jam, Saya mulai membaca status-status beberapa teman di social media, dan ada juga tulisan opini di kartunet.com. Intinya ada beberapa tulisan yang menganggap bahwa persyaratan ini akan membuat teman-teman disabilitas menjadi tidak mempunyai kesempatan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dan seperti benar-benar menyalahkan pemerintah. Akhirnya Saya langsung berusaha mencari tahu informasi lengkap tentang persyaratan ini di situs resmi SNMPTN. Setelah membaca, Saya menyimpulkan kalo sumber polemik berasal dari bagian daftar perguruan tinggi dan program studi yang ditawarkan. Setiap jurusan/program studi itu mencantumkan daya tamping, persyaratan, dan portofolio. Persyaratan itu ditandai dengan kode, dari angka 1 sampai 7. Di bagian akhir, terdapat penjelasan tentang keterangan dari masing-masing kode. Bagi yang belum tau, ini keterangan dari masing-masing kode itu.
- Tidak tuna netra;
- Tidak tuna rungu;
- Tidak tuna wicara;
- Tidak tuna daksa;
- Tidak buta warna keseluruhan, boleh buta warna sebagian;
- Tidak buta warna keseluruhan maupun sebagian; dan
- Lihat persyaratan khusus di website PTN.
Jadi, itu adalah keterangan dari masing-masing kode, bukan persyaratan untuk semua program studi yang dibuka. Misalnya untuk rumpun IPS di UI, dari 32 program studi yang ditawarkan, hanya jurusan ilmu psikologi yang menerapkan persyaratan dengan kode 1, 2, dan 3. Sedangkan untuk rumpun IPA di UI, dari 26 program studi yang ditawarkan, ternyata jurusan gizi, kesehatan lingkungan, dan ilmu kesehatan masyarakat bahkan nggak menetapkan satupun persyaratan dari 7 kode itu. Jadi, bukan semua jurusan menetapkan persyaratan yang diskriminatif itu dan kalopun ada persyaratan, ketujuhnya bukan menjadi satu kesatuan.
Memang sih, ada juga persyaratan di beberapa program studi terutama rumpun IPA, yang menurut Saya diskriminatif untuk teman-teman tunarungu, tunawicara, maupun tunadaksa. Misalnya jurusan arsitektur dan arsitektur interior, salah satu kodenya adalah angka 2, yaitu tidak tuna rungu. Kemudian jurusan biologi, fisika, kimia, matematika, farmasi, dan geografi, beberapa persyaratannya berkode 2, 3, dan 4. Lalu untuk jurusan-jurusan teknik, juga ada persyaratan yang salah satunya berkode angka 2. Bisa dibaca di https://web.snmptn.ac.id/ptn/31
Setelah membaca persyaratan program studi di UI, Saya jadi penasaran mau tau apa universitas selain UI dan Unair juga menetapkan persyaratan semacam itu. Ternyata, sama juga kok. Salah satu yang Saya baca dengan lengkap adalah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Kalo di sini, ada juga keanehan yang Saya temukan. Saya agak bingung sih, untuk beberapa program studi di bidang pendidikan, bahkan yang sama-sama pendidikan bahasa, kenapa syaratnya bisa beda ya? Saya bukan kuliah di jurusan pendidikan atau sastra sih, jadi maaf ya kalo salah. Jadi contohnya untuk pendidikan bahasa inggris, ada kode 1, 2, 3, dan 4. Sementara untuk pendidikan bahasa jepang, jerman, perancis, serta bahasa dan sastra Indonesia, ada kode 1, 2, 3, 4, dan 6. Lalu untuk beberapa jurusan nonpendidikan seperti akuntansi, bahasa dan sastra Indonesia, bahasa dan sastra inggris, ilmu ekonomi dan keuangan islam, serta ilmu komunikasi yang ada di UI maupun UPI, syaratnya juga bisa berbeda. Di UI nggak ada syarat apapun, sedangkan di UPI ada beberapa kode yang dicantumkan. Lalu ada beberapa jurusan yang menetapkan persyaratan yang menurut Saya juga nggak relevan dengan kedisabilitasan. Dari sekian banyak jurusan di UPI, yang nggak menetapkan syarat apapun hanya pendidikan luar biasa. Padahal, banyak kok teman-teman disabilitas yang telah maupun sedang menempuh perkuliahan di jurusan lain seperti pendidikan seni musik, pendidikan bahasa dan sastra inggris, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, pendidikan luar sekolah, dan beberapa jurusan lainnya.
Dari semua penjelasan panjang tadi, sebenarnya ada beberapa hal yang mau Saya sampaikan. Pertama, nggak semua program studi menetapkan persyaratan semacam itu, jadi sebaiknya jangan menjeneralisasi bahwa persyaratan itu merupakan upaya membuat penyandang disabilitas tidak dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Kedua, sebaiknya jangan hanya menyalahkan beberapa universitas berkaitan dengan adanya persyaratan ini. Karena sifatnya nasional, jadi tentunya kebijakan ini juga terdapat di semua perguruan tinggi negeri. *Saya bilang begini bukan karena UI adalah almamater Saya lho*, karena beberapa persyaratan untuk program studi tertentu di UI juga menurut Saya diskriminatif kok, seperti yang sudah Saya jelaskan sebelumnya. Ketiga, untuk tuntutan agar persyaratan ini dihapus, jangan hanya menuntut untuk dihapus dari persyaratan SNMPTN, perlu diingat, jalur seleksi masuk universitas negeri tuh bukan hanya melalui SNMPTN, yang merupakan jalur tanpa tes ini. Masih banyak seleksi-seleksi lainnya yang mungkin juga menetapkan persyaratan yang diskriminatif. Keempat, untuk persyaratan-persyaratan yang dinilai diskriminatif, sebaiknya dikomunikasikan terlebih dahulu kepada penmuat aturannya. Supaya semua jelas, dan nggak ada kesalahpahaman. Siapa tau kan mereka nggak punya niat mendiskriminasi, hanya karena ketidaktahuan mereka tentang disabilitas, makanya mereka membuat aturan semacam itu. Terakhir dan yang terpenting, mari kita menilai dan menyampaikan pendapat dengan cerdas. Sebaiknya baca informasi sebanyak-banyaknya sebelum menyampaikan pendapat. Karena pendapat yang disertai dengan alasan dan bukti yang akurat tentunya akan lebih dihargai dan didengar oleh orang lain.
Kalo pendapat Saya ini salah, mohon koreksi dan masukannya ya kartuneters semua.
Sampe ketemu lagi di postingan berikutnya.
solusinya organisasi-organisasi disabilitas ke depan harus lebih menitikberatkan perjuangannya untuk pemberdayaan disabilitas setelah mereka lulus kuliah. Organisasi-organisasi disabilitas harus terus beraudiensi dengan instansi-instansi pemerintah untuk membuka pintu seluas-luasnya untuk para disabilitas, agar bisa bekerja sesuai dengan kemampuan dan ijazah yang dimiliki.
mohon do’a ya mas biar Kartunet bisa ikut membuka lapangan pekerjaan itu. kami sadar bahwa sampai kiamatpun advokasi tak akan pernah berhasil jika kita hanya menuntut saja. Berikan dulu bukti dan kemandirian, ikut kontribusi, lalu baru meminta.. Sejauh ini kita hanya banyak meminta dan tak ada channel untuk kontribusi
Yang ada braille-nya Hiragana dan katakana. Biasanya para penerbit buku braille di Jepang akan mengalihkan semua tulisan dalam buku yang akan di-braillekan ke dalam bentuk hiragana dan katakana, baru setelah itu di-braillekan.
Kalau tunanetra mengambil Jurusan Sastra Jepang dia hanya tidak bisa mengikuti mata kuliah Khanji. Karena tunanetra di Jepang pun tak menggunakan Khanji, karena Khanji tidak ada bentuk braille-nya. Sekarang Sekarang udah ada vocalizer berbahasa Jepang yang bisa disatukan dengan screen reader. Tadi tak ada masalah.
kalo tak salah Hiragana juga ada braillenya. Saya waktu kuliah S1 di FIB UI ambil mata kuliah pilihan Bahasa Jepang dasar, tapi memang di Bahasa Jepang dasar itu tidak ada pelajaran huruf hiragana atau kanji, hanya bahasanya saja. Waktu di SMA, darikelas X sampai XII, bahasa asing selain Inggris dipelajari Bahasa Jepang. Memang untuk pelajaran huruf Hiragana kita skip. tapi guru coba mengenalkan bentuk2 huruf Hiragana juga dengan menggunakan saran kertas karton yang bentuk hurufnya dipakai rader agar membuatnya timbul. Ya meski gak terlalu optimal, tapi lumayan jadi tahu huruf2 Jepang seperti apa. Toh pas ujian huruf2 itu juga tidak terlalu banyak keluar jadi soal. tetap yang terpenting bahasanya.
Sekarang aja kebanyakan anak tunanetra di bandung banyak yang mengambil jurusan PLB di sebuah universitasburam. yanglulusannya yang awas pun susah untuk cari kerja. Sudah beberapa tahun ini jurusan Pendidikan luar Biasa UPI membatasi penerimaan mahasiswa.
kira2 solusinya bagaimana ya mas? kalo menurut saya sih karena memang gerakan disabilitas belum menaruh titik berat perhatina pada masa setelah pendidikan. anak2 tunanetra hanya didorong untuk kuliah dan ambil jurusan seluas mungkin, tapi alokasi di CPNS pun tidak mengakomodasi. Tetap hanya jurusan2 seperti Kesos yang dibuka.
ya memang gak semua jurusan. tapi tetap membatasi ya kalo menurutku. mendingan biar aja hak disabilitas ditegakkan, toh disabilitas jg sadar akan kemampuannya dan lebih tahu jruusan mana aja yg akses buat mereka…tp setuju sm Mbak Dira, harus mediasi dl, tanya baik-baik, gak usah langsung marah-marah hehehehe
Anak UGM sudah melakukan dialog dengan rektorat dan salah satu yang jadi alasan itu memang “rasa iba yang berlebihan” dan takut ini itu bahwa nanti ada hambatan teknis bagi calon mahasiswa disabilitas. klasik ya. jadi komunikasi itu perlu sebelum ada dakwaan.
ya, itu dia..klasik banget. terlalu berlebihan rasa iba, jatuhnya malah begitu ya. bisa dianalogiin kayak ortu yang punya anak tunanetra dan ortu tersebut terlalu “Iba” dan “Takut” anaknya dapet banyak hambatan kalo harus dilepas dan dibiarkan sendirian atau mencoba suatu hal, akhirnya kan anaknya malah ngerasa terkekang ya eheheh *ngelantur bahasan si Eka*. tp ya pokoknya gimana pun bentuknya, entah iba atau apa, kalau bisa penyajiannya harus tepat sasaran dong, jgn akhirnya malah keliatan “Ngekang” dan “Ngebatasi”.
eh itu ada benarnya. Rasa iba itu sebetulnya pada dasarnya kan baik ya. tapi belum tentu benar apalagi jika tak sesuai dengan kebutuhan. Jadi agak disayangkan apabila rasa iba yang pada dasarnya baik itu, lantas langsung dihantam dan dipersalahkan. Coba diajak komunikasi dahulu. Coba pertahankan rasa iba dan simpati itu untuk kemudian diarahkan kepada empati dan disesuaikan dengan apa yang benar-benar dibutuhkan. Dikhawatirkan, apabila dihantam sampai berdara-darah, malah sikap antipati nanti yang muncul. kita perlu memahami karakter budaya orang Indonesia juga.
intinya sih, kalo mau aksi/demo, lihat dulu pokok persoalannya, jangan asal ngoceh aja. yang gawat kan kalo udah ngoceh panjang lebar, gak taunya salah. kan malu2in tuh wkwkwkwk. satu lagi, itu “pendekar” jangan sampe cuma “sok jadi pahlawan” biar dipilih pas pemilu aja, harus konsisten dengan apa yang dia lakukan.
Tinggal menunggu kira-kira pendekar mana yang akan muncul untuk menuntaskan persoalan ini 😛
yup. kemungkinan itu tentu ada. Tapi apapun modus di balik semua ini, kita manfaatkan secermat mungkin saja. Coba lakukan langkah-langkah cerdas agar tetap bisa mendayung perahu di antara dua karang.
Sebenarnya memang ga semua program studi membuat persyaratan yang diskriminatif tetapi dengan adanya ketujuh kode tersebut membuat pilihan bagi penyandang disabilitas itu semakin sempit, padahal pilihannya pun sudah terbatas. Yang anehnya, kenapa hal ini baru muncul sekarang, ya? padahal udah dari dulu peraturannya sudah kaya gini, yeah, mungkin aja karena tahun politik.
oia, infonya mau ada aksi lagi ke Kemdikbud hari rabu besok?
yap, ini menarik. Jadi sebelum melakukan tuntutan, ada baiknya melakukan mediasi atau komunikasi mengenai alasan di balik peraturan tersebut. Bisa jadi karena mereka tidak tahu. Urusannya beda lagis etelah mereka tahu mengenai kemampuan penyandang disabilitas, lantas masih “ngeyel” itu harus digempur habis. Misal untuk persyaratan tunarungu. Mungkin dalam pandangan awam, ketika tak dapat mendengar, mustahil mengikuti kuliah dosen di kelas. Terus jika tunanetra, karena tidak dapat melihat, jadi mustahil bisa membuat tugas berupa paper tertulis. Padahal sudah ada solusi untuk hal2 tersebut.