Ketika berbicara mengenai Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), dewasa ini pemahaman kita akan diarahkan pada soal jaringan internet dan telepon genggam. Padahal ada dua penemuan tertua di bidang TIK yaitu TV dan radio yang seakan-akan terlupakan. Apabila kedua anak sulung TIK tersebut ingin dioptimalkan untuk pemberdayaan penyandang disabilitas, maka ia berpotensi menjangkau mereka hingga ke daerah pelosok.
Internet dan komputer memang menjadi sebuah revolusi bagi kehidupan penyandang disabilitas. Ia mampu menjadi solusi bagi banyak keterbatasan yang dihadapi selama ini. Sebagai contoh bagi seorang tunanetra, dengan bantuan komputer yang dilengkapi software screen reader atau pembaca layar, ia kembali dapat menulis danmembaca dalam bentuk digital. Akan tetapi, manfaat dari internet dan komputer tersebut belum dapat dinikmati oleh semua orang. Mayoritas pengguna internet masih di sekitar kota besar.
Ada dua hal utama yang menyebabkan internet dan komputer takmampu menjangkau penyandang disabilitas yang berada di daerah pelosok. Pertama, pembangunan infrastruktur jaringan di Indonesia belum merata. Agar dapat memanfaatkan jaringan internet GSM secara maksimal, maka harus dapat minimal sinyal 3G. Sedangkan jaringan ini masih terbatas di perkotaan. Masalah lainnya yaitu terkait dengan daya beli penyandang disabilitas pada software dan gadget yang masih belum dapat dikatakan murah. Faktanya, mayoritas penyandang disabilitas hidup dalam kondisi miskin. Ini jadi salah satu alasan penyandang disabilitas semakin terisolir dari akses informasi yang berpotensi mampu meningkatkan derajat hidup mereka.
Sedangkan untuk meningkatkan jangkauan informasi ke penyandang disabilitas yang berada di daerah pelosok, dapat memanfaatkan media televisi dan radio. Dua alat tersebut di masyarakat kita bukan lagi dianggap sebagai barang mewah. Apalagi radio, dengan uang Rp 10.000 pun dapat memperoleh pesawat radio mini gelombang FM atau AM. Televisi dan radio dapat dijadikan sebagai media edukasi sekaligus advokasi bagi penyandang disabilitas beserta keluarga dan sahabat.
Tak sedikit jumlah penyandang disabilitas yang potensial dapat dicapai oleh televisi dan radio. Menurut PBB, jumlah penyandang disabilitas di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dapat mencapai angka 10% dari total penduduk. Ditambah dengan jumlah keluarga mereka, maka bisa mencapai angka 25%. Jadi hampir 1/4 penduduk republik ini punya kepentingan pada isu disabilitas, apa jumlah itu masih ingin dinafikan?
Oleh karena itu, televisi dan radio dapat berperan dengan membuat program bagi penyandang disabilitas secara rutin minimal sekali dalam sepekan. Dapat dibuat semacam acara dialog, berbagi pengalaman, atau inspirasi agar pemirsa paham bahwa penyandang disabilitas juga dapat berdaya. Pembuatan program tersebut juga harus mengindahkan asas aksesibilitas, seperti sign language interpreter bagi tunarungu dan audio describer bagi tunanetra. Selain itu, program juga dapat dijadikan media advokasi dan penyerapan aspirasi oleh penyandang disabilitas. Mereka dapat interaksi via sms atau telepon agar suara mereka didengar dan apa yang mereka inginkan diketahui oleh para pemangku kepentingan.
Sejauh ini, perhatian media baik televisi atau radio pada isu disabilitas masih sangat terbatas. Disabilitas masih dianggap tidak “sexy”. Pertimbangannya adalah program mengenai disabilitas dapat dianggap tidak menarik bagi pemirsa atau tidak mendapatkan ratting yang tinggi. Akan tetapi, apakah betul bahwa faktanya seperti itu? Apakah sebuah program yang tidak pernah dibuat dapat diketahui bagaimana minat pemirsa padanya? Apakah sebuah program dapat ratting tinggi karena memang disuai, atau pemirsa tak ada pilihan acara lain yang dapat ditonton? Coba lihat program KickAndy di Metro TV atau Hitam Putih di Trans7. Mereka adalah acara yang sering kali mengangkat isu disabilitas tapi dikemas dengan inspiratif. Hasilnya, ratting kedua program tersebut luar biasa bagus dan memiliki banyak pemirsa setia.
Diharapkan ada campur tangan pemerintah untuk membuat kebijakan sekaligus implementasi agar televisi dan radio di seluruh Indonesia memberikan alokasi khusus bagi program disabilitas. Sebuah program yangmemang sesuai dari perspektif penyandang disabilitas, dimotori oleh mereka, bukan hanya ditujukan untuk menguras air mata dan rasa iba tanpa hasil nyata bagi penyandang disabilitas sendiri. Aku rasa, bukan jadi beban apabila dialokasikan khusus 15 menit dalam seminggu bagi program tersebut. Tentu tak sebanding dengan 600juta penduduk yang punya kepentingan pada acara tersebut. Apabila tak ada komitmen dari pemerintah yang menguasai regulasi, mustahil pebisnis media mau melihat peluang alternatif ini.
Semoga televisi dan radio dapat ikut menjadi corong bagi penyandang disabilitas hingga daerah-daerah yang mungkin tak pernah dibayangkan sebelumnya. Di sana mungkin ada seorang penyandang disabilitas yang terpuruk dengankeluarga yang tak tahu mau berbuat apa untuk dia. Cukup sudah banyaknya program haha-hihi di televisi dan radio yang makin menjauhkanmanusia dari sifat kemanusiannya. Mari kembali memuliakan televisi dan radio pada fungsinya sebagai alat komunikasi publik tanpa terkecuali.(DPM)
Rating satu acara tinggi memang tidak selalu kerena acara itu disukai, tapi karena orang nggak punya pilihan lain.Dorce show dulu juga bagus. Karena sering juga menghadirkan para disabilitas. Kalau stasiun tv/radio membuat acara khusus untuk para disabilitas,nampaknya saat ini masyarakat belum tertarik. Saat ini masyarakat akan lebih tertarik kalau dalam satu acara menampilkan seorang disabilitas. Nah, untuk itu perlu diperbanyak acara-acara dimana penyandang disabilitas bisa berpartisipasi di dalamnya.