Seperti Botan yang Mekar

“Aku merasa ingin tinggal lebih lama di Indonesia ini.” Lan Yue berkata kepadaku dengan agak sedih. Tangannya pun sibuk mengaduk Kopi Ekspreso dengan sendok. “menurutmu, aku harus bagaimana, Ar?” sambungnya, resah menatapku.

Aku menyesap Arabica Kerinci di cangkir, “Bulan depan kamu sidang skripsi, ya?” Lan Yue mengangguk. “kamu udah tahu, siapa aja dosen pengujimu?” Gadis cantik bergamis hijau daun dan berjilbab hijau tua ini terdiam. “Aku belum tahu dan malas mencari tahu.” ujarnya, lirih.

“Boleh kamu ceritakan, apa yang menjadi sumber keresahanmu?” pintaku, hati-hati. Kugenggam lembut tangan gadis asli Sang Hai itu, mencoba memberi kekuatan. “Rasanya cuma kamu yang bisa kupercaya untuk mendengar riwayatku, Arian.” lembut Lan Yue berkata.

“4 tahun bukan waktu yang sebentar, Lan Yue-ku sayang. Banyak momen yang telah kita habiskan semenjak sospem maba kala itu. Jadi, kamu memahami bagaimana sikapku saat dipercaya menjaga rahasia, kan?” Lan Yue mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kave berinterior klasik penuh pot bunga karena ingin memastikan tidak ada yang menguping. Gadis itu juga beranjak pindah ke sebelah dan menyandarkan kepala di pundak. Aku sudah biasa jika kekasihku bertingkah begini karena baginya selama tidak melampaui norma sosial, maka akan baik-baik saja.

“Aku berasal dari Klan Lan di pinggiran Kota Sang Hai, sebuah klan beladiri kuno yang sangat disegani klan kuno lain dan pemerintah. Selama beberapa generasi, klan Lan telah banyak berjasa bagi kestabilan negara.” Aku terlonjak kaget. “Tenanglah dulu, Ar! Aku belum selesai.” pinta Lan Yue, masih mempertahankan suara lembutnya.

Baca:  Catatan Simpang Tiga

“Di sanalah aku lahir sebagai putri bungsu pemimpin klan. Sudah tentu, aku sangat dimanjakan sejak kecil oleh ayah, ibu, dan kedua kakak laki-laki yang menjadi petua klan. Usia 6 tahun, aku mulai disekolahkan. Setiap hari orang tuaku mengantar dan menjemput dengan iringan mobil pengawal di belakang. Sehingga kebebasan tidak sepenuhnya kudapatkan.” Lan Yue berhenti bicara. Dia tenggelam dalam kenangan masa sekolahnya dulu. “Selama di sekolah, prestasi dan lingkaran pertemananku kian menanjak. Begitu memasuki masa remaja, orang tua tidak lagi mengantar. Aku dikawal Lan Shan Gege, salah seorang sepupuku. Dia juga bersekolah di tempat yang sama, di kelas yang sama.” Lan Yue menjeda cerita dengan sesesapan kopinya.

“Waktu itu, sekolah telah memiliki pelajaran TIK. Dalam salah satu pertemuan, guru menyuruhku dan teman-teman untuk mencari daftar agama di Asia, lalu merangkumnya salah satu dalam program olah data kata di komputer, dan mengumpulkannya di guru agama. Aku sendiri merangkum Islam. Sesudah itu aku terus mencari tahu tentang Islam hingga menemukan informasi terkait kampus putih kita ini. Karena aku semakin dekat dengan kelas akhir, aku benar-benar berdebar oleh harapan memasuki kampus ini.”

Gadis cantik ini terdiam lagi. “Saat ujian kelas akhir berlangsung, pendaftaran Seleksi Mandiri Keberagaman kampus kita telah dibuka. Tanpa sepengetahuan keluarga, aku mendaftar. Beruntung, skilku dalam Bahasa Inggris yang menjadi pelajaran wajib dan Bahasa Indonesia yang menjadi pelajaran bahasa asing sudah dikatakan pro untuk ukuran sini sehingga memudahkanku dan akhirnya aku diterima dalam Program Studi Sosiologi. Beberapa saat berlalu, tiba saatnya aku harus memenuhi impianku dan meninggalkan tanah air. Aku meminta Lan Shan untuk tidak menjagaku selama 2 hari dengan dalih aku punya janji sama teman perempuan.”

Lan Yue tersenyum geli. Aku menggeleng-geleng, tiddak habis pikir oleh ulah gadis cantik ini. “Pagi-pagi sekali aku pergi ke bandara dengan diantar tetangga apartemen tempat domisili selama bersekolah. Aku hanya membawa berkas-berkas dokumen yang aku perlukan, pakaian secukupnya, dan barang-barang lain dalam 2 koper besar. Beruntung, aku tidak tertinggal pesawat komersil yang menuju Thaiwan.” Aku menatap heran ke arah mata sipit beralis lentik Lan Yue.

“Salah satu bestie-ku adalah anak dari seorang bisnisman kaya di sana. Sesampainya di Thaiwan, aku beralih kendaraan. Bestie-ku itu sudah menunggu di area pesawat pribadi. Dengan diantar pilotnya yang provesional, akhirnya aku sampai di Jakarta beberapa jam kemudian. Di sana, aku diterima oleh kerabat dari bestie-ku. Sesudah menukar mata uang tabungan dan pemberian bestie-ku menjadi Rupiah, aku langsung terbang ke Jogja. Begitu sampai, aku langsung membeli sebuah rumah minimalis di belakang kampus, membuat dokumen kependudukan, dan tentunya berislam di masjid kampus dengan bimbingan salah satu dosen yang kini menjadi pembimbing skripsiku, dan aku diberinama Salma Nurul Hidayyatu.”

Baca:  TUKANG KREDIT

Lan Yue memasukan ujung sendok ke dalam mulutku yang ternganga. Gelagapan yang ku rasakan. Namun, ketakjuban itu masih ada. “Ih! Jangan bengong mulu! Ngapain kek, komen kek!” Gadis ini merasa keki dan mencubit pinggangku. “Ampun, Nona! Sakit, tahu!” Aku pura-pura merengut. Lan Yue tertawa geli. Tangan kanan menutup mulutnya. Gerakan tersebut menambah ayunya.

“Sudah, sudah! Aku lanjutkan. Tanggung, nih!” ujar Lan Yue bersikap serius lagi. “Kamu pasti tahu, bagaimana kebersamaan kita selama 4 tahun terakhir ini, kan? Nah, permasalahan yang mencemaskan betul-betul muncul 3 hari yang lalu. Aku ditelepon oleh nomor dari kode negaraku. Begitu aku angkat, ternyata itu kakak keduaku. Dia,…” Tersendat Lan Yue berkata, air mata merembang berkaca-kaca.

“Sudah mengudeta kedudukan ayah. Tak berhenti di situ, dia juga membunuhi sanak kerabat yang tidak mendukungnya. Banyak korban berjatuhan, termasuk ayah, ibu, dan kakak pertama. Hu, hu, hu,… Dia,… Juga mengancam,… Kalau dia ingin menghabisiku dengan organisasi pembunuh bayaran bentukannya,… Kalau aku tidak kembali dan mengikuti rencananya yang ingin menjodohkanku dengan calon patriark dari Klan Guan.”

Lan Yue kian terisak dalam tangisnya. Sebentuk rasa tidak berdaya ku rasakan kini. Biarpun masih belajar pencak silat di unit kegiatan mahasiswa dan memperoleh tingkat tertinggi, diri ini tetap merasa lemah karena aku belum punya pengalaman menghadapi musuh seperti pembunuh bayaran yang kemungkinan akan dikirim mengancam kehidupan Lan Yue.

Akhirnya aku hanya bisa mendekap gadis itu dan sebisa mungkin menenangkan hatinya. “Solusinya begini aja! Bagaimana jika sementara ini kamu pindah ke pesantren dulu? Masalah rumahmu, biar aku aja yang menjaga dan mendiami. Kalau ada warga yang bertanya, nanti aku akan memberitahu mereka tentang kamu yang ada urusan keluarga sehingga harus balik dan mengamanahkan kepadaku untuk menjaga.”

Mulai mereda tangis Lan Yue. Berbinar matanya menatapku. Tisyu diambilnya dari meja untuk menyeka pipi yang basah. “Kali ini aku tidak akan mendebatmu, Ar.” tegas Lan Yue, agak tersenyum.

Semenjak perjumpaan sore itu, Lan Yue mengemasi barang, dan 2 hari kemudian berpindah di sebuah pondok pesantren yang tak begitu jauh dari kampus. Sedangkan aku berpamitan kepada ibu kost untuk pindah dengan alasan yang tidak dapat disebutkan. Adapun tagihan kost yang tersisa, Lan Yue bantu melunasi via transfer. Sebetulnya aku menolak bantuannya itu, tapi dia balik mengancam putus hubungan kalau aku berani melakukannya.

Sebulan, 2 bulan, bahkan 3 bulan telah berlalu. Tidak ada ancaman teratas Lan Yue. Gadis dengan tinggi 170cm itu bisa lancar menjalani sidang skripsi dan mendapatkan hasil yang maksimal.

Baca:  Penggusuran Raibkan Prikemanusiaan

Aku yang mendampingi dan menunggunya di depan ruangan pun berbangga. Kalau aku sendiri sudah awal tahun kemarin dan tinggal menanti wisuda saja. Rencananya nanti, aku akan mengambil periode yang sama dengan Lan Yue.

Selepas itu aku dan Lan Yue lebih banyak menghabiskan waktu dengan jalan-jalan, menghadiri diskusi publik, dan pastinya kebersamaan ini memperkuat hubungan yang terjalin. Hal yang membuatku bahagia ketika Lan Yue menikmati suasana di Monumen Jogja Kembali. Dia meresapi kehangatan yang diciptakan suasana taman depan museum yang tertata dan takjub akan isi koleksi di dalam Gedung 3 lantai Monjali sendiri. Syukurlah, selama di luar tidak ada ancaman yang berarti.

Suatu pagi, tepat pukul 10, Lan Yue mendatangi rumah dengan kondisi napas yang memburu. Sontak aku kaget dan lekas menyuruh gadis itu untuk masuk lalu duduk di ruang tamu. “Aku dapat berita,… Kalau,…” Aku mengangkat tangan, “Legakan napasmu dulu! Biar enak aku dengarnya.”

Gadis berkemeja maroon itu mengangguk. Semenit berlalu, Lan Yue sudah bisa menenangkan diri. “Aku tadi habis membaca berita luar negeri. Sumbernya ini dari VOA. Kalau kakakku terlibat bentrokan dengan Biro Rahasia, Kopasusnya RRC gegara rebutan hasil penelitian laboratorium negara di salah satu pulau di perairan timur dekat Jepang. Kakak kedua sepasukannya tewas di tempat. Adapun kondisi klan setelahnya diambil alih oleh negara.” Aku merasa lega sekaligus prihatin. “Lalu, nasib harta, properti, dan aset klan bagaimana?” Lan Yue tersenyum sedih.

“Disita pemerintah. Sanak kerabat yang tersisa tercerai-berai. Sebagian dari mereka ada yang ditahan.” Gadis ini agaknya sudah tegar, terbukti dengan ketenangan nada bicaranya. “Lantas, bagaimana kamu nanti setelah wisuda?” Lan Yue melemparkan pandangan ke arah luar. “Aku mau bekerja dan mungkin menetap di sini. Aku sudah betah juga. Lagian, banyak teman dan warga yang akan berbaik hati membantu. Di negara asalku, semuanya telah entah.” Getir sekali nada ucapan Lan Yue pada kalimat terakhir.

“Bagaimana,…” Kegugupan mengelukan lidahku. “Apa?” Lan Yue penasaran. “Bagaimana kalau aku dan kamu menikah saat sudah mendapat pekerjaan yang layak?” Lan Yue tersipu. Merah wajahnya seperti kepiting direbus. “Mari kita bicarakan esok. Kita berjuang dulu, Ar! Terutama untuk mengimplementasikan apa yang telah didapat selama 4 tahun.”

Aku terdiam dan pada akhirnya menyetujui Lan Yue. Selanjutnya, aku dan gadis itu meneruskan mimpi yang kian hari semakin bertambah. Wisuda dan bekerja mengabdi pada sesama adalah kewajiban yang menanti di arah depan. Semoga Allah merestui setiap langkah, membimbing saat salah, dan menjadikan perjuangan ini sebagai aliran kebajikan yang tiada putus-putusnya. Seperti Botan yang memang tak abadi, tapi hadirnya menuai arti.

Bagikan artikel ini
Akbar AP Pendekar Kelana
Akbar Ariantono Putra

Akbar Ariantono Putra, lebih akrab dengan Akbar AP, lahir di pinggiran sebelah timur Kota Bantul pada 02 Februari 2003. Terlahir sebagai Disabilitas Netra, tidak membuatnya surut dan gagal dalam menjalani hidup. Baginya, ada kelebihan di balik kekurangan. Ada potensi meski dalam keterbatasan.

Pria yang cenderung introvert ini menyenangi bacaan bertema fiksi seperti petualangan dan fantasi serta non-fiksi semisal sejarah, biografi, dan isu sosial. Moto hidupnya adalah :
🌹Ya Allah, Gusti Sesembahan Seluruh Semesta Alam, Ajari Aku, Supaya Menjadi Sebuah Bahtera Jiwa, Yang Mampu Melayari Samudra Kehidupan Ini, Yang Selalu Ada Gelombang Cobaan Yang Memberikan Pengalaman Penuh Hikmah💎&💎Memperkaya Jiwa.🌻

Articles: 9

4 Comments

  1. wah seru mas ceritanya. cuma mungkin akan lebih menarik jika lebih banyak konflik bathin dan perubahan watak tokoh di akhir cerita. oh ya mungkin sedikit hal juga mengenai Botan itu mas. mungkin ga semua orang tahu apa itu. Mungkin bisa dijelaskan dalam footnote atau di dalam cerita. Keep the good work and keep writing

Leave a Reply