Langit Senja Bagian 4

Ei : Taaaa, soriiii. Hr ini berjuang sndri dlu, ya? Aq otw Karanganyar, ada sodara meninggal.

Pesan singkat dari Ei pagi ini membuat badanku mendadak lemas kehilangan semangat. Ei tidak masuk sekolah. Artinya, seharian ini aku akan duduk dengan bangku kosong. Great! Padahal aku berharap dia masuk dan mengajariku mengerjakan beberapa soal latihan Fisika sebelum pelajaran dimulai nanti.

“Kok nggak semangat gitu?” tanya Ayah saat menurunkanku di depan sekolah.

“Ei nggak masuk.”

Ayah tersenyum. “Kan masih ada temen yang laen,” kata beliau sebelum membiarkanku mencium tangannya. “Belajar yang baik.”

“I will, Yah.”

“Masuk sana kalau begitu.”

Dengan malas aku meninggalkan ayah dan masuk ke halaman sekolah. Beberapa murid melewatiku dengan setengah berlari. Berlari?

Dengan cepat aku mengecek jam yang ada di pergelangan tangan. Pukul 06.58. Pantaaaaas…

Langkah kaki kupercepat, tak sampai berlari, tak ada semangat.

“Rekta?”

Aku menghentikan langkah di koridor dekat ruang guru dan menoleh. Ibu Marfuah, guru Kimia yang juga adalah wali kelasku berjalan cepat ke arahku.

“Eh, Ibu. Mari saya bantu bawa, Bu.” Aku meminta buku-buku yang ada di pelukan Ibu Marfuah.

“Makasih.” Ibu Marfuah menyerahkan bukunya padaku. “Maaf ya waktu sakit kemarin saya tidak bisa ikut menjenguk.”

“Hehe.. tidak apa-apa, Bu. Alhamdulillah atas doa ibu juga saya sudah sembuh.”

Garing. Aku tak tahu mau mengobrol apa lagi. Jadi sisa perjalanan kami hanya diisi dengan diam.

Senja sudah duduk di tempat yang sama dengan hari-hari sebelumnya sewaktu aku dan Ibu Marfuah memasuki kelas. Aku mengambil napas panjang, mempersiapkan diri menerima peningkatan kecepatan detakan jantung. Dan benar saja, sewaktu aku berdiri di dekat meja guru, di dekat bangkunya, jantungku mulai bekerja luar biasa cepat.

“Makasih ya, Rekta,” kata Ibu Marfuah lagi.

“Sama-sama, Bu.”

“Saya boleh minta tolong satu lagi?” tanya Ibu Marfuah sebelum aku meninggalkannya.

“Ya, Bu?”

“Hari ini Dewi sama Eko kan tidak masuk. Boleh tidak saya minta tolong Rekta hari ini duduk sebangku dengan Senja?”

What? Duduk sama Senja?

“Eeeh… anuu…” Aku tidak bisa langsung menjawabnya. Aku melirik Senja. Dia menundukkan kepala, tapi aku masih bisa melihat senyuman di wajahnya.

Duduk semeja dengan Senja sama saja bunuh diri. Hanya dengan melihatnya saja jantungku rasanya berdebar super cepat, bagaimana jika aku harus duduk di sisinya? Mengobrol dengannya? Aaargh… Seminggu ini saja sudah merupakan siksaan tanpa harus berada dekat dengannya.

Why?

“Boleh ya?” tanya Ibu Marfuah lagi.

“Iya, Bu.” Jawaban itu yang akhirnya keluar dari mulutku.

Aku melihat senyuman di wajah Ibu Marfuah. Memang luar biasa sekali ibu satu ini, selalu berhasil membujuk anak-anaknya tanpa perlu memaksa atau memarahi.

Jangan bahas masalah facebook, please.. Jangan bahas masalah facebook..

Aku mengulang-ulang mantra itu dalam hati sewaktu menggeser langkah ke meja di sisi Senja.

“Ja,” sapaku.

“Hai, Rekta.” Dia menoleh padaku dan tersenyum.

Dengan cepat aku duduk di sisinya dan mengambil napas panjang beberapa kali.

“Kamu nggak pa-pa?” tanya Senja.

“Nggak papa, Ja”

“Habis lari-larian?”

Sial! Hiih…cowok iniiiii. Dia pikir aku habis lari-larian? Ini tuh gara-gara kamu, tau?

“Hehehe… iya. Takut telat tadi,” jawabku akhirnya.

“Yak, hari ini kita akan bermain-main dengan karbon.” Ibu Marfuah membuka pelajaran hari ini.

“Rekta, sori sebelumnya. Aku bakal ngerepotin kamu seharian ini,” kata Senja pelan.

“Be my guest,” jawabku.

Aku melirik ke arah Senja. Dia tersenyum.

Ya Allah, manis banget, siiih. Duh semoga hari ini aku nggak kena serangan jantung.

Ah, hidup. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Setelah satu minggu hanya berencana menyapa tanpa pernah kesampaian karena entah kemana hilangnya semua keberanian, tak punya alasan juga untuk bisa menyapanya, akhirnya hari ini kami malah harus duduk sebangku.

***

“Nggak ke kantin?” tanya Senja waktu istirahat kedua.

“Nggak. Kamu mau ke kantin?” tanyaku balik.

Senja tersenyum. “Nope. Bawa bekal dari rumah. Lebih sehat,” katanya.

Aku mengeluarkan buku Fisika, merampungkan PR yang belum sempat aku selesaikan kemarin. Sebenarnya PR ini rencananya akan aku kerjakan di perpustakaan saat istirahat pertama tadi. Tapi saking buru-burunya meninggalkan kelas untuk melarikan diri demi kesehatan jantungku, niat utamanya malah gagal. LKS-ku malah tertinggal di kelas. Bego.

Baca:  Kemilau Purnama (part 2)

“Kamu nggak pa-pa kan duduk sama aku?”

Tanganku urung menuliskan jawaban di buku sewaktu mendengar pertanyaan Senja. Aku menoleh padanya.

“Emang kenapa?” tanyaku bingung.

“Ya nggak. Siapa tau kamu keberatan. Hari ini kamu beda dari kemarin.”

“Beda?”

“Hari ini kamu lebih pendiam. Kemaren-kemaren heboh waktu ada Dewi.”

Aku menghela napas. “Aku nggak suka duduk di barisan paling depan kayak gini.”

Senja mengangguk-anggukkan kepalanya. “Susah ya buat tidur?” Dia lantas tertawa.

“Ha ha!” balasku. Sial! “Eh, tumben itu telinga nggak disumpal sama earphone?” tanyaku sembari mulai mengisi jawaban di soal-soal Fisika.

“Lagi nggak pengen.”

“Terus pengennya apa sekarang?”

“Ngobrol sama kamu aja.”

Haish! Tiba-tiba tanganku tidak bisa meneruskan pekerjaannya. Aku menelan ludah, berusaha membersihkan tenggorokanku yang tiba-tiba tercekat.

“Kok diem?” tanyanya.

Ampun, Senja. You’re really killing me now.

“Kamu suka denger lagu apa?” tanyaku.

“Oh, itu.” Senja merogoh laci mejanya dan mengeluarkan pemutar lagunya. “Mau dengerin?” tanyanya, menawarkan earphone-nya.

Aku meletakkan pulpen yang kupegang, berhenti mengurusi Fisika sesaat, lalu menerima earphone yang dia sodorkan padaku, memasangnya di telingaku.

“Klasifikasi adalah pengelompokan aneka jenis hewan dan tumbuhan ke dalam golongan-golongan tertentu.” Ada suara perempuan yang sedang membacakan materi pelajaran Biologi.

Earphone itu aku lepaskan dari telingaku, mengembalikan benda itu kepada pemiliknya. Ternyata selama ini bukan lagu yang dia dengarkan.

“Namanya buku bicara. Lebih gampang belajar lewat ginian. Simpel.”

“Oh.” Aku tidak tahu harus merespon bagaimana lagi. Jadi, hanya kata itu yang keluar. Ah, aku bahkan tak yakin itu adalah sebuah kata.

Aku memandangi Senja. Banyak sekali kejutan yang dia berikan. Banyak sekali hal yang tak terduga. Jantungku tiba-tiba berdetak cepat lagi sewaktu sadar kalau ternyata Senja sedang memandangiku. Aku buru-buru menunduk, melarikan diri ke laman LKS yang terbuka di hadapanku, berpura-pura serius mengerjakan soal-soal yang bahkan aku sudah tak mampu memahaminya lagi sekarang.

“Eko kenapa nggak masuk?” tanyaku sok tenang, mengalihkan topik.

“Sakit.”

Aku tidak berkomentar lagi, masih berusaha menyelesaikan PR Fisika-ku.

“Selesai!” kataku begitu berhasil menjawab soal terakhir. Aku menutup buku itu dan memasukkannya ke dalam laci.

“Udah selese, Ta?” Reno tiba-tiba sudah ada di sebelahku.

“Apa?” tanyaku.

“Itu PR Fisika buat besok kan?” Reno menunjuk laciku.

“Oooh..” Aku merogoh laci, mengeluarkan LKS, menyerahkannya pada Reno.

“Siiip..” Senyuman mengembang di wajah Reno.

“Kalau kamu kasih contekan terus kayak gitu kapan dia bisanya?”

Senyuman langsung surut dari wajah Reno. Aku langsung menoleh pada Senja yang duduk di sisiku. Di wajahnya juga tak ada senyuman. Terlihat menyebalkan.

“Apa sih, Ja?” tanyaku.

“Kasih contekan itu nggak bakal ngebantu dia.”

“Ini kan cuman PR,” kataku.

“Cuman PR. Kalau pas ulangan nanti juga bilang cuman ulangan?”

Brak! Aku kembali menoleh pada Reno. Kedua tangannya berada di atas meja di hadapanku, menindih LKS yang tadi kuserahkan padanya. Wajahnya merah, menatap Senja dengan emosi yang ditahan, lalu berjalan pergi meninggalkanku dan Senja, meninggalkan LKS di atas mejaku.

Aku langsung kembali berbalik pada Senja.

“Apaan sih, Ja?” tanyaku.

“Aku nggak suka aja yang kayak gitu.”

“I’m just trying to help.”

“Jangan biasain manjain orang kayak gitu. Kamu nggak bantuin dia kalau kayak gitu. Dia cuman bakalan nyalin PR kamu, nggak bakal berusaha memahami. Nggak bakal belajar.”

Aku memandanginya, memandangi wajahnya yang terlihat begitu keras.

“Kenapa kamu sekolah?”

“Hmm?” tanyaku bingung.

“Buat apa kamu sekolah?”

Aku bukan tak paham pertanyaannya. Aku hanya tak paham apa tujuan Senja menanyakan itu. Apa hubungannya dengan semua yang baru saja terjadi tadi.

“Ya buat cari ilmu.”

“Buat apa cari ilmu?”

“Ya biar nanti bisa buat kerja. Buat hidup?”

Senja mengangguk. “Yah, itu,” katanya.

Aku memutar bola mata. Manusia ini….

“Ya tapi nggak usah segitunya juga kali, Ja.”

“Nggak segitunya gimana?”

“Ya kan aku nggak enak sama Renonya,” kataku.

“Kenapa? Bukan kamu yang reseh.”

“Terus siapa yang reseh?” tanyaku.

“Aku.” Senyuman muncul lagi di wajah Senja, yang kemudian menular padaku.

Rasaku lebur. Kekesalan yang baru saja kurasakan mendadak hilang.

“Aku suka jeruk,” kata Senja tiba-tiba, mengubah topik pembicaraan.

Oke. Sepertinya aku akan benar-benar mati kehabisan napas hari ini. Aku tidak tahu maksud kata-katanya. Tapi sepertinya dia membicarakan aku. Parfumku beraroma jeruk.

“Oiya, Rekta. Tulisanmu bagus-bagus, ya?” katanya lagi.

“Tulisan apa?” tanyaku bingung.

“Postingan di note facebook sama blog kamu.”

Ya Allah..

“Aku suka.”

Sumpaaaah… Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Otakku langsung berhenti bekerja. Aku hanya bisa diam memandanginya.

“Kok diem?”

“Eh… anuu…”

Suara bel tanda istirahat kedua berakhir tiba-tiba berbunyi, menyelamatkanku. Aku mengembuskan napas lega, menemukan pengalih perhatian yang membuatku tidak lagi wajib menjawab pertanyaan Senja. Dan perhatianku lumayan bisa benar-benar teralih sewaktu aku melihat Ibu Marfuah masuk ke dalam kelas.

“Bisa minta perhatiannya sebentar?”

Kelas yang tadinya gaduh langsung menjadi tenang.

“Saya mewakili pihak sekolah memohon maaf karena harus menyampaikan kabar buruk ini.” Ibu Marfuah menarik napas, membuat semua muridnya ikut menarik napas, tegang dan penasaran dengan berita yang dibawa beliau. “Karena ada rapat mendadak, maka kegiatan belajar mengajar selanjutnya ditiadakan. Mohon maaf, mengingat pentingnya rapat ini, maka kalian belajar sendiri dulu di rumah, ya?” Ada senyuman tampak di wajah Ibu Marfuah. Si Ibu sudah tahu, tak akan ada anaknya yang sedih mendengar kabar itu.

Baca:  Kakman dan Keluarga Disabilitas #1

Wajah-wajah yang tadinya tegang langsung dihiasi senyuman. Parah memang teman-teman ini. Masak sekolah dipulangkan cepat kok senang? Harusnya kan seperti aku; senang juga.

Setelah membaca doa dan Ibu Marfuah keluar kelas, anggota kelas yang lain langsung berebutan ikut keluar kelas. Sepertinya semua orang bersemangat untuk meninggalkan sekolah. Tapi sekarang aku yang bingung. Rumah sudah pasti sepi karena ayah dan mamah hari ini sama-sama jaga pagi. Mau jalan, mana enak jalan sendirian? Si Nyonyah heboh kan tidak masuk hari ini. Coba ada Ei.

“Mau buru-buru pulang?” tanya Senja.

“Nggak sih, Ja. Masih jam dua belas ini. Kenapa?” Aku berdiri, bersandar di meja guru, menunggu Senja melanjutkan kata-katanya.

“Boleh minta tolong sesuatu nggak?”

“Apa?”

“Jalan-jalan keliling sekolah.” Dia menutup tasnya, lalu berdiri dan menggendongnya di punggung.

“Maksudnya? Mo ngapain jalan-jalan keliling sekolah?” tanyaku bingung.

“Aku belum orientasi tempat.”

Aku diam memandanginya, tidak langsung menjawab pertanyaannya.

“Kok diem?” Dia sudah berdiri di hadapanku sekarang.

“Anu… itu… ” Aku diam lagi. “Aku nggak tahu gimana caranya,” kataku akhirnya.

Sekarang dia tertawa, menunjukkan deretan giginya yang dihiasi taring runcing.

Sumpaaaah… aku suka bangeeet.

“Tangan kanan?” Senja membuka telapak tangan kirinya, meminta tangan kananku.

Aku menurut, meletakkan tangan kananku di telapak tangannya yang terbuka itu. Dia lantas menggeser tangannya ke atas sikuku. Tangannya yang satu lagi memegang tongkat putihnya.

“Nah, sekarang kamu menjadi penuntunku. Ayo jalan.”

Sekali lagi aku menelan ludah sebelum kemudian aku mulai melangkah dengan dia berpegangan pada lenganku.

“Kasih tau aku kalau ada penghalang atau tangga atau perbedaan level tanah.”

“He emm.”

Aku mati. Iya. Aku belum pernah seperti ini. Aku belum pernah merasa kehabisan napas sampai seperti ini sebelumnya. Aku tiba-tiba tidak bisa mengatakan apa-apa dan hampir tidak bisa bernapas.

“Kamu tegang banget, Rekta. Santai aja. Kalau kamu tegang, aku ikut tegang.”

“Itu.. Cuma belum pernah aja kayak ini. Eh, maksudnya…”

Aduh. Aku kenapa, sih?

“Nggak pa-pa.” Senja tersenyum.

Aku menghentikan langkah di depan pintu kelas. “Ehem, mau ke mana dulu?” tanyaku dengan tenggorokan yang terasa tercekat.

“Yang aku pengen tahu pastinya kamar mandi, lab, aula, mushala. Mulai dari yang paling deket apa?”

“Kamar mandi.”

“Yuk!”

“Ngg, Ja. Aku harus ngapain?”

Tawa Senja meledak lagi. “Oh, sori. Aku lupa bilang. Kamu temenin aja. Apa yang perlu dijelasin, misalnya berapa langkah ke kanan ada meja atau tangga. Bantu aku orientasi tempat,” jelasnya begitu tawanya reda. “Jadi?”

Aku mengangguk.

“Rekta?”

“Ya?”

“Don’t nod. I wouldn’t know,” katanya, masih sambil tersenyum.

“Maaf.” Cuma kata itu yang bisa aku ucapkan. Aku terlalu bingung buat memilih kata.

“Nggak pa-pa. Santai aja.”

Aku kemudian mulai melangkah, membiarkan Senja berjalan bersamaku dan menggenggam lenganku. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang. Rasanya semuanya sudah tercampur dan teraduk-aduk di dalam dadaku. Jantungku masih bekerja tak beraturan, napasku masih terasa sesak, tapi sepertinya badanku mulai beradaptasi dengan itu semua dan, jujur, aku mulai menyukai semua rasa ini.

Caranya tersenyum, caranya tertawa, caranya menjelaskan semua hal ke aku, caranya mengingatkanku, aku ingin melihat semua itu lagi dan lagi. Semuanya. Caranya membuatku salah tingkah, membuat jantungku berdebar-debar, dan membuat napasku habis bahkan tanpa perlu melakukan apa pun, aku ingin merasakan itu semua lagi dan lagi.

Tuhan, aku ini kenapa?

“Kamu kemaren itu opname? Sakit apa?” tanya Senja begitu kami meninggalkan aula, tempat penutup tur hari ini.

“He eh. Thypus.”

“Kamu hari ini beneran pendiam, ya?”

“Nggak juga.”

“Iya.”

“Kamu orangnya selalu seblak-blakan ini?”

Senja tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia tertawa.

“Masak?” tanyanya.

“Iya. Kayaknya dari tadi itu komentar kamu, pertanyaan kamu, semuanya serba spontan, nggak pake basa basi.”

“Harus ada basa-basi?”

“Yah, secara kan kita baru kenal.”

Senja tersenyum. “Kalau nggak dibilang sekarang, mau kapan? Basa basi mau sampai kapan? Besok? Ya kalau besok aku masih hidup, kalau kita masih dijodohin. Kalau nggak?”

“Kok gitu ngomongnya?” protesku. Aku menoleh padanya.

“Kan bukan kita yang nentuin hidup. Tugas kita itu ngejalanin hidup sebaik-baiknya. Waktu itu nggak bisa diputer balik. Jadi setiap detik adalah kesempatan. Sayang kalau disia-siain.”

Buat sesaat, kepalaku kosong lagi, benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa.

“Tapi kata itu nggak bisa ditarik lagi,” kataku begitu aku kembali sadar.

“Ya tetap dipilih-pilih, nggak bisa sembarangan.” Senja tersenyum. “Di dunia ini ada yang namanya hukum aksi-reaksi, kan?”

“Iya.”

“Buat aku, itulah hidup. Setiap detik adalah kesempatan. Aku bakal bilang apa yang memang harus aku bilang, melakukan apa pun yang memang harus aku lakukan. Tapi, aku percaya kalau setiap kata dan tindakan yang aku ambil akan dikembalikan ke aku dengan kekuatan yang sama besar.”

Aku mendadak bisu lagi, hanya diam dan terus melangkah bersamanya menyeberangi halaman sekolah yang sudah mulai sepi.

“Hari ini ada lagi yang beda dari kamu.”

“Apa?” tanyaku.

“Hari ini kamu nggak tidur di kelas.”

Aku tersenyum. “Sial! Kirain apaan. Aku tuh nggak pernah tidur di kelas tau?! Waktu itu tuh gara-gara habis sakit, jadi masih lemes-lemes gitu badannya.”

“Aku suka kalau kamu senyum.”

Aku menatapnya. “Kamu tau dari mana aku senyum?”

“It’s in your voice. Aku suka denger suara kamu kalau kamu senyum gini.”

Sekali lagi aku mati. Detak jantung yang tadinya sudah mulai menjadi normal, sekarang meningkat lagi. Napasku mulai sesak lagi. Suaraku tercekat lagi. Tapi aku benar-benar mulai menikmati keadaan ini.

Baca:  Foto Penampakan

“Makasih, ya?” kata Senja sewaktu kami menghentikan langkah di gerbang sekolah. Dia melepaskan genggaman tangannya di lenganku.

“Sama-sama.”

“Sampai ketemu besok.” Senja meluruskan tongkat yang sedari tadi dia genggam.

“Iya.”

“Hati-hati, ya?” katanya lagi.

Aku tersenyum. “You, too.”

Aku melihatnya melangkah semakin jauh. Dan kerja jantungku sudah mulai kembali normal sekarang. Dan aku kembali menjadi aku yang hidup, tapi entah mengapa sekarang malah rasanya menjadi begitu asing, membosankan.

Ponsel yang ada di saku rokku bergetar. Dengan cepat aku meraihnya. Mas Awan menelpon.

“Ya, Mas?” kataku membuka percakapan.

“Pulang cepat, ya? Barusan aku lihat Reno lewat deket kampus.”

“Iya, Mas.”

“Sekarang di mana?”

“Masih di sekolah. Baru aja keluar.”

“Oh, yaudah. Ini aku nggak ada kuliah. Kalau gitu aku jemput. Tunggu bentar, ya?”

“Iya, Mas.”

“Love you,” katanya.

Aku menelan ludah, tidak sanggup menjawab kata-katanya. Aku buru-buru menekan tombol memutuskan hubungan telepon, menghindari kewajibanku untuk menjawab kata-kata Mas Awan. Telpon kembali aku masukkan ke dalam saku rok.

***

Mas Awan menarik tangan kananku, mengencangkan peganganku di pinggangnya. Aku menurut, mempererat pelukanku di pinggangnya. Dia lantas mempercepat laju motornya. Solo siang ini panas. Sudah beberapa hari hujan tidak turun.

“Yuk,” ajak Mas Awan setelah dia memarkirkan motornya di tempat parkir Solo Grand Mall. Mas Awan menggenggam sebelah tanganku.

“Mau makan apa, Mas?” tanyaku.

“Kamu mau makan apa?”

“Apa, ya? Terserah kamu aja.”

Sebenarnya aku tidak terlalu suka makan di mall. Aku lebih suka makan di warung makan pinggir jalan; bakso, soto ayam, bakmi toprak, atau apa saja asal tidak di mall. Sayangnya Mas Awan jarang sekali mau diajak makan di tempat seperti itu.

“Sup mi kembang tahu mau nggak?” tanya Mas Awan.

“Boleh,” kataku. Seperti biasa, aku menurut. Toh keinginanku juga tak penting.

Mas Awan mengajakku naik ke foodcourt di lantai tiga, di dekat bioskop, dan mendatangi kedai yang menjual mie kesukaannya.

“Mas, aku duduk duluan, ya?” Aku menunjuk ke meja kosong yang ada di dekat kedai es krim dan segera menuju ke sana setelah mendapat anggukan kepala Mas Awan.

Di jam kerja seperti ini, mall memang tidak begitu ramai. Ternyata lebih nyaman kalau sedang tidak terlalu ramai seperti ini. Aku sering merasa pusing melihat terlalu banyak orang lalu lalang. Paling tidak suka harus ke mall di malam minggu atau hari libur, terlalu ramai.

“Mall sepi, nggak asik, ya?” Mas Awan duduk di kursi kosong di sampingku.

Aku menoleh padanya dan tersenyum. “He eh,” jawabku.

Waktu tunggu selanjutnya berisi cerita-cerita Mas Awan tentang kuliahnya. Tentang beberapa mata kuliah yang dia dapatkan di semester ini. Tentang materi kuliah yang sering membuat dia mengantuk atau bersemangat.

“Sumpah. Pokoknya kalau prof yang satu itu masuk, rasanya semangat kuliah itu nembus ubun-ubun. Nggak mungkin ngantuk.” Mas Awan bersemangat sekali menceritakan tentang salah satu dosennya.

Aku menatap mas Awan. Manusia kurus berkaca mata itu, aku juga jarang melihat senyuman hilang dari wajahnya. Dia juga suka sekali tersenyum, seperti Senja. Tapi, mengapa aku tidak merasakan detakan jantungku jadi lebih cepat setiap kali aku melihat dia? Mengapa rasanya tak sama? Mengapa setiap kali melihat senyuman Senja, aku merasakan sesuatu yang aneh, tetapi tidak dengan Mas Awan? Apa yang salah denganku?

Pertanyaan Ei hari itu tiba-tiba menggema lagi di kepalaku, tentang rasaku ke Mas Awan, tentang sudahkah dia tumbuh. Dan semua itu membuatku kembali berpikir tentang apa yang selama ini aku percaya bahwa rasa suka apalagi cinta itu bisa ditumbuhkan. Bahwa semua itu cuma perlu waktu. Aku mulai berpikir bahwa mungkin apa yang selama ini aku percaya tidak seratus persen benar.

“Maaf, Kak. Pesanannya. Sup mie kembang tahu dua, teh botol, dan air mineral?” Pelayan dari kedai yang kami pesani makanan tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Dia meletakkan pesanan di atas meja. “Selamat menikmati,” katanya ramah sebelum meninggalkan aku dan Mas Awan.

“Yuk, makan.” Mas Awan memisahkan sumpitnya lalu mulai makan.

Aku mengambil sendok dan garpu, mulai ikut menikmati makanan.

“Aku beneran udah nggak sabar nunggu bisa sekampus sama kamu.”

Sekampus. Kedokteran. Aku tidak pernah bermimpi untuk menjadi dokter. Dari kecil aku lebih ingin menjadi perawat seperti ayah dan mamah. Atau jika tidak ya menjadi guru seperti mbah Kakung.

“Sabar,” kataku. “Masih pengen nikmatin SMA dulu.”

“Ye, kan semuanya harus di-planning, Dek.”

Aku tidak menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepalaku. Aku malas mendebatnya. Lebih baik menurut, lebih aman.

“Coba ya dulu aku masuk sekolahnya nggak kecepetan, pasti kita pernah ngerasain satu sekolah, ya?” Mas Awan tiba-tiba mengajakku berandai-andai. “Coba waktu SD aku nggak lompat kelas.”

Seandainya… Ini lagi. Aku benar-benar tidak menyukai ini. Hidup sudah berjalan, sudah lewat, sudah jalannya seperti itu. Buat apa berandai-andai mengubah masa lalu?

Mas Awan kemudian kembali menceritakan tentang kuliahnya, tentang praktikumnya dan aku kembali menjadi telinga yang mendengarkannya.

Aku melihat lengan kananku. Sekarang ini ada rasa bersalah menggelayuti hatiku karena tiba-tiba aku ingin ada tangan yang menggenggam lenganku lagi. Aku tiba-tiba ingin melihat senyumannya lagi sekarang. Aku tiba-tiba sudah ingin melihatnya lagi. Sekarang.

Bersambung

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 12

13 Comments

  1. oh ya. terus untuk bagian yang si Senja “modus” minta dianter untuk orientasi sekolah mbak. Biasanya kita kalau orientasi tempat baru itu at the first day, khususnya untuk tempat2 krusial seperti toilet dan musholla. Tapi di cerita ini kan Senja sudah lebih dari dua minggu kan ya sekolah. jadi seharusnya dia sudah pernah orientasi tempat2 itu. kecuali jika memang untuk modus aja sih.

  2. it only shows how huge effort you did to research about blindness. fantastic mbak. anyway, saya ga merasa pernah baca bagian ini, yang duduk sebangku ini, di versi awal dulu mbak? iya ga sih?

Leave a Reply