Langit Senja Bagian 2

Sejak bangun tidur tadi pagi semangatku sudah luar biasa meledak-ledak saking senangnya bisa menjamah sekolah lagi. Aku melompat turun dari boncengan ayah begitu motor beliau berhenti di depan sekolah.

“Be good, ya?”

“Siap!” jawabku sebelum kemudian mencium tangan ayah.

“Tataaa!!!!”

Dari suara cemprengnya, aku tahu siapa yang memanggilku.

“Wooiii,” balasku menyambut Ei yang setengah berlari mendatangiku.

“Pagi, Ooooom.” Ei menyapa lalu menyalami ayah.

Ayah tersenyum dan mengangguk ketika menerima salamnya. “Yowes, nitip Tata, ya?”

“Tenang, Om. Pasti saya jagain.”

Ayah kemudian melajukan motornya meninggalkanku dan Ei yang dengan bersemangat memasuki gerbang sekolah. Baru pukul setengah tujuh, sekolah masih sangat sepi. Baru ada beberapa manusia yang datang.

“Udah ngerjain PR Matematika-nya Pak Tri?” tanya Ei.

“Udah, dong!” jawabku.

“Bisa? Hebat dong, nggak ikut pelajarannya udah bisa ngerjain PR-nya.”

“Iya, dong. Kan ada Bu Guru Dewi Purnama yang dateng ke rumah minjemin buku PR-nya kemarin.”

“Hebat ya Bu Dewi Purnama-nya. Pasti orangnya cantik banget, deh!”

“Ngarep!” kataku sambil menoyor kepalanya.

Kami tertawa-tawa. Tapi tawaku langsung terhenti sewaktu sampai di pintu kelas. Kedua mataku terpaku pada sosok yang duduk di bangku paling depan, tepat berhadapan dengan meja guru. Aku tidak tahu apa yang berbeda dengannya. Aku tidak tahu apa yang istimewa dari manusia yang dengan santainya duduk bersandar ke dinding, menyumpal kedua telinganya dengan earphone, dan menutup matanya, menikmati dunianya. Yang aku tahu adalah tiba-tiba sekarang detak jantungku menjadi lebih cepat dari sebelumnya dan napasku rasanya langsung berhenti hanya karena melihatnya. Dia.

Untuk pertama kalinya aku merasa dunia ini terpusat pada satu titik. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar hanya ingin memandanginya. Walaupun jantungku harus bekerja lebih berat dan napasku berhenti, kupikir aku tidak akan apa-apa asal bisa memandangnya seperti ini.

“Rekta!”

Teriakan Ei membuatku kembali bisa bernapas. Ei sudah meletakkan tasnya di bangku favorit kami, nomor dua dari belakang di baris nomor dua terjauh dari pintu masuk. Aku menelan ludah lalu mulai melangkah mendatangi bangkuku, melewati bangku manusia asing itu.

“Kenapa?” tanya Ei sewaktu aku sampai di dekatnya. Sepertinya dia menyadari napasku yang berubah cepat.

“Nggak pa-pa.” Aku buru-buru duduk dan berkali-kali menarik napas panjang, mencoba menenangkan kerja jantungku.

Ei, tanpa dikomando, melihat ke arah yang tadi kulihat. Dia kemudian tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kirain apaan,” komentarnya.

“Apaan emang?”

“Halah.” Ei menjatuhkan diri di kursi sebelahku. “Itu, kan?” katanya sambil menunjuk ke arah pojok depan kelas dengan dagunya.

Duh, pasti tadi aku terlihat bodoh. Untung makhluk asing di pojok depan itu sedang hanyut di dunianya sendiri, jadi dia tidak perlu melihat tampang bodohku.

“Itu siapa?” tanyaku, tak lagi peduli dengan malu. Sudah terlanjur basah, mengapa tak sekalian saja?

“Siswa baru. Sama kayak kita.”

Aku mendelik padanya.

“Ya kan udah bener aku jawabnyaaa.” Ei memrotesku.

“Ya tapi kan pas MOS kemaren ga ada dia,” balasku dengan gemas.

“Telat dia masuknya. Katanya masih ngurus pindahan dulu.”

“Pindahan dari mana?” tanyaku.

Kali ini Ei menoleh padaku, meninggalkan catatan yang tadi dibuka-bukanya.

“Kebanyakan nanya deh,” katanya. “Naksir, kamu?”

Eh? Naksir?

“Ha ha,” balasku.

Aku mengeluarkan buku Matematika dan alat tulis dari dalam tas, mencoba menghindari pertanyaan, komentar, atau pembicaraan jenis lain tentang murid baru itu dari Ei. Aku sedang tak ingin mengawali hari dengan di-“telanjangi”.

Sepertinya Ei juga sedang tak ingin membahasnya lebih lanjut. Syukurlah. Paling tidak untuk sekarang aku bisa agak tenang. Tapi aku harus tetap siaga karena manusia satu ini bisa sewaktu-waktu, tanpa mempertimbangkan ketepatan waktu, mengungkit hal apa pun yang ingin dia ungkit.

“Udah sembuh, Ta?” Reno meletakkan tasnya ke atas meja di belakangku.

“Hehe. Udah, No.”

“Siplah. Kasian tuh si Dewi sendirian terus. Jablay dia dua minggu ini.”

Ei memonyongkan bibirnya ke arah Reno.

“Dew, udah ngerjain PR Biologi?” tanya Reno.

Baca:  TUNANETRA, PESAWAT TERBANG DAN HOTEL VOL. 1

“Udah. Nih!” Ei mengambil LKS Biologi dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Reno. “Kamu udah ngerjain, Ta?” tanyanya padaku.

Seingatku aku sudah mengerjakan PR itu. Seingatku. Aku lantas mengobrak-abrik isi tasku, mencari buku bergambar katak itu. Setelah beberapa saat mencari dan tak berhasil menemukannya, aku mulai panik.

“Mampus!” Aku mengosongkan tas, mengeluarkan semua isinya ke atas meja dan buku itu tetap tak ada di sana.

“Kenapa, Ta? Jangan ngamuk, dong!” Ei bingung melihat tingkahku.

“Aduh, Ei. LKS-nya nggak kebawaaaa!! Gimana, nih?” seruku dengan panik.

“Apa sih, Ta? Heboh amat?!” Damar yang duduk di bangku sebelahku ikut bertanya.

“LKS Biologi-nya nggak kebawa, Daaam..”

“Biologi? Emang hari ini ada jadwal Biologi?” Damar bertanya dengan bingung.

“Emang nggak ada, Dam?”

“Kaga. Biologi kan masih besok.”

Oh iya. Jadwal Biologi kan masih besok.

“Aaaah, Eiii.. Reno.. Monyeeeeet!!” Aku berbalik ke arah Ei. Gadis itu tertawa terpingkal-pingkal, puas sekali berhasil membuatku panik.

Sepertinya teriakan panikku tadi lumayan keras. Karena kelas yang sudah mulai padat penduduk itu kemudian menjadi gaduh oleh suara tawa.

“Yeee, lagian siapa yang bilang kalau hari ini ada Biologi? Kan kamu yang bikin kesimpulan sendiri.” Ei masih tertawa.

“Ho oh. Aneh!” Reno ikut berkomentar sambil asik menyalin pekerjaan Ei.

Sial. Ah, biarlah. Mana tadi semua orang ikut tertawa. Malu-maluin.

Tanpa sengaja aku memandangi si Makhluk Asing di pojok depan. Kedua telinganya sudah tidak lagi tersumpal earphone dan punggungnya sudah tidak lagi disandarkan ke dinding. Tubuhnya sudah dicondongkan ke arah Eko, teman sebangkunya. Entah apa yang sedang dia bicarakan dengan manusia pendiam itu, tapi aku melihatnya tersenyum, seperti sisa tawa, sepertinya dia tahu kehebohan dan kebodohanku tadi. Dan lagi-lagi jantungku seperti disuntik adrenalin, berdetak dengan cepat sewaktu melihatnya, hanya dengan melihatnya. Aku ini kenapa?

Pertanyaanku teralihkan oleh Pak Budi yang masuk ke dalam kelas dengan penuh semangat seperti biasanya. Guru satu ini memang selalu punya semangat yang berlebih dan menular, cocok untuk mengisi jam pertama dan menjadi pengalih perhatianku.

“Saya cek kehadiran dulu, ya?” kata Pak Budi setelah memimpin doa. Beliau mengangkat buku daftar hadir siswa yang ada di atas meja guru lalu mulai memanggili anggota kelas satu persatu.

Awalnya, yang akan aku tunggu dan perhatikan adalah saat namaku dipanggil. Untuk tiga puluh sembilan nama yang lain, aku tidak akan peduli. Tapi sewaktu Pak Budi sampai pada urutan nama berawalan huruf L, mau tidak mau aku harus peduli.

“Langit Senja?”

Detak jantungku meningkat sewaktu aku mendengar Pak Budi memanggil nama itu. Aku melihat penghuni kursi pojok depan dekat meja guru itu mengangkat sebelah tangannya. Ya, dia yang tadi pagi sudah berhasil menyita seluruh perhatianku tanpa harus melakukan apa-apa itu. Namanya Langit Senja.

“Langit Senja?” tanyaku pelan tanpa berhasil aku cegah.

“Iya. Senja. Langit Senja.” Ei berkomentar di sampingku dengan suara super pelan. “Surprise!” katanya lagi. Dia tersenyum sewaktu aku menoleh padanya.

Jadi ini kejutan yang dikatakan Ei kemarin? Mengapa harus Langit Senja? Mengapa dari sekian banyak nama dan pilihan kata di dunia ini, orang tuanya harus memberinya nama Langit Senja? Padahal tanpa harus ada nama itu pun, dia sudah menarikku seperti magnet. Mengapa masih harus ditambah dengan nama itu?

“Rekta Adisty Utomo?”

Ei menyikutku. “Dipanggil ituh!”

Dengan cepat aku mengangkat sebelah tanganku. “Hadir, Pak,” jawabku.

“Sudah sembuh?” Pak Budi menyempatkan diri menanyakan kabarku.

“Sudah, Pak.”

Pak Budi mengangguk-angguk dan meneruskan memanggil sisa anggota kelas lainnya. Kegiatan berlanjut, hidup berlanjut tapi sepertinya, buat sesaat, tidak dengan duniaku. Duniaku berhenti di dia, di Langit Senja.

***

Sepertinya badanku belum benar-benar bisa diajak bekerja sama. Pelajaran belum lama berjalan dan aku sudah mulai merasa lemas. Setengah mati aku menahan lemas sampai akhirnya menyerah dan meletakkan kepala di meja.

“Heh, kamu kenapa, Ta? Masih lemes?” Ei berbisik sambil menyikutku.

“Iya, Ei. Lemes…” Aku balas berbisik.

“Rekta.”

Aku langsung menegakkan badan begitu mendengar namaku dipanggil. Semua langsung menoleh ke arahku. Ibu Yulia, guru bahasa Inggris yang sedari tadi aku pikir begitu sibuk menerangkan di depan sehingga tidak memperhatikanku, mengacungkan spidol ke arahku.

“Could you please come up here and describe about yourself to your classmates?”

“Gimana? Kuat nggak? Kalau nggak, ta anterin ke UKS?” tanya Ei dengan khawatir.

“Nggak pa-pa,” jawabku sambil berusaha berdiri. “Yes, Ma’am.”

Aku menyeret langkah ke depan kelas. Setiap orang yang aku lewati tampak menahan senyuman, termasuk Senja. Mereka sepertinya berpikir kalau Ibu Yulia memanggilku karena aku tertidur.

“Are you okay, Rekta? You look so pale,” sambut Ibu Yulia di depan kelas.

“I’m fine, Ma’am.”

“Okay then, please describe about yourself.” Ibu Yulia tersenyum.

Aku menarik napas dalam dan sekuat tenaga menahan diriku untuk tidak melihat ke arah pojok depan kelas. Aku lantas memasang senyuman lebar.

“Hi. I’m Rekta. I’m a hundred and fifty five centimeters tall. I have black wavy hair and dark brown eyes. I have dimple in booth my cheeks?” Kalimatku berakhir dengan nada tanya. Tak terlalu yakin mau mengatakan apa.

Baca:  Arti Sebuah Pengorbanan Bagi Para Semut

“Very good, Rekta.” katanya lagi. “Now please describe about one of your classmate.” Ibu Yulia menjelajahi daftar hadir. “Langit Senja.”

Mampus! Kenapa harus dia?

Aku melirik Senja. Dia sama terkejutnya denganku saat mendengar namanya disebut. Tapi, aku bisa melihat senyuman di wajahnya. Dia sepertinya menunggu apa yang akan aku katakan tentangnya.

“I’m sorry, Ma’am. But I don’t really know him. I just met him today.” Aku memohon kepada ibu Yulia untuk mengganti subyek yang harus aku deskripsikan dengan suara sepelan mungkin.

“That’s okay. You just need to describe his appearance. What does he look like?”

Aku menelan ludah. Jantungku lagi-lagi seperti disuntik adrenalin, bekerja sangat cepat.

“Langit Senja.” Aku menelan ludah lagi. “He’s maybe one hundred and seventy centimeters tall…” kataku tak yakin. “He has straight black hair, black eyes…” Aku melihatnya tersenyum dan napasku menjadi semakin sesak, membuat otakku kekurangan oksigen. “And a beautiful smile.”

Kelas langsung menjadi riuh. Aku langsung membekap mulutku sendiri. Ya Tuhan, Apa yang baru saja kukatakan? Beautiful smile? Sial. Sepertinya otakku memang kekurangan oksigen sekarang sampai-sampai dia tidak lagi bisa berpikir jernih.

“Hey, silence please!” Ibu Yulia memberi kode kepada kelas untuk tenang. “Very good, Rekta.” Ibu Yulia menepuk bahuku sambil menahan senyuman geli. “Okay, you may sit down.”

Otakku masih belum bisa berpikir jernih. Aku melangkah kembali ke bangku dengan perasaan melayang yang aneh. Ibu Yulia lantas melanjutkan menerangkan tentang what does it look like sampai bel tanda istirahat berbunyi.

“So, beautiful smile, huh?” Ei tiba-tiba menoleh padaku dengan senyuman penuh arti begitu Ibu Yulia melangkah keluar kelas.

Aaaarghh!!! Ini bakalan jadi hari yang panjaaaaang.

“Kantin, yuk!” ajak Ei kemudian.

“Kantin?” tanyaku ragu-ragu.

“Iya. Kamu tuh kayaknya butuh suntikan gula biar nggak lemes.”

“Mau ngerjain ini dulu.” Aku menunjuk LKS Fisika yang seharusnya sudah kukerjakan di rumah kemarin.

“Halah. Itu bisa dikerjain nanti. Lagian masih buat lusa juga PR yang itu. Nggak bosen belajar terus?” Ei menarik sebelah tanganku, memaksaku berdiri. “Buruan!”

Mungkin Ei benar. Mungkin suntikan gula dari beberapa makanan atau es teh bisa membantu menormalkan kerja otakku.

“Ta, buruan!”

“Iya, iya..,” kataku sambil bergegas berdiri dan mengikuti Ei keluar kelas.

Getaran dari dalam saku rokku membuatku dengan cepat mengeluarkan ponsel yang terbungkus karet silikon berwarna oranye itu.

Mas Awan : Nanti siang aku jemput. Jgn jajan sembarangan, ya? Love you.

“Siapa?” tanya Ei.

“Mas Awan.”

Aku bersandar di dinding luar kantin. Malas sekali masuk ke ruangan sempit yang dijejali banyak manusia itu. Biar Ei sajalah yang berjuang di sana.

“Ei, nitip donat cokelat, ya? Satu aja. Sama teh kotak.”

“Eh, lah. Kaga masuk?”

“Ogah. Penuh. Kamu aja, gih. Kamu kan langsing, bebas bergerak.”

Ei manyun. Tapi dia tetap masuk ke dalam kantin dan tak lama kemudian sudah keluar dengan seplastik pesananku.

“Makan di kelas aja, yuk!” katanya sambil menyerahkan teh kotak padaku. “Sumpek.”

Aku menurut lalu berjalan bersamanya ke kelas.

“Nggak nyangka ya kalian bisa ngelewatin tahun kedua,” komentar Ei tiba-tiba. “Padahal kan kamu dulu cuman iseng aja nerima dia.”

“Yah, hidup kan emang nggak ada yang bisa nebak, Ei.”

“Tapi, bisa ya kamu ngejalanin hubungan tanpa cinta gitu.”

“Cinta? Emang cinta itu apaan?”

Ei tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia menghela napas lalu mengangkat bahunya.

“Tau juga,” katanya. “Tapi, paling nggak kan buat bisa ngejalanin suatu hubungan itu kudu ada rasa suka gitu, Ta. Lah kamu?”

“Emang menurut kamu aku nggak suka gitu sama Mas Awan? Kalau aku nggak suka, buat apa aku bertahan selama dua tahun?”

“Itu dia pertanyaannya, Ta. Kamu emang suka sama Mas Awan? Kamu cinta sama dia?”

“Suka, cinta, itu semua kan bisa ditumbuhin, Ei.”

“Terus, udah tumbuh sekarang?”

“Ya semua butuh waktu.”

Ei menjatuhkan diri ke atas kursinya, menyandarkan diri ke dinding. “Ape kate elu, dah. Nih, makan.” Dia menyerahkan donatku.

Tiba-tiba nafsu makanku hilang. Aku meletakkan kepala di meja dan tidak tahu bagaimana, pandanganku tepat mengenai Senja yang lagi-lagi sedang asik dengan dunianya sendiri. Enak sekali hidupnya. Asik sekali dia, bisa punya waktu untuk bersantai seperti itu.

Ah seandainya saja hidupku juga bisa seenak itu. Seandainya saja aku bisa bersantai, tak perlu memikirkan apa-apa, bisa menikmati hidup seperti dia. Sayangnya aku tidak punya waktu untuk semua itu. Waktuku tak boleh kuhabiskan untuk apa pun yang tak penting seperti itu.

***

Hari ini benar-benar luar biasa dan aku mulai merasa hidupku akan bertambah berat setelah di kelas ada manusia bernama Langit Senja. Bukan hanya karena dia semenjak tadi pagi sudah mengganggu konsentrasiku, tetapi juga karena ternyata dia itu sudah seperti ensiklopedia berjalan. Seharian ini tadi tidak ada satu pun mata pelajaran yang dia lewati tanpa mengangkat tangan. Kalau tidak jawab pertanyaan, ya bertanya. Aah.. padahal dengan adanya Ei saja di kelas rasanya sudah beraaat banget. Sekarang kenapa harus ada dia lagi?

Baca:  Ramayana (Seri 6)

“Heh, bengong aja! Pulang nggak?” Ei menyikutku. Meja di hadapannya sudah bersih. Semua buku dan alat tulisnya sudah masuk ke dalam tas.

Dengan malas aku memasukkan buku-bukuku ke dalam tas lalu menggendongnya. Aku kemudian mengikuti langkah Ei meninggalkan bangku kami. Buat sesaat, aku melirik ke arah Senja sewaktu melewati barisan bangkunya. Dia masih sibuk mengobrol dengan Eko, sambil menutup tas. Dia tersenyum sewaktu aku lewat, tapi, untungnya, dia tak melihatku. Ah, dadaku bertalu-talu lagi. Cepat-cepat aku mengambil langkah mengejar Ei yang sudah sampai di pintu.

“Pulang sama siapa?” tanya Ei begitu aku sampai di sisinya.

“Mas Awan jemput.”

“Oh. Nggak ada kuliah dia?”

Aku menggeleng. “Kagak.”

“Eh, Ta. Perasaan dari tadi kamu sering liatin Senja. Kamu suka?”

Apa kubilang. Tak ada angin, tak ada hujan, Ei tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu sesuai dugaanku. Tiba-tiba.

“Bawa pulang aja, sih.”

“Eh, whot?!!” kataku, tidak terima dengan tuduhannya.

“Ya habis, dari tadi pagi udah liatin dia. Tiap kali lewatin bangkunya, pasti liatin dia juga. Pasti kamu suka ya? Kan kamu tergila-gila sama langit senja.”

“Langit senjanya sih iye. Tapi kalau orangnya?” Aku menggeleng-gelengkan kepala.

Ei mencibir. “Halah. Kita liat aja, deh,” katanya. “Ya udah, aku duluan, ya? Mau jemputin Abim. Kamu berani kan sendirian nunggu jemputan?”

“Udah pergi sono! Jangan sampe adek kamu ilang lagi gara-gara telat dijemput.” Aku mendorong tubuh Ei menjauhiku.

Ei melambaikan tangan kemudian melangkah menuju tempat parkir yang ada di luar pagar sekolah. Tak lama, dia sudah di atas motornya dengan helm terpasang di kepala, lewat di depanku sambil memberikan ciuman jauh.

“Ati-ati,” kataku sambil melambaikan tangan padanya.

Aku mengecek jam tangan berwarna oranye yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Sudah jam dua kurang seperempat tapi Mas Awan belum datang. Dengan malas aku bersandar di gapura pintu masuk sambil mengecek ponsel. Siapa tahu dia memberi kabar karena biasanya dia tidak pernah terlambat. Dan ya, memang ada pesan dari dia.

Mas Awan : Sori, agak telat. Jam kuliah agak molor. Tunggu ya? Love you.

Pesan itu masuk sepuluh menit yang lalu.

“Beneran nggak pa-pa?”

Aku mendengar suara Eko di belakangku. Awalnya aku tak akan peduli, masih akan bertahan pada layar ponselku dan membalas pesan singkat Mas Awan. Tapi, sewaktu secara tak sengaja ekor mataku menangkap sosok yang ada di samping Eko, aku menoleh.

Dia berdiri di sisi Eko dengan sebelah tangannya menggenggam lengan Eko. Dia membuatku tiba-tiba membeku, menyita seluruh perhatianku, membuatku hanya bisa memandanginya. Senja.

“Beneran nggak pa-pa, Ja?” Eko mengulangi pertanyaannya.

“Iya. Tenang aja.” Senja melepaskan genggaman tangannya lalu meluruskan tongkat yang tadinya terlipat di genggaman tangan kirinya.

Aku menelan ludah dan masih membeku menatapnya. Tidak. Tidak mungkin dia tunanetra. Dia tidak seperti tunanetra. Tapi, kalau dia bukan tunanetra, mengapa dia membawa tongkat putih itu?

“Ja.” Eko memanggil Senja yang sudah siap melangkah.

“Beneran nggak pa-pa, Ko. Kamu kan juga harus buru-buru pulang.” Senja tersenyum.

“Tapi..”

“Now you sound like my mom.” Senja tertawa. “Rumahku deket ini. Santai aja. Aku udah apal, kok. Duluan, ya?” lanjutnya. “Duluan ya? Rekta?” katanya sewaktu melewatiku sebelum kemudian melangkah dengan bantuan tongkat putihnya.

“Eh, iya…. Ja..,” jawabku kaget.

Gimana dia bisa tahu? Padahal dari tadi aku diam saja.

Aku langsung menoleh pada Eko yang juga masih berdiri di sisiku, memperhatikan Senja yang sudah mulai menjauh.

“Ya, itulah Senja,” kata Eko tanpa aku harus berkomentar.

“Ko, dia ….” Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku.

Eko mengangguk, menjawab pertanyaan yang bahkan tak bisa kuselesaikan. Eko kemudian tersenyum. “Yuk, Ta. Duluan.”

“He eh.”

Dadaku sekarang rasanya seperti diaduk-aduk. Detak jantungku masih saja beradu dan sepertinya semakin cepat sewaktu tadi Senja menyapaku. Ini perasaan apa sebenarnya? Rasanya begitu asing, begitu menyakitkan, tapi membuatku ingin merasakannya lagi. Membuatku mencandu.

“Ta!”

Aku hampir terlonjak. Dengan cepat aku mendatangi Mas Awan yang baru saja berhenti tak jauh dariku dan memasang senyuman terbaikku begitu sampai di depannya.

“Kok pesanku dari tadi pagi nggak dibales?” tanyanya sambil memakaikan helm di kepalaku.

“Harus dibales ya?” tanyaku sambil menyunggingkan senyuman usil.

“Hmmm… Dasaar.” Mas Awan menggeleng-gelengkan kepalanya lalu membantuku naik ke boncengannya.

Mas Awan tak berkomentar lagi. Dia melajukan motornya perlahan.

Aku menoleh, mengamati Senja sewaktu motor yang kunaiki melewatinya. Dia tersenyum tersenyum, seperti tahu keberadaanku.

“Duluan, Ja,” kataku akhirnya, entah mendapat keberanian dari mana.

Dia mengangguk sebelum kemudian berbelok di pertigaan dekat sekolah.

“Siapa?” tanya Mas Awan.

“Temen.”

Mas Awan tak berkomentar lagi. Untunglah. Untungnya juga, Tuhan menciptakan jantung di dalam rongga dada, jauh di dalam. Jadi, Mas Awan tidak perlu mendengar detak jantungku yang bertalu-talu seperti memukul ingin keluar. Jadi dia tidak perlu tahu tentang kecepatan detakannya yang luar biasa karena manusia bernama Senja.

Bersambung.

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 12

9 Comments

  1. eh tapi ini bagus juga sih mbak fenomena orang awas yang selalu terheran-heran sama tunanetra yang dianggapnya sakti. kok bisa tahu kalau ada orang ini di sana. kok bisa ini itu padahal ga melihat, dll. Meski agak “mistis”, tapi ya itu realitanya. Mungkin menarik kalau langsung terjawab di seri selanjutnya yang dengan kejadian sama tapi perspektif berbeda. atau mungkin memang lebih seru kalau perspektif ini saja sampai habis ya

  2. mbak, gimana dipostingnya bergantian antara sudut pandang si Rekta yang bukan tunanetra dan Senja yang netra? kayaknya seru sebab yang sudut pandang satu lagi kan memang sudah ada.

Leave a Reply