Langit Senja Bagian 1

Langit di kala senja, warna oranye, dan buah jeruk. Tiga objek yang saling berlainan namun ada keterikatan satu sama lain. Hal itu yang selalu menarik perhatian tokoh dalam cerita ini. Dinikmatinya tiap detik menjelang matahari terbenam seakan bercumbu dengannya.

“Pacaran terus sama senjaaa.”

Aku menoleh, meninggalkan pemandangan matahari terbenam di hadapanku. Ei, yang kata orang adalah saudara kembarku yang pernah hilang, berdiri di pintu kamar. Dia tersenyum lalu melangkah cepat memasuki kamar tanpa menunggu aba-aba lagi.

“Beneran udah baekan?” tanyanya begitu sampai di dekatku. Aku mengangguk cepat. “Geser!” katanya kemudian.

Gadis manis itu kemudian menyempilkan tubuh kurusnya di sisa jendela yang ada di sebelahku. Tapi, berbeda dariku, dia enggan berbalik dan membiarkan kedua kakinya menggantung di udara. Dia memilih memunggungi matahari.

“Gimana sekolah?” tanyaku.

“Biasa aja. Ya alhamdulillah sih nggak ada kamu. Hidupku jadi jauuuuh lebih tenang.”

“Sial!” Aku menyikutnya.

Ei tertawa. Sebelah tangannya lantas merogoh tas sekolah dan kembali keluar bersama satu buah jeruk. Dia tersenyum, menyerahkan buah berkulit oranye itu padaku.

“Makasiiih,” kataku sok manja.

“Makasih.. makasih,” cibirnya. “Ada gitu orang baru sembuh dari tipes mintanya jeruk. Pokoknya aku nggak ikut-ikut kalau sampai ketauan ayah kamu!”

Aku mengangguk cepat, secepat aku mengupas kulit jeruk berwarna oranye itu. Oranye, warna kesukaanku, yang selalu menemani akhir hariku.

Baca:  Langit Senja Bagian 10

“Sebenernya apa sih bagusnya langit senja? Kayaknya kamu hobiii banget liatin tuh warna oranye.” Ei mulai berkomentar tentang kebiasaanku. Mungkin dia mulai bosan menghabiskan waktu hanya untuk memandangi langit tempat matahari pulang itu.

“Ngebosenin, ya?” tanyaku sambil menyerahkan jeruk yang sudah aku kupas ke tangannya.

“Ngebosenin sih enggak. Cuma aneh aja ada orang yang segitu cintanya sama langit senja dan warna oranye kayak kamu. Emang pernah ada apa sih antara kamu sama oranye?” Ei membagi dua sisir-sisir jeruk itu dan menyerahkan separuhnya padaku.

“Mungkin karena aku lahirnya pas senja kali, ya? Jadi ngerasa ada keterikatan khusus sama senja, langit senja, sama oranye.” Aku memasukkan sesisir jeruk ke dalam mulut. Rasa asam dan manis langsung beradu dengan ujung-ujung saraf pengecapan yang ada di sana.

Ei memasukkan dua sisir jeruk sekaligus ke dalam mulutnya. “Masak? Perasaan aku lahir waktu malem juga nggak ada rasa keterikatan sama malam,” katanya dengan mulut dipenuhi jeruk.

“Heh, telan dulu baru ngomong! Kayak kumur-kumur!”

Ei memonyongkan bibirnya, membuatku tertawa.

“Aku udah ketinggalan pelajaran jauh, ya?” tanyaku.

“Mmm.. lumayan. Tapi belum ada yang UTS, kok. Tenang aja. Pasti bisa ngejar. Nggak mungkin temennya mantan juara umum SMP sekotamadya nggak bisa ngejar pelajaran. Harga diriku dipertaruhkan.” Ei memenuhi mulutnya dengan jeruk lagi.

“Percaya yang tiga taon juara umum teruuuuss. Songong!”

Ei tertawa. “Tapi payah, ah. Masak cuman gara-gara MOS aja sakit.”

“Ya kan bukan aku yang minta sakit juga. Ga bisa nolak.” Aku mengambil satu lagi sisir jeruk dan memasukkannya ke dalam mulutku.

“Tapi sebenernya bisa kan dicegah?” tanya Ei.

eAh, dia mulai lagi.

“Eh, liat!” Aku menunjuk ke arah langit di depan mataku yang hampir sepenuhnya oranye. “Cantik, ya?” tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan sebelum dia mulai mengomel dan menasihati ini itu panjang lebar seperti biasanya.

Tidak ada komentar dari Ei. Waktu aku menoleh padanya, dia memutar bola matanya.

“Ah, payah. Nggak bisa liat kecantikan.”

“Hmm.. kalau aku bisa ngeliat kecantikan, aku pasti udah milih yang cantik-cantik buat dijadiin temen, nggak kayak kamu.”

“Monyet!” Aku menarik rambutnya.

Ei tertawa, balas menarik rambutku lalu melompat turun dari jendela, mendatangi tasnya. Buat beberapa saat aku memandangi gadis itu. Aku ternyata bisa kangen juga sama manusia yang suka bicara ceplas-ceplos, sembarangan, galak, sok tahu, tukang atur, sok dewasa, dan cerewet ini. Sejak masuk rumah sakit dua minggu yang lalu, aku hanya bisa bertemu dengannya tiga kali. Padahal biasanya hampir setiap hari aku bisa bertemu dengannya.

Baca:  Tuhan Saja Yang Baik

“Kamu beneran udah sembuh, Ta?” Ei sudah berbalik dan ganti memandangiku, memerhatikan wajahku. Dia mendatangi jendela, kembali duduk di jendela dengan sebelah tangan membawa dua buah buku.

“Alhamdulillah,” jawabku sebelum mengunyah sisir terakhir jerukku. “Aku baru tahu kalau ternyata kehadiranku itu kayak udara ya buat kamu?” Aku memajukan bibir seolah ingin menciumnya.

Ei dengan cepat mendorong kepalaku menjauh. “Heh, aku nih kalau nyari pasangan pilih-pilih juga kali,” katanya.

Aku tergelak. “Kangen ikut upacaraaa,” kataku begitu tawaku reda.

“Yaelah. Ada gitu manusia yang kangen ikut upacara.. Kalau kangen kenapa nggak masuk tadi?”

Aku menjatuhkan kepala di bahu Ei. “Habis surat ijinnya masih sampe hari ini,” kataku. “Kangen sekolah.”

“Salah sendiri sakit.”

“Ada kabar apaan di sekolah?”

“Udah dibilang nggak ada apa-apa. Ya gitu-gitu aja.”

“Ada yang nyariin aku, nggak?”

“Emang sape elu?”

“Masak lupa?”

“Penting dijawab?”

Kami kemudian diam. Aku kembali memandangi matahari yang mulai benar-benar pulang, cuma meninggalkan segaris warna oranye di perbatasan langit dan bumi.

“Hmm.. apa sebaiknya kita ini jadian aja, ya?” kata Ei tiba-tiba.

Aku langsung mengangkat kepalaku dari bahunya, meletakkan kedua tanganku di pipinya, menarik wajahnya, mendekatkannya ke wajahku, lalu berbisik, “Monyet!”

“Hahahaha.” Ei tergelak. “Monyet juga!”

“Awas!” Aku mendorong tubuh Ei, memaksanya berdiri agar aku bisa turun dari jendela. “Ada PR apa buat besok?”

“Besok? Matematika.” Ei menyerahkan dua buah buku yang sudah dipegangnya semenjak tadi. “Sama Bahasa Indonesia… Nih. Kurang baek apa coba aku ini ke kamu?” katanya seraya menyerahkan PR-nya padaku.

“Makasih, Cintaaaaa.”

“Pret!” sambungnya. “Ya udah. Aku pulang dulu, yak?”

“Yah kok pulang?” tanyaku tak rela.

“Nek, ane belum pulang dari tadi pagi inih. Tadi dari sekolah langsung bimbel. Nggak liat seragam udah lusuh kayak gini?”

“Iya iyaa. Ya udah. Ati-ati. Perlu kuantar sampe luar?” tanyaku.

Kepala Ei tergeleng cepat. “Nggak usah. Udah hapal jalan pulang, kok,” jawabnya asal, membuatku tertawa. “Lagian, muka kamu masih pucet gitu. Istirahat dulu aja.”

Baca:  The Sixth Sense

“Iya.”

“Ya udah. Aku pulang beneran. Dee, ciiin…”

Ei melangkah cepat meninggalkan kamar. Tak lama kemudian aku mendengarnya berpamitan pada ayah dan mamah yang ada di lantai bawah.

Kamarku sepi lagi. Tawa dan senyuman yang tadi sempat dibawa Ei, sekarang mendadak hilang lagi. Apalagi ketika kedua mataku mau tak mau menatap tulisan besar yang ditempelkan ayah di atas meja belajarku.

Harus jadi dokter!!

“Harus jadi dokter,” gumamku dengan senyuman pahit. “Harus…”

Aku menghela napas lalu menarik kursi dan duduk, bergegas membuka buku-buku yang sudah satu minggu lebih tidak kubuka. Kerja kerasku dimulai lagi. Harus kumulai lagi. Aku mulai menjelajahi catatan yang dibuat Ei. Untungnya, kami punya cara belajar yang sama. Jadi, aku tak terlalu bingung membaca catatannya yang hanya berisi singkatan-singkatan dan tanda-tanda panah itu. Tapi, belum sempat aku membaca satu kata saja, ponsel yang tadi kutinggalkan di atas kasur tiba-tiba mengeluarkan bunyi percikan air, menandakan sebuah pesan masuk. Dengan malas aku berdiri lalu meraihnya.

Ei : Ta, tadi ada yg kelupaan.

Ei : Bsk beneran udah msk sekolah, kan? Tar malem tidur yg nyenyak, yak? Besok ada kejutan buat kamu di sekolah.

Keningku berkerut. Kejutan? Dengan cepat aku berlari ke jendela dan aku benar. Ei masih ada di depan pagar rumah, di atas motornya, menatap ke arah jendela kamarku.

Pesan itu kubalas.

Me : Kejutan apaan?

Aku melihat Ei menundukkan pandangannya ke arah ponsel, lalu dengan cepat sebuah balasan masuk.

Ei : Besok!!! Bukan kejutan namanya kalau diomongin

Me : Kalau emang kejutan harusnya jg ga usah diomongin tadiiiii!!!

Ei : Iya ya? Hahaha.. Yaudah. Anggep aja aku nggak pernah kirim bbm ke kamu. Hahaha..

Me : Sableng!

Tawa Ei terdengar hingga ke jendela kamarku. Gadis itu kemudian melambaikan tangan lalu segera melajukan motornya dan menghilang setelah berbelok di pertigaan. Dasar manusia aneh.

“Kejutan…” Aku kembali bergumam, urung mendatangi buku-buku yang sudah terbuka di atas meja. Rasanya mereka semakin tak menarik lagi sekarang. Otakku lebih memilih memikirkan tentang kejutan yang baru saja dibahas Ei.

“Aaaah. Ei setaan!!” seruku dengan kesal.

Bersambung.

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 12

6 Comments

Leave a Reply