Pagi itu udara cerah. Matahari bersinar terang menerangi kumpulan pepohonan yang rindang. Langit biru yang luas dan bertabur awan putih seperti kapas menaungi hutan. Di tanah yang beralaskan rumput hijau nampak sebuah lubang yang merupakan sarang kelinci. Di dalam salah satu lorong di bawah tanah seekor ibu kelinci berteriak.
“Bangun Bonnie, bangun cepat! Nanti kamu terlambat.”
Bonnie, salah satu anak kelinci menggeliat dengan malas. Dengan mata setengah terpejam ia menarik selimut menutupi kedua telinganya yang panjang dan berpura-pura tidak mendengar. Ibu kelinci memanggil lagi. Ia berhenti mengetuk pintu dan mencoba membukanya.
“Bonnie! Ayo bangun, sudah siang.” Ia menghampiri gundukan yang tertutup selimut di tempat tidur dan menarik selimut itu.
“Uuuh, Ibu,” gerutu anak kelinci berbulu oranye itu sambil mengucek mata.
“Ayo cepat bersiap-siap! Ini sudah siang. Kamu bisa terlambat ke sekolah,” omel ibunya sambil menarik salah satu telinga Bonnie yang panjang. Kelinci kecil itu mengaduh.
“Aduuuh Ibu, sakit! Iya deh, aku bangun.”
Dengan malas ia menyeret tubuhnya yang tambun melewati ambang pintu. Sesekali ia menguap. Di dapur yang terletak di ujung lorong terlihat lima anak kelinci lainnya. Mereka sedang duduk manis mengitari hidangan yang tertata di meja. Mulut mereka tidak henti-hentinya bergerak pertanda mereka sedang sibuk mengunyah. Melihat Bonnie datang salah satu di antaranya menghentikan kunyahannya.
“Halo Bonnie, baru bangun? Rajin amat, jam tujuh baru bangun,” ujar Connie, kakak perempuannya yang berbulu putih dan bertelinga coklat dengan nada manis. Bonnie menggertakkan gigi sementara saudara-saudaranya yang lain tertawa.
“Hai Gendut, baru bangun ya?” sambung salah satu kakak laki-lakinya yang bernama Grico. Matanya yang merah berkilat jahil memandang adik bungsunya itu. Bonnie mengepalkan tangan. Ia paling tidak suka dipanggil Gendut. Ia ingin membalas ejekan kedua kakaknya itu, namun sebelum ia sempat bereaksi dengan lincah Connie melompat dari kursi.
“Bye Bu, aku berangkat dulu. Sudah hampir terlambat.” Sambil mengucapkan kata-kata itu ia melesat ke pintu lubang dan keluar diikuti empat saudaranya.
Tinggallah Bonnie dan ibunya berdua di dapur. Sang ibu yang sedang sibuk membersihkan lantai lalu pergi ke ruangan lain. Dengan geram Bonnie menggigit potongan wortel yang tersedia di piring. Dalam hati ia mengeluh. Ia merasa Saudara-saudaranya tidak menyayanginya. Itu terbukti dari sikap mereka yang selalu mengejeknya setiap kali ia berbuat salah. Seperti yang dilakukan Connie dan Grico tadi. Bonnie menghabiskan potongan wortel yang pertama dan mengambil lagi.
“Astaga Bonnie, sudah jam berapa sekarang?” Ibu kelinci yang baru kembali dari membereskan kamar anak-anaknya melotot memandang Bonnie yang sedang melahap potongan ketiganya. Dengan cepat pandangannya berpindah ke jam bandul besar yang berdiri di sudut dapur. Bonnie pun terkejut. Ia terlalu asyik membayangkan apa yang ingin dilakukannya pada saudara-saudaranya, sehingga ia lupa waktu.
“Ya ampun! Aku terlambat,” serunya. Ia bergegas menelan sisa sarapannya dan lari ke pintu. Di sepanjang jalan tidak putus-putusnya ia berlari. Sial, makinya di dalam hati. Sudah beberapa menit berlalu lepas dari pukul tujuh. Ia terus berusaha untuk sampai di sekolah secepat mungkin. Akhirnya Bonnie melihat gerbang sekolah yang ditandai dua batang kayu yang ditumbuhi aneka jamur berwarna-warni yang berdiri mengapit jalan masuk ke kompleks sekolah. Kompleks itu sendiri terdiri dari deretan kelas. Setiap kelas terdiri dari dua batang pohon dengan dahan dan sulur yang saling berkait membentuk atap yang rapat, sehingga jika turun hujan air tidak akan mengenai para siswa yang sedang belajar.
Dengan napas terengah-engah sang kelinci kecil tiba di kelasnya. Ia mendadak tersentak ketika melihat sosok yang berjalan mondar-mandir di depan kelas sambil menerangkan materi pelajaran. Itu Pak Falgro, seekor burung elang yang sehari-harinya mengajarkan pelajaran berhitung. Bonnie langsung melangkah mundur dengan ketakutan. Sosok Pak Falgro yang besar, berparuh dan bercakar tajam sangat menakutkan baginya. Apalagi bila ingat pelajaran yang diajarkannya. Bonnie bergidik. Sesaat ia terdiam dan mempertimbangkan untuk membolos, namun sayangnya ia terdiam satu detik terlalu lama. Pak Falgro tiba-tiba menoleh dan melihatnya. Matanya berkilat.
Bonnie bergidik dan mundur selangkah. Bulu di sekujur tubuhnya berdiri. Seperti teman-temannya yang lain ia juga tidak menyukai Pak Falgro yang tegas dan disiplin.
“Bonnie!” Suaranya yang menggelegar membuat hati si anak kelinci makin ciut. Pak Falgro membelalakkan matanya yang tajam kepada Bonnie yang kian gemetar. “Masuk!
Dengan ketakutan Bonnie masuk ke kelas. Lututnya terasa lemas saking takutnya. Pak Falgro ini tidak segan-segan memberi hukuman keras.
“I…iya Pak,” cicit Bonnie. Ia berdiri di dekat meja guru sambil menunduk, tidak berani menatap wajah sangar Pak Falgro. Sang elang melangkah mendekat. Jantung Bonnie berdebar keras ketika bayangan gelap gurunya terpantul di lantai dan menutupi bayangannya sendiri. Sementara itu kelas menjadi hening. Semua siswa yang biasanya ribut bercicit, mengeong, melenguh, dan menggonggong kini diam seribu bahasa. Mereka tampak mengerut di kursinya masing-masing. Tanpa mempedulikan tingkah murid-muridnya Pak Falgro menatap Bonnie lekat-lekat.
“Kamu tahu sudah berapa kali kamu terlambat tahun ini?” tanyanya dengan nada yang menciutkan hati seisi kelas. Bonnie menggelengkan kepala tanpa berani menatap wajah gurunya. “Kamu harus belajar disiplin. Pelajaran ini sudah berlangsung setengah jam. Sekarang berdiri di sudut itu.”
Bonnie tidak berani membantah. Masih dalam posisi menunduk ia melangkah perlahan ke sudut kelas. Dengan perasaan kesal bercampur malu ia melihat bahwa semua teman-teman sekelasnya memandangnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang tampak kasihan seperti Molly si anak sapi yang duduk di deretan depan. Tock dan Serena, kedua sahabat dekatnya menggerakkan bahu seolah berkata “Kami tidak bisa berbuat apa-apa, Sobat. Jadi sabarlah.”
Dengan sembunyi-sembunyi Bonnie melotot ke arah mereka. Ia tidak menyukai cara mereka memandang. Anak-anak lain seperti Leo dan Mia anak-anak kucing dan Dori si anak kancil tampak tak peduli. Ketiganya berpura-pura menyimak setiap kata yang keluar dari sela-sela paruh Pak Falgro. Kejengkelan Bonnie melonjak ketika pandangannya tiba di bangku belakang. Tampak Moni sang simpanse kecil dan teman sebangkunya musang bernama Willy memperagakan gerakan-gerakan kurang ajar seperti menyeringai dan menjulurkan lidah ke arahnya. Semua itu dilakukan saat Pak Falgro sedang membelakangi mereka untuk menulis di papan tulis.
Semua itu membuat Bonnie gatal ingin menonjok mereka. Namun ia tahu bahwa hal itu nyaris tidak mungkin dilakukan. Ia sudah sering berkelahi dengan mereka, dan hasilnya ibunya dipanggil ke sekolah. Kini segala gerak-gerik Bonnie diawasi. Bu Cervina, seekor rusa betina muda yang mengajar Herbalogi pernah memberitahunya bahwa Bonnie akan dikeluarkan dari sekolah jika ketahuan berkelahi lagi. Karenanya anak kelinci itu terpaksa menahan sabar. Ia merasa menderita. Pelajaran Pak Falgro yang berlangsung selama dua jam terasa seperti dua hari baginya.
Akhirnya jam istirahat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Setelah Pak Falgro melangkah meninggalkan kelas para murid pun berhamburan keluar dari kelas. Bonnie pun tak terkecuali. Ia menggabungkan diri dengan kedua sahabatnya Tock dan Serena sambil menghela napas berat.
“Aku nggak suka elang pemarah itu,” ujar Bonnie dengan bersungut-sungut. Ia membanting pantatnya yang gemuk di permukaan rumput di halaman sekolah.
“Sssst.” Tock si tikus mendesis. Dengan khawatir ia menoleh ke kanan dan ke kiri. “Jangan keras-keras! Siapa tahu Pak Falgro dengar.”
“Dia nggak ada.” Serena si burung kenari bersiul. “Tadi kelihatannya ia terbang meninggalkan ruang guru dengan membawa tas. Kayaknya mau pulang.”
Bonnie tertawa lega.
“Jangan penakut, bro,” ujarnya ringan sambil menepuk-nepuk Tock yang jauh lebih mungil darinya. Hatinya lega. Setidaknya selama sisa jam pelajaran hari ini dirinya terbebas dari pengawasan Pak Falgro. Memang masih ada guru-guru lainnya, namun anak kelinci itu tidak mengkhawatirkan mereka. Tock menguap.
“Aku nggak mau sekolah lagi. Membosankan,” ujarnya. “Selalu ada guru-guru galak macam Pak Falgro. Nggak asyik. Jadi buat apa sekolah?
Serena yang sedang duduk santai terbelalak. Dibukanya lipatan sayapnya dan burung kenari itu pun melompat berdiri. Ia terbelalak menatap Tock
“Apa?” jeritnya. “Omongan apa itu, Tock? Kita kan sekolah biar pintar. Biar dapat ilmu buat masa depan.”
Bonnie ikut-ikutan menguap.
“Betul,” ujarnya. “Sekolah itu membosankan! Sama nggak enaknya sama di rumah. Coba kalau kalian tahu kayak apa keluargaku.”
“Gimana?” Tock dan Serena mendekatkan kepala ke arah Bonnie. Sambil cemberut kelinci kecil itu mulai bercerita.
“Keluargaku itu keluarga paling menyebalkan di dunia. Ibuku kerjanya hanya mengomel. Bonnie, jangan begini! Bonnie, jangan begitu!”
Bonnie menirukan gaya bicara ibunya hingga Tock terpingkal-pingkal.
“Teruskan, teruskan,” ujarnya di sela-sela tawanya. Bonnie tidak mempedulikan gangguan itu. “Belum lagi kakak-kakakku. Mereka nggak suka aku. Mereka selalu mengejek semua yang aku lakukan. Nggak pernah ada yang benar di mata mereka.”
Sambil bercerita ia merebahkan diri di rumput dan menatap langit. “Kamu beruntung sekali, Serena. Kamu punya sayap, jadi kapan pun kamu bisa terbang kemanapun yang kamu mau.”
Serena mendelik. “Kamu kira jadi burung itu enak?” protesnya. “Kamu nggak tahu waktu aku kecil dulu. Waktu belajar terbang! Jatuh bangun berkali-kali. Sudah itu masih diomeli Ibu, disuruh mencoba dan mencoba lagi sampai badanku babak belur.” Matanya menyipit kesal mengingat kenangan itu. Bonnie tersenyum.
“Kalau gitu kenapa kita ngggggak pergi saja? Dunia ini luas dan kau sudah pandai terbang,” ujarnya. “Kau punya usul, Tock?”
“Tentu,” sahut sang tikus dengan bersemangat. Ia berdiri dengan mata berbinar-binar. “Aku tahu tempat yang bagus di pinggir hutan. Di sana nggak akan ada yang menemukan kita! Percaya deh. Kita bisa puas main sepanjang hari. Nggak akan ada yang memarahi.”
“Oke!,” ujar Bonnie senang. “Kita berangkat sepulang sekolah. Selamat tinggal sekolah, selamat tinggal rumah.”
“Kamu ikut kan, Serena?” tanya Tock penuh harap. Serena bersedekap.
“Ngapain? Aku sudah punya kehidupan di sini. Ngapin menantang bahaya di tempat asing?”
“Jangan takut, ada kami. Kami akan menjagamu.” Bonnie berkoar. “Iya kan, Tock?”
“Betul.” Tock bangkit berdiri dari tempatnya duduk di atas rumput sambil membusungkan dadanya. “Kami janji, nona manis. Jadi ikut kan? Kalau nggak ikut, biar kami pergi berdua saja.”
Serena terkejut mendengar kata-kata Tock. “Jadi kalian tetap mau pergi?” sergahnya dengan nada khawatir. “Oke deh. Aku ikut.”
Tock dan Bonnie bersorak. Ketika bel berdentang tanda masuk kelas ketiga sahabat itu pun masuk ke kelas. Selama jam pelajaran terakhir hari itu mereka menunggu dengan berdebar-debar. Seperti apakah tempat indah yang dikatakan Tock? Akhirnya bel pulang sekolah pun terdengar. Tanpa menunggu lagi Tock, Bonnie, dan Serena pun melangkah pergi.
Sementara itu di lubang kelinci Ibu Kelinci sedang bingung. Ia berjalan mondar-mandir di ruang keluarga, sementara pandangannya tidak lepas memandangi jam dinding. Sudah pukul dua siang, namun putra bungsunya belum kelihatan juga. Padahal biasanya Bonnie pulang sekolah pukul sepuluh pagi. Grico dan Oric, dua kakak Bonnie yang pulang sekolah pada pukul satu telah disuruhnya mencari adik mereka. Mudah-mudahan mereka cepat pulang bersama Bonnie, harapnya di dalam hati.
Tiba-tiba telinganya yang panjang menangkap suara ketukan pintu. Bagai disengat listrik Ibu Kelinci segera melompat ke pintu dan membukanya. Ia berharap Grico, Bonnie, dan Oriclah yang pulang.
“Oh, kalian rupanya,” desah Ibu Kelinci ketika melihat siapa yang datang.
“Ada apa, Bu?” tanya Cheri dan Connie yang datang bersamaan. Kedua gadis yang baru pulang dari sekolah itu terperanjat melihat sorot mata ibu mereka.
“Bonnie belum pulang, Nak. Padahal sekarang sudah pukul dua,” jawab sang ibu, sehingga dahi kedua putrinya berkerut.
“Kita harus mencarinya,” ujar Connie dengan nada khawatir. “Biar kami yang pergi. Ibu tunggu di sini saja, siapa tahu Bonnie pulang.”
Kedua gadis itu segera lenyap di ambang lubang.
“Kamu betul, Tock! Tempat ini bagus sekali,” sorak Bonnie. Ketika itu mereka baru saja tiba di tempat yang ditunjukkan Tock. Matahari sudah tinggi pertanda tengah hari telah menjelang. Serena pun sangat senang melihatnya. Tempat itu adalah sebuah padang rumput yang luas. Pepohonan yang tumbuh di sana tidak begitu rapat, sehingga seluruh permukaan padang itu berlimpah sinar matahari. Agak jauh dari tempat mereka Serena melihat sebuah danau. Dengan matanya yang mampu melihat jauh burung kenari mungil itu dapat melihat airnya yang jernih.
Dengan gembira ia turun dari tempatnya hinggap di dahan sebatang pohon. Kedua kakinya yang mendarat di rumput merasakan permukaan yang tebal dan lembut.
“Asyik!” Bonnie dan Tock bergulingan di rumput. Karena asyiknya bermain, mereka tidak mendengar suara langkah kaki yang mendekat di belakang mereka. Tampak dua orang manusia berjalan dengan mengendap-endap ke arah mereka. Salah satu dari mereka membawa senapan.
“Hati-hati, Tom. Jangan sampai kelinci gemuk itu lolos,” bisik salah seorang di antara mereka. Orang yang dipanggil Tom mengangguk. Dengan cermat ia membidik buruannya. Sementara itu Bonnie mendadak menghentikan gerakannya. Telinganya yang panjang bergerak-gerak.
“Ada apa, Bon?” tanya Tock sambil keluar dari balik rerumputan yang tinggi.
“Kayaknya ada suara,” bisik Bonnie agar tidak terdengar oleh Serena yang bertugas jaga. Mereka memang sedang bermain petak umpet, dimana Serena bertugaas mencari Bonnie dan Tock yang bersembunyi. Ketika itu ia sedang menghitung mundur dengan suara keras.
“Delapan, tujuh, enam, lima…” Ia terus menghitung sehingga tidak mendengar suara yang lain dari biasanya.
“Ah, itu Cuma suara angin! Aku nggak dengar suara apapun. Cuma ada suara Serena,” balas Tock. “Hitungannya hampir habis! Ayo sembunyi.”
Serena yang sedang menutup mata sambil menghitung mendadak dikejutkan dengan bunyi tembakan. Burung kenari itu pun langsung terbang. Kedua kawannya yang sedang bersembunyi juga terkejut. Tock menjerit dan melarikan diri secepat-cepatnya. Bonnie berdiri gemetar. Untunglah tembakan itu luput, namun ia tidak dapat pergi ke mana-mana karena shock. Dengan panik ia melihat ke sekeliling. Kepanikannya bertambah ketika ia tidak melihat Serena dan Tock di manapun. Sebaliknya ia melihat dua makhluk raksasa yang belum pernah ia lihat. Salah satunya menggenggam benda yang tadi dilihatnya memuntahkan ledakan. Kedua makhluk yang tidak lain adalah manusia tersebut memandang ke arah Bonnie.
“Itu dia, Tom! Awas, jangan sampai meleset lagi.”
Bonnie tidak mengerti apa yang mereka katakan. Namun ia merasakan suatu firasat buruk saat salah seorang makhluk itu mengarahkan benda logam yang dibawanya ke arah Bonnie. Tanpa menunggu lagi kelinci kecil itu berlari. Ia tidak berani menoleh ke belakang, namun ia dapat mendengar langkah-langkah kaki mendekat. Mendekat dan kian dekat. Napas Bonnie kian tersengal. Ia sudah menggerakkan kaki secepat-cepatnya, namun suara langkah itu sepertinya lebih cepat.
Bonnie nyaris menangis. Sambil berlari kepalanya menoleh ke sana ke mari mencari tempat bersembunyi. Namun tidak ada. Padang itu hanya terdiri dari hamparan rumput dan pepohonan. Tidak ada semak-semak. Mendadak sesuatu yang tajam terasa di tubuhnya. Bonnie menjerit. Jeritannya makin kencang ketika ia merasa kakinya tidak lagi menginjak tanah. Angin kencang menerpanya karena cepatnya ia bergerak.
Ia mendengar suara tembakan yang jauh di belakangnya. Ia merasakan gerakan menukik dengan mendadak hingga jantungnya nyaris copot. Diberanikannya dirinya untuk melihat ke bawah.
“Aaaa!” Ia menjerit ketika melihat warna hijau padang rumput mengalir cepat jauh di bawahnya.
“Diamlah, anak bodoh! Jangan memboroskan tenagamu dengan berteriak-teriak seperti itu.”
Bonnie nyaris tidak mempercayai telinganya. Suara yang tegas dan berwibawa itu… Tidak mungkin salah.
“Pak Falgro!” serunya gembira. Ia amat bersyukur karena menemukan seseorang yang dikenalnya di saat ia terancam bahaya.
“Iya Nak, ini aku,” ujar elang itu. Ia memperlambat terbangnya. Sambil setengah tertawa dan setengah menangis Bonnie menyadari bahwa benda tajam yang ia rasakan tadi adalah cakar gurunya. Pak Falgro telah datang pada saat yang tepat untuk menolongnya.
“Bagaimana bapak bisa… bagaimana bapak tahu?” Rasa gembira, lega, dan haru yang bercampur di hati Bonnie membuatnya tidak bisa berbicara dengan lancar. Namun Pak Falgro mengerti apa yang dikatakan muridnya. Ia lalu bercerita bahwa siang itu Connie dan Cherry mendatangi rumahnya, dan bertanya apakah ia melihat Bonnie. Lantas ia pun membantu kedua gadis itu mencari Bonnie. Daya lihat jauhnya yang amat bagus dan kemampuannya menjelajahi setiap tempat dengan teliti memudahkannya menemukan kelinci kecil itu, tepat pada saat Bonnie berada di ujung tanduk.
Mereka pun memasuki kawasan hutan yang merupakan tempat pemukiman. Pak Falgro selanjutnya mengantar Bonnie pulang.
“Ingat, jangan mencoba kabur dari rumah lagi, apalagi ke tempat yang asing,” nasihatnya kepada muridnya. “Daerah dekat danau itu memang berbahaya. Banyak pemburu berkeliaran.”
Ibu Kelinci yang sudah menunggu di luar lubang sangat gembira melihat Bonnie pulang dalam keadaan selamat. Ia segera memeluk putra bungsunya itu.
“Bonnie, oh Nak,” ujarnya sambil menangis. “Jangan telat pulang lagi. Ibu khawatir sekali.”
Ia melepaskan Bonnie untuk menyeka air matanya. Mendadak kelinci kecil itu merasa seseorang menariknya dan mendekapnya erat.
“Aku… tercekik. Nggak bisa napas.” Bonnie berkata terbata-bata karena terkejut.“Bonnie, kamu ke mana saja? Kami khawatir setengah mati.” Connie melepas pelukannya dan menepuk-nepuk kepala adik bungsunya. Kemudian ia membiarkan keempat saudaranya yang lain memeluk Bonnie secara bergiliran.
“Saya mohon pamit,” ujar Pak Falgro kepada Ibu Kelinci. “Saya turut senang murid saya ini tidak apa-apa.”
“Tunggu, tunggu Pak!” seru Bonnie saat elang itu bersiap terbang. “Di mana Tock dan Serena?”
Pak Falgro menoleh. Ia tampak geli melihat kekhawatiran di mata Bonnie.
“Mereka juga sudah kembali ke rumah masing-masing. Kau bisa bertemu mereka di sekolah besok.”
Bersamaan dengan kepakan pertama sayapnya yang lebar ia mengangkasa. Bonnie menatapnya hingga lenyap di kejauhan. Pengalaman hari ini memberinya pelajaran berharga. Ia akan lebih hati-hati lagi bila bepergian. Tidak mau lagi ia mengalami peristiwa tidak menyenangkan seperti hari ini, dimana ia nyaris saja tertembak. Bonnie juga tidak akan pernah lagi berkeinginan untuk meninggalkan keluarganya. Ia telah begitu bodoh selama ini, karena tidak menyadari bahwa mereka sangat menyayanginya. Tidak ada tempat yang lebih aman dan nyaman selain di rumah, gumamnya dalam hati.
Subang, 2014