Friendship

Cerpen mengenai persahabatan antara para mahasiswa dengan latar belakang beragam. Ada cinta dan rasa kecewa di dalamnya. Selamat membaca.

Aku tiba di kota Kembang ini kira-kira 3 tahun yang lalu. Tujuanku datang ke kota ini adalah untuk melanjutkan studi tehnik elektroku ke salah satu universitas negeri yang semua orang pasti sudah tahu namanya. Aku bisa meneruskan studi ini karena mendapatkan beasiswa yang ku dapatkan dari prestasiku selama berada di SMA. Aku bersekolah di salah satu SMA favorit di Jakarta yang di sana aku mendapatkan prestasi terbaik sehingga dapat meneruskan cita-citaku studi di institut itu. Aku berasal dari keluarga yang bisa bibilang pas-pasan. Dibilang kaya tidak banget, dan jika dibilang kekurangan ya tidak juga. Oleh karena aku senang sekali mendapatkan beasiswa itu karena jika tidak, mungkin cita-citaku akan pupus di tengah jalan.

Karena tempat tinggalku cukup jauh yaitu di kota Jakarta, aku memutuskan untuk kost di Kota Bandung ini. Aku dari kota Jakarta pergi ke Bandung naik kereta api karena itulah angkutan yang paling murah biayanya. Nanti di sana aku akan mencari kos-kosan yang letaknya paling dekat dengan kampus dan kalau bisa paling murah sewanya. Di dalam kereta, aku mengambil tempat duduk di barisan yang tengah karena kata orang tuaku itulah tempat duduk yang paling aman jika sedang ada di dalam kendaraan. Setelah aku memilih tempat duduk yang dekat jendela, aku merasa sangat senang sekali. Karena selain bisa melihat-lihat pemandangan di luar, nanti juga akan mendapat banyak angin saat kereta berjalan, maklum saja kereta kelas ekonomi kalau lagi jalan anginnya banyak banget malah bisa bikin enter wind (masuk angin), tapi kalau lagi berhenti panasnya minta ampun. Aku merogoh ke dalam tas bawaanku untuk mengetahui apa saja yang dimasukan oleh Ibuku ke dalamnya. Di dalamnya ada tasbih yang pasti diselipkan ayahku di dalamnya. Mungkin agar aku tetap ingat berdo’a dan shalat di sana. Walaupun pengetahuan agamaku tidak terlalu bagus, tapi untuk do’a dan shalat lima waktu aku tidak pernah meninggalkannya. Aku berkata dalam hati “Tenang aja pak!, aku akan tetap seperti Sahrul yang sekarang”. Lalu di dalamnya ada bekal makan dan minuman untuk di perjalanan, uang selama aku di sana, dan foto keluargaku. Foto ini akan ku simpan untuk mengobati rindu selama di sana, “Thanks mom!”. Tepat sebelum kereta itu berangkat, ada seorang laki-laki yang mendekati, kemudian ia duduk di tempat duduk sebelahku yang masih kosong. Aku sepintas mengamati laki-laki itu. Sepertinya umur laki-laki itu sebaya denganku, lalu tampangnya agak awut-awutan dan kelihatan seperti anak berandal. Tapi kalau dilihat dari pakaiannya, sepertinya bajunya itu harganya mahal dan kopernya juga bermerek. Aku langsung mengalihkan pandanganku ke luar berharap bisa menghirup segarnya udara pagi yang belum terpolusi di kota Jakarta dan terus mengamati perubahan suasana yang terjadi saat kereta mulai melaju.

Baca:  Setitik Embun

Saat aku mulai terpana dengan pemandangan indah hamparan persawahan daerah Jawa Barat dan mulai mengantuk, laki-laki di sebelahku itu menepuk pundakku dan berkata “Hai, kamu mau ke Bandung juga?”. Aku menjawab dengan setengah terkejut “Iya!”. “Iya lah!, massa udah tahu kereta jurusan ke Bandung gini mau ke mana lagi!” aku menambahkan dalam hati. Lalu ia bertanya lagi “Di Bandung kamu mau ngapain?”. Aku menjawab “Mau nerusin studi”. “Oh gitu, sama dong!” ia menambahkan. Lalu kami saling mengobrol dan bertukar pengalaman selama perjalanan menuju Bandung. Ternyata orang itu asyik diajak ngobrol. Dari tampangnya yang agak menyeramkan, ternyata hatinya itu baik. Ini membuat aku lega, karena tadinya aku merasa orang ini akan berbuat jahat padaku. Setelah tahu itu, jadinya aku mulai bisa mengajukan pertanyaan padanya. Yang tadinya hanya dia terus yang bertanya padaku sedangkan aku hanya bisa menjawab saja. Dari pembicaraan kami, aku tahu bahwa ia bernama Soni dan di sana akan melanjutkan studinya ke institut yang sama denganku. Tetapi dia berbeda jurusan yaitu ia ke Tekhnik mesin.
***
Tanpa terasa, 1,5 jam telah berlalu perjalanan antara Jakarta-Bandung. Kereta telah tiba di stasiun Kota Bandung. Aku berkata dalam hati “Hallo kota Bandung, ibukota priangan. Tempatku menuntut ilmu dan mengadu nasib nanti. Semoga aku kerasan di kota ini”. Saat kereta berhenti, Soni mengajakku untuk keluar dari kereta untuk turun ke stasiun. Aku membantu Soni yang sepertinya agak kesusahan membawa koper-kopernya yang lumayan banyak. Aku bertanya “Son, kok kamu enggak naik pesawat aja sih?”. Ia menjawab dengan ekspresi sedang keberatan beban “Ah ini semua karena Mamaku, ia pengen agar aku jadi mandiri nanti di kota baru ini”. “Oh begitu!. Memang bagus sih inisiatif dari Ibumu itu”. Aku ikut memasukan koper-koper Soni ke bagasi taksi yang sudah menunggu di depan stasiun. Soni berkata “Thanks ya, by the way kamu mau nyari kos-kosan kan?. Bareng aja sama gw nyarinya pake taksi”. “Ah tidak usah terima kasih. Aku mau nyari sendiri aja. Nanti ngerepotin!”. “Ah enggak kok, tapi kalau kamu mau nyari sendiri ya udah. Good luck ya!”. “Trims!” aku menjawab sambil melambaikan tangan melepas kepergian Soni dengan taksinya. Aku langsung menuju ke terminal terdekat untuk naik bus yang akan mengantarkanku ke daerah dekat kampus baruku.

Baca:  Pusaka Indonesia

Seperti biasa aku langsung memilih tempat duduk di barisan tengah dan dekat jendela agar bisa merasakan udara pagi di kota Bandung yang sangat sejuk. Berjalan kira-kira beberapa menit, bus itu berhenti kembali untuk mengambil penumpang. Aku melihat ada seorang pemuda yang umurnya kira-kira sebaya denganku yang mendekati tempat dudukku yang masih kosong. Aku mengamati wajah pemuda itu, wajahnya memancarkan kesejukan dan sebelum duduk ia mengucapkan salam dan tersenyum padaku. Aku membalas salam tersebut dan mengajaknya untuk berjabat tangan. Dari kelihatannya sih pemuda ini orang yang agamanya bagus dan sopan pula. Kami mulai berkenalan dan bercakap-cakap. Percakapan kami tidak terlalu rame seperti aku mengobrol dengan Soni di kereta tadi. Orang ini berbicara dengan logat Sunda kental dan tutur katanya sangat sopan. Tidak seperti Soni yang kalo udah ngomong nyerocos terus. Dari percakapan kami, aku tahu bahwa nama pemuda itu Armand dari Tasik. Ia ternyata juga mau melanjutkan studinya di institut yang sama denganku. Tapi dia beda jurusan dengan aku lagi, dia jurusannya Tehnik Sipil. Tanpa terasa kami telah sampai di terminal tempat kami harus turun. Aku turun bersama Armand. Pada saat aku turun, aku disambut dengan sejuknya udara Bandung walaupun saat itu mulai banyak orang di terminal itu dan matahari mulai meninggi. Aku berpisah dengan Armand setelah kami saling mengucapkan salam dan berjabat tangan.

Bagikan artikel ini
Dimas Prasetyo Muharam
Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Articles: 313

2 Comments

  1. Keren nih cerpen akrab dg kehidupan sehari-hari dan bisa nambah wawasan buat siswa-siswi sma yg mau lanjutin kuliah. friendship kupikir ttg sahabat misalnya sahabat seorganisasi selama sekolah atau sahabat beda jurusan. Tp detil cerita bagus dan pesannya dpt banyak dzikir selama perjalanan. Sukses terus buat karya-karyanya

Leave a Reply