Kecerdikan si kancil memang terkenal dari zaman ke zaman. Ada saja tipudayanya, yang membuat ia selalu lolos dari kesulitannya. Bahkan, tak ada sedikitpun rasa takut tumbuh dalam diri si kancil. Meski tak jarang jiwanya terancam oleh dendam para hewan yang terkena ulahnya.
Suatu pagi, di kala burung-burung pipit sedang bernyanyi menyambut mentari, dengan mata berkaca-kaca kancil menatap rakyatnya yang sedang berkemas. Mereka hendak meninggalkan hutan lindung itu. Hutan yang teduh, dan damai. Hutan yang kaya akan buah-buahan dan tanaman aneka jenis bunga yang telah berusia puluhan tahun. Hutan yang di huni oleh puluhan kerajaan hewan. Di antaranya, kerajaan kancil.
“Kalian yakin, akan pergi dari hutan ini?” Tanya raja kancil pada rakyatnya.
“Ya! Kami akan pergi baginda, kami kecewa denganmu. Hari-hari kami selalu di hantui oleh rasa cemas. Tiap kali kami keluar dari rumah untuk mencari nafkah, hewan dari kerajaan lain mengira salahsatu dari kami adalah baginda. Sehingga mereka ingin membalas perbuatan yang pernah baginda lakukan pada mereka ke kami.” Ujar salah satu dari rakyatnya.
“Bukankah kehidupan rimba memang begitu? Jika tidak waspada, kita akan menjadi santapan lezat bagi hewan yang sedang kelaparan.” Baginda kancil membela diri.
“Bila itu sudah menjadi nasib, kami memang tak bisa melawannya. Tapi, hewan-hewan itu selalu menganggap kami suka menipu dan licik seperti dirimu. Sehingga mereka ingin membuat kami mati mengenaskan.” Ujar rakyat yang lainnya.
“Sejujurnya, aku kecewa jika kalian pergi. Namun aku lega. Tugasku untuk melindungi kalian telah berakhir.” Lalu pemimpin para kancil yang cerdik dan licik itu, meninggalkan rakyatnya untuk menyambut lembar baru dalam kehidupannya.
Sang kancil yang bertahta pada saat itu, memang terkenal cerdik dan licik. Ia kerap membohongi raja lainnya, untuk kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, rakyatnyalah yang nyaris menjadi korban kekesalan mereka.
Kecewa terdalam, amat di rasakan oleh raja buaya besar yang tinggal dalam sebuah danau. Ketika itu, ia sedang berjemur di tepi danau sambil menanti santapan untuk rakyatnya. Santapan yang belum ia dapati dalam beberapa hari.
Sementara, pada sisi lain dari danau itu, si kancil tampak bingung. Ia ingin pergi ke seberang sana.
Tetapi, ia tak melihat sesuatu yang dapat membantunya pergi ke seberang. Dalam kebingungannya, dahaga menyerang. Lalu, ia meneguk sedikit demi sedikit air yang ada di hadapan.
Firasat buaya tergugah, ketika air danau yang semula tenang tiba-tiba bergerak perlahan. Dengan hati-hati, buaya menyelam ke dasar danau, dan berenang kearah kaki si kancil yang ber ada di tepi lain dari danau itu.
“Ups..!” kancil terkejut ketika ia merasa salah satu kakinya tertekan oleh sesuatu yang berkuku.
“Pucuk di cinta ulam tiba. Ahirnya santapan yang ku harapkan, datang juga. Kali ini aku tak akan melepaskanmu, cil. Ayo! teman-teman, berkumpul! ” Ujar buaya pada teman-temannya.
“Wah, mereka cukup banyak. Kalau tidak ber hati-hati, aku bisa mati mengenaskan.” Gumam kancil dalam hati. “Buaya besar, apa kau bisa membagi tubuhku dengan adil kepada mereka?” tanya kancil pada buaya.
“Pasti. Pasti, cil. Aku selalu membagi dengan adil setiap makanan yang ku dapat, pada teman-temanku.”
Sejenak kancil memejamkan mata. “Mau ku beritahu cara yang sangat mudah untuk membagi rata tubuhku?”
“Ya. Ya, cil, aku juga ingin cerdik seperti dirimu.” Seketika buaya terhipnotis oleh tawaran si kancil itu. “Tapi benarkan, kau tidak akan menipu kami?” Terbersit rasa ragu dalam benak buaya.
“Mana mungkin. Kali ini, aku ingin menularkan ke cerdikanku, pada kalian Sehingga ketika aku mati, ada yang mewarisi ke cerdikanku.” Kancil berusaha meyakinkan buaya dan teman-temannya.
“Baiklah cil, apa yang harus kami lakukan?”
“Kalian berbarislah. Agar aku tahu, berapa jumlah kalian.” Ujar kancil.
“Ayo! Teman-teman, berbarislah!” Titah buaya besar pada penghuni danau. Kemudian para buaya itu berbaris dengan rapih.
“Barisan yang rapih. Mereka benar-benar tampak kelaparan. Kasihan sekali, mereka. Memangnya, aku mau jadi santapan mereka?” Gumam kancil dalam hati. “Buaya besar yang baik, bagaimana aku akan mulai menghitung kalau kau masih menggenggam kakiku? Kau jangan takut, buaya. Aku rela jadi santapan kalian.”
Lalu, buaya besar itu naik kedarat, dan melepaskan genggamannya. Agar kancil tak mudah lari, buaya memagari tubuhnya, dengan ekor dan tubuhnya yang panjang dan besar.
Tak lama kemudian, kancil melompati punggung para buaya yang berbaris di permukaan danau.
“Aku mulai ya, 1,2,3,4,5,6,7, dan satu lagi. Hop!” Kemudian, kancil segera melompat ke tepi danau. Dan ia segera berpamitan pada buaya-buaya itu.
“Terimakasih atas bantuan kalian teman-teman, sampai jumpa.” Kemudian kancil segera berlari meninggalkan para buaya yang sedang tercengang melihat prilaku si kancil.
“Kita tertipu lagi!” Teriak buaya besar sambil memukul kepalanya dengan kedua tangan.
Sejak itulah, buaya besar dan teman-temannya berusaha menemui keberadaan si kancil. Namun hutan itu sangat luas. Sementara buaya tak selincah kancil ketika berlari. Sehingga selama ber tahun-tahun, buaya tidak dapat menemukannya.
Suatu hari, kemarau panjang melanda hutan itu. Dedaunan luruh ke bumi.. Ranting pepohonan pun tak mampu lagi menggenggam erat dahannya. Tanah pun merekah, dan danau-danau perlahan mengering. Hewan-hewan terkapar tak mampu menahan teriknya matahari.
Dari sebuah danau, buaya besar beranjak menyusuri hutan yang telah tandus untuk mencari santapan. Namun, tak satu hewan pun dapat ia temukan. Hutan itu benar-benar mencekam. Seolah tak akan ada lagi kehidupan.
Selama ber hari-hari, ia berjalan munyusuri hutan tanpa henti. Namun harapannya tak pernah terwujud.
Suatu pagi, buaya memutuskan untuk menghentikan pencariannya. Harapannya telah putus. Ia pasrah bila nasibnya kelak seperti teman-temannya. Terkapar dan sebelum akhirnya, ajal menjemput.
Pada saat itu, tiba-tiba… menyeruaklah aroma daging panggang dengan rempah-rempahnya yang menusuk hidung.
“Hem,…..” Sejenak ia memejamkan mata, lalu membasahi permukaan bibir dengan lidahnya. “Aromanya sungguh, lezat. Aku yakin ada sesuatu yang bias ku santap, di sekitar sini.” Buaya segera mengedarkan pandangannya.
Terlihat dari kejauhan asap mengepul keluar dari cerobong di sebuah gubuk yang terdapat di tepi hutan. Seketika hasratnya kembali tergugah. Rasa letihnya pun, pergi menjauh.
“Buk! Buk! Buk!” Dengan semangat ber api-api, ia menghampiri tempat itu.
Beberapa meter sebelum ia tiba di sana, langkahnya terhenti. Ia tercengang melihat sosok dengan penuh kerutan di wajahnya, berkacamata tebal, dengan sebilah tongkat hitam yang menopang tubuhnya, menuju bale-bale serambi depan gubuk itu. Sambil membawa sepiring daging panggang.
“Ternyata, kakek renta itu si kancil.” Seketika itu pula, ke inginan untuk membalaskan dendamnya pada si kancil kembali terlintas dalam benaknya. Tak lama kemudian, buaya tiba di depan sebuah gubuk sederhana dengan pintu menganga.
“Apakabar mu, cil?” Sapa buaya yang telah berencana untuk menyantap si kancil.”Hem. Dia terlihat tak berdaya lagi. Pasti ia sudah tak cerdik lagi.”Gumam buaya dalam hati yang menatap si kancil dengan tak berkedip itu.
“Aku baik-baik saja buaya.” Ujar si kancil dengan senyum di wajahnya. “Pasti dia akan membalas dendamnya padaku. Aku harus waspada.” Gumam kancil dalam hati. Mendekatlah buaya, mari mencicipi daging panggang buatanku.”
“Bukankah, kau pemakan buah-buahan, cil?”
“Memang benar. Tapi sejak kemarau panjang, aku belajar menikmati apa saja yang bisa ku temui untuk ku santap.”
“Ha. Ha. Ha. Bagaimana caranya, cil? Sedang kau sudah tak punya gigi lagi.”
“Mudah saja. Aku panggang, daging hingga empuk. Setelah itu, kubiarkan hingga hangat, lalu segera ku telan. Seperti ini.”
“Pantas, badanmu berisi cil.” Ujar buaya sambil menikmati hidangan dari si kancil. “Aku berterimakasih atas hidangan yang lezat ini. Tapi, keinginanku untuk menghabisimu masih seperti dulu. Apalagi kau sudah tua dan renta seperti ini. Sedangkan aku, meski sudah tua, tubuhku masih gagah. Lihat gigiku cil, tak ada satu pun yang tanggal.”
Mendengar perkataan buaya, kancil menitihkan airmata. “Kau benar teman, aku memang tak pantas hidup lagi. Namun, izinkan aku memeluk tubuhmu yang gagah itu. Sebagai permintaan maaf dariku.”
“Ha! Ha! Ha! Mana bisa cil. Tubuh kita saja, jauh berbeda.”
“Akan ku coba memeluk tubuhmu yang hangat itu, perlahan. Lalu, biarkan aku masuk kedalam katupmu. Aku ingin segera tertidur pulas di atas lidahmu yang empuk itu.” Kancil benar-benar menunjukan wajah memohon.
“Ayo lakukan cil, aku sudah tidak sabar ingin menyantapmu.”
Kemudian, dengan terseok-seok kancil menuju pangkal katup, buaya sambil memeluk tubuh sisi kiri buaya itu.
“Buka katupmu lebar-lebar, teman. Agar aku dapat masuk dan mencari posisi yang enak untuk tidur panjangku.”
Buaya memang mudah terhipnotis oleh musuhnya itu. Ia membiarkan si kancil menyusuri bibirnya.
Beberapa saat kemudian,… Katup buaya tak dapat di satukan lagi. Dengan kecerdikannya, kancil meletakan tongkatnya di antara kedua katup buaya.
“Selamat tinggal teman. Aku memang telah renta. Tapi, aku tak rela mati karena menjadi santapan hewan lain.” Kemudian dengan sekuat tenaga kancil meninggalkan buaya yang tengah menangis, menahan rasa sakit akibat ulahnya.
Sejak itu buaya terus menangis dan mengeluarkan air liurnya. Terkadang buaya kesal. Lalu, mengepak-ngepakkan ekornya ke tanah. Hingga rekahan tanah di sekitarnya semakin membesar dan membentuk sebuh rawa.
Begitulah awal terjadinya rawa buaya yang sering di pertanyakan orang ketika berkunjung ke sebuah kebun binatang.
Penulis: Cynthia Cempaka
Redaktur: Putri Istiqomah Priyatna