Jakarta, Kartunet.com – Siapa yang tidak tahu bencana terbesar yang sempat melanda Aceh. Tujuh tahun sudah berlalu, namun tujuh tahun itu tak cukup mengobati trauma pasca kejadian dahsyat tersebut. Ribuan orang menjadi korban, kehilangan tempat tinggal, serta tak pernah lagi berjumpa dengan sanak keluarga. Siapa yang tidak lagi bernyawa, atau siapa yang masih dapat bernafas hingga saat ini, semuanya merupakan kehendak Yang Maha Kuasa. Tuhan selalu mampu membuktikan kebesaran-Nya. Pada saat banyak orang terhempas arus Tsunami, justru hamba-Nya yang tunanetra selamat dari maut.
Jam 7 pagi, tanggal 26 Desember 2004. Aflinda sedang menyiapkan sarapan di rumahnya, Banda Aceh. Tiba-tiba terasa berlahan bumi yang dipijaknya bergoyang pelan. Semakin lama terasa semakin kuat. Piring dan gelas mulai pecah berjatuhan, membuat Linda menghentikan aktivitasnya dan menemui sang suami di kamar. Gempa tersebut dilewatinya dengan membaca ayat-ayat suci Al Qur’an. Lima menit kemudian, gempa berhenti. Suara riuh tetangga membuat Linda dan Syarifuddin Siregar, sang suami, ikut keluar rumah. Mereka bertemu dengan seorang tetangga dan saling bercerita tentang gempa yang baru saja terjadi.
Tiba-tiba, segerombolan penduduk berlarian melewati mereka dengan panik dan terburu-buru. Linda bertanya pada orang-orang yang berlarian itu, namun tak satu pun menanggapi. Bahkan tetangga yang tadi sempat bercakap-cakap dengan mereka pun ikut lari bersama rombongan itu. Linda dan suami yang sama-sama tunanetra tidak mengerti apa yang terjadi. Mereka hanya beranggapan bahwa kepanikan itu mungkin karena terjadi kerusakan di suatu tempat akibat gempa. Akhirnya mereka masuk kembali ke dalam rumah dan duduk-duduk di ruang tamu.
Beberapa saat kemudian, terdengar gemuruh seperti suara pesawat yang tinggal landas, disusul genangan air yang masuk ke rumah setinggi mata kaki. Suami Linda hanya beranggapan bahwa mungkin pipa air di rumah bocor akibat gempa. Akan tetapi ketika diraba air tersebut terasa lengket dan berlumpur. Tak memerlukan waktu lama sampai air asin itu naik hingga pinggang, dan terus naik. Mereka mulai panik. Entah kekuatan apa yang membuat wanita tunanetra itu mampu memanjat daun pintu dan menyangkutkan dirinya bersama sang suami di lubang ventilasi di bagian atas jendela. Meski kaki Linda tak lagi menyentuh tanah, aliran air deras itu terus naik hingga batas leher. Namun tubuh mereka yang tertahan lubang ventilasi membuat keduanya tak terseret air. Aliran deras itu menyeret Ramli-salah seorang tunanetra yang bekerja di panti pijat Linda. Akhirnya ketiga tunanetra itu berlindung dengan menyangkutkan diri di lubang ventilasi.
Air surut 15 menit kemudian. Mereka bertiga turun dari ventilasi. Perasaan kaget, takut, dan letih, membuat Linda dan sejumlah penduduk yang selamat terduduk di tepi jalan. Kondisi yang rusak dan berantakan menyebabkan rumah yang berjarak 7 kilo meter dari pantai itu tak mungkin lagi ditinggali. Seorang tetangga mengajak Linda untuk ikut mengungsi di rumah kerabatnya di Ketapang yang tidak terkena tsunami.
Keadaan rumah yang penuh sesak dengan orang yang mengungsi, membuat Linda tak enak hati untuk menambah beban keluarga tersebut. Akhirnya dua hari kemudian, suami istri itu, memutuskan untuk pindah ke barak pengungsian. Ramli ikut serta bersama mereka.
Di barak pengungsian, hidup mereka tak teratur. Bantuan bahan pokok seperti sandang dan pangan masih sangat sedikit. Semua orang saling berebut tiap kali kiriman makanan datang. Tentu saja rombongan Linda yang tunanetra tak mungkin ikut berebut makanan. Walhasil mereka hanya dapat menunggu kebaikan orang yang bersedia membagi makanan dengan ketiga tunanetra itu. Akan tetapi, pada situasi seperti itu, adalah hal wajar jika setiap orang hanya mengutamakan diri sendiri dan keluarga masing-masing. Linda sudah cukup bersyukur ketika ada orang yang memberi sebungkus mie instan untuk dimakan bertiga.
Selama tinggal di pengungsian, Linda tidur beralas rumput, beratapkan langit, serta diguyur hujan. Tak kuasa menghadapi situasi itu, beberapa hari kemudian, mereka meninggalkan pengungsian. Meski tak tahu tujuan, ketiga tunanetra itu terus berjalan, tanpa alas kaki, tanpa tongkat. Saat itu menjadi hal biasa melihat orang-orang tidur di pinggir jalan. Linda pun tak malu lagi menerima makanan atau uang sedekah dari para relawan dalam dan luar negri yang berdatangan ke Aceh.
Linda mendengar kabar bahwa SLB Bukesra, tempatnya mengajar, tidak terkena tsunami. Dengan uang yang diterimanya dari para relawan, ia menumpang becak menuju SLB. Sesampai di sana, tak ada seorang pun. Mereka memutuskan untuk tinggal di sana ketika menemukan salah satu ruangan yang tidak terkunci. Keesokan harinya, kepala yayasan SLB itu menemukan mereka. Ia mempersilahkan ketiganya tinggal di sana, memberikan bantuan berupa kompor, bahan makanan, dan pakaian.
Hidup Linda mulai sedikit lebih nyaman. Ia teringat dengan kedua kakak dan keluarganya yang tinggal di kawasan Taman Siswa. Linda pergi ke sana untuk memastikan kondisi keluarganya. Akan tetapi sedih dan kecewa harus dirasakannya ketika tak seorang pun dari keluarga kedua kakaknya yang ia temukan.
Setelah merasa cukup kuat dan memiliki uang, Linda bersama suami pulang ke kampung halamannya di Payakumbuh, Sumatra Barat. Sebelumnya, mereka Sempat ke Pematang Siantar-kampung halaman sang suami terlebih dulu. Mereka tinggal di rumah satu-satunya kakak Linda yang tersisa di Payakumbuh hingga bulan Maret 2005. Entah mengapa, rasanya Linda ingin sekali kembali ke Banda Aceh. Awalnya kakak Linda tak mengizinkan, namun akhirnya suami-istri tunanetra itu tetap pulang ke Banda Aceh, dan tinggal di Yayasan SLB Bukesra seperti sebelumnya. Tak lama mereka menerima bantuan dana dari Ikatan Keluarga Minangkabau sebesar lima juta rupiah. Uang tersebut mereka gunakan untuk menyewa sebuah kamar kos dan membeli beberapa perabot. Di sanalah, Linda mulai menata hidupnya kembali. Suaminya sudah dapat kembali memijat, sehingga mereka sudah dapat memiliki penghasilan lagi. Kini mereka telah tinggal di sebuah rumah kontrakan dan membuka panti pijat seperti dulu.
Tragedi Tsunami menjadi pengalaman paling pahit sepanjang hidup putri keempat dari empat bersaudara ini. Namun, pasti ada hikmah di balik setiap kejadian. Bagi Linda, terselamatkannya ia dari bencana dahsyat itu menjadi kesempatan baginya untuk meningkatkan ketakwaan kepada Sang Pencipta. Tragedi besar itu juga membuat wanita kelahiran Maninjau 44 tahun yang lalu itu mengenal seorang pegawai NGO dan mendapat kontrak kerja selama tiga tahun di Handicraft Internasional. Nafas yang masih Tuhan berikan pada Linda mungkin juga karena ia masih diberi amanah untuk memprakarsai lahirnya HWPCI Aceh di tahun 2005.
Hidup tak bisa ditebak. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi esok. Manusia hanya dapat menjalani dan menerima dengan ikhlas dan tawakal. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, Tuhan memiliki alasan untuk setiap kejadian yang kita alami. Tentu, nafas yang masih Dia berikan adalah kesempatan untuk meningkatkan iman dan takwa serta merupakan amanah bagi kita untuk memberikan manfaat bagi orang lain. (RR)
Editor: Herisma Yanti