Ary, Tak Pernah Berhenti Belajar

Foto Ary saat di Olimpiade Sains NasionalJakarta, Kartunet.com – “Sebenarnya, guru SLB malah udah nyuruh pindah ke sekolah inklusi sejak kelas 3 SD,” cerita Ary. Anak-anak disabilitas yang bersekolah di SLB memang direkomendasikan untuk berpindah ke sekolah inklusi jika memiliki kemampuan kognitif yang baik. Nyatanya, pemuda kelahiran Pontianak, 18 tahun lalu itu membuktikan bahwa dirinya mampu bersaing dengan teman-temannya yang berpenglihatan sempurna.

Mungkin ia tidak tahu seperti apa hijaunya daun, atau seperti apa jingganya mentari senja. Mungkin hanya bayang samar yang terbias di celah  pandangnya. Mungkin ia pun tak tahu pasti seperti apa rupa kedua orang tuanya karena terlahir sebagai tunanetra. Namun, itu semua tidak lantas membuatnya meratapi hidup. Bahkan, ia membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi seorang anak yang membanggakan orang-orang terdekatnya.

Baca:  Ridwan, Tiada Kata Menyerah

Ary tidak pernah mengeluhkan ketajaman penglihatannya yang hanya tersisa sepuluh persen saja. Di usia 5 tahun, ia baru memahami kondisinya sebagai tunanetra. Namun, itu semua sama sekali tidak melunturkan keceriaannya. Ary kecil menjalani hidup seperti anak-anak pada umumnya. Meski tunanetra, ia tak segan bermain bersama tetangga-tetangganya yang nondisabilitas, membuat dirinya tumbuh menjadi anak yang percaya diri. Tidak heran, jika Ary sama sekali tidak merasa canggung ketika ia berpindah sekolah dari SLB ke sekolah  Inklusi, SDN Lebak Bulus 02 Pagi saat ia kelas 5 SD.

“ Kalau memang masih bisa ngikutin pelajaran, ya…aku berusaha mengikuti dengan baik. Tapi kalau nggak bisa mengikuti karena kondisi tunanetra, aku nggak memaksakan diri juga,” ujar pemuda yang bernama lengkap Fakhry Muhammad Rosa itu. Bagi Ary, mata pelajaran yang paling sulit diikutinya hanyalah pelajaran menggambar. Guru seni Ary di SMAN 34  Jakarta mengganti tugas menggambar untuk Ary dengan membuat kerajinan dari bahan plastisin, sehingga ia tetap dapat memperoleh nilai dari mata pelajaran tersebut.

SMAN 34 Jakarta belum menjadi sekolah inklusi. Sampai saat ini, hanya Ary satu-satunya siswa tunanetra di sana. Ketika mendaftar ke sekolah tersebut, kondisi ketunanetraan Ary sempat dipermasalahkan. Namun, Ary dan keluarganya tetap meyakinkan pihak sekolah bahwa meski tunanetra, putra sulung dari tiga bersaudara itu akan mampu mengikuti pelajaran di sekolah tersebut. Lantas, Redaksi Kartunet.com pun bertanya, mengapa Ary tidak memilih sekolah inklusi saja yang jelas-jelas akan menerima siswa disabilitas. “Tantangan dong, pengen coba yang beda,” jawabnya. Diiringi tawa ringan.

Menurut Ary, di mana pun kita bersekolah itu sama saja. Meski bukan sekolah inklusi, siswa disabilitas seperti Ary juga akan dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar jika guru-gurunya bisa memahami siswa disabilitas. Selain itu, Ary berusaha aktif di kelas. Ia ingin menunjukkan pada guru dan teman-temannya bahwa tunanetra bukanlah seseorang yang merepotkan. “Semua tergantung kita sendiri, bisa menarik perhatian guru atau nggak,” tuturnya.

Baca:  Kelindan Anugerah Bersama Kartunet

Tahun 2011, Ary menorehkan sebuah prestasi untuk sekolahnya. Ia menjadi juara I pada ajang Olimpiade Sains Nasional (OSN) di Manado. Kompetisi sains yang diperuntukkan bagi tunanetra itu diikuti Ary berkat undangan dari Dinas Pendidikan Luar Biasa (PLB). Awalnya, Ary mengikuti kegiatan tersebut atas nama individu, tanpa sepengatahuan sekolahnya. Tak disangka, ia berhasil lolos seleksi tahap awal dan diutus DKI Jakarta untuk mengikuti tahap berikutnya di Manado.

“Kalau yang ke Manado, harus pakai nama sekolah. Jadi akhirnya bilang juga deh ke pihak sekolah, hehehe,” ceritanya. Walau awalnya pihak sekolah agak heran bagaimana Ary mengikuti ajang tingkat nasional tersebut tanpa sepengatahuan sekolah, toh akhirnya ia berangkat juga ke Manado dengan didampingi oleh seorang guru dari SMA 34. Keberangkatannya tidak sia-sia, Ary berhasil menyingkirkan 32 peserta lainnya. Alhasil, ia pulang ke Jakarta dengan membawa medali emas dan sejumlah uang sebagai hadiah.

Tak hanya di bidang akademik, rupanya pemuda satu ini juga sempat menjuarai lomba di bidang musik. Ary mempelajari keyboard saat SD, dan gitar ia pelajari saat SMP. Belum lama mempelajari kedua alat musik tersebut, ditambah lagi ia mempelajarinya secara otodidak, bukan berarti menghalanginya untuk berprestasi. Di tahun 2006, Ary menjadi Juara Harapan II lomba keyboard pada gelaran Gebyar Seni Siswa di Bandung. Kemudian di tahun 2009, ia kembali mengikuti ajang serupa di Malang, pada kategori solo gitar dan pulang dengan membawa gelar Juara Harapan I.

Teknologi, merupakan satu hal lain yang menarik minat pemuda yang berdomisili di kawasan Beji, Depok ini. Saat kelas 1 SMP, ia pernah menjadi juara III dalam lomba bertajuk Computer Champ yang diselenggarakan oleh Yayasan Mitra Netra. Ketertarikannya pada teknologi juga membuat beberapa tulisannya terpampang pada rubrik Lab Tekno Kartunet.com.

Baca:  HARAPAN SETELAH KEMATIAN

Ary memang pemuda yang tak pernah lelah untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Ia mengaku tak mengalami kesulitan berarti ketika melewati Ujian Nasional beberapa waktu lalu. Kini, ia sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi SMPTN. “Insya Allah pengen ambil Jurusan Sastra Jerman UI atau Jurusan PLB UNJ,” ujarnya menutup pembicaraan. (RR)
Editor: Risma

Bagikan artikel ini
Ramadhani Ray
Ramadhani Ray

Literature lover, disability issues campaigner, Interest to learn something new through reading, training, and traveling.

Articles: 72

Leave a Reply