Jakarta, Kartunet.com – Meski R.A. Kartini telah memperjuangkan emansipasi wanita bertahun silam, namun nyatanya perempuan masih saja dianggap lebih lemah dari laki-laki. Apalagi jika perempuan tersebut seorang penyandang disabilitas. Padahal jika mengenal penyandang disabilitas lebih dalam, kita akan menemukan banyak fakta yang mengejutkan, bahkan sangat inspiratif. Tak banyak masyarakat tahu bahwa para penyandang tunadaksa, khususnya perempuan, justru mampu mengukir prestasi pada bidang yang memerlukan kekuatan fisik seperti olahraga.
Bersahabat dengan kursi roda bukan halangan untuk aktif berolahraga. Ida Yani, penyandang para plegia sejak tahun 90-an, telah mengukir prestasi dalam bidang olahraga, yakni tenis kursi roda. Meski sempat merasa terpuruk akibat perubahan hidupnya, toh akhirnya Ida berhasil bangkit juga dan mencoba menata hidupnya kembali.
Tahun 2002, Ida berkunjung ke wisma Cheshar. Di panti rehabilitasi tunadaksa itulah ia berjumpa dengan banyak kawan sesama pengguna kursi roda. Di sana pula ia mulai mengenal cabang olahraga yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Ketika seorang teman mengajaknya bermain tenis kursi roda, Ida sempat ragu. Bagaimana mungkin bermain tenis sambil mengayuh kursi roda? Akan tetapi banyaknya penyandang para plegia yang menekuni olahraga tersebut membuat wanita kelahiran Jakarta, 18 Agustus itu pun penasaran untuk mencoba.
“Awalnya agak susah juga karena satu tangan harus memegang raket, tangan lain mengayuh roda, sementara mata juga tetap harus fokus pada bola,” tuturnya. Akan tetapi, semakin hari Ida semakin menikmati olahraga tersebut. Meski sempat merasakan terjatuh dari kursi roda akibat mengejar bola, Ida tak menyerah untuk terus berlatih. Ya, bermain tenis kursi roda memang lebih sulit daripada tenis lapangan biasa. Butuh tenaga dan kecekatan ketika hendak mengayuh kursi roda dengan lincah mengikuti gerakan bola. Ida mengakui bahwa dirinya butuh waktu berbulan-bulan untuk terbiasa bermain tenis sambil mengayuh kursi roda, dan diperlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat dikatakan mahir dalam olahraga tersebut.
Tak ada yang sia-sia dari sebuah kerja keras. Latihan demi latihan yang ia jalani mengantarkannya pada sejumlah kejuaraan olahraga disabilitas, diantaranya Malaysia Open tahun 2007 dan Indonesia Open tahun 2011. Diantara semua kejuaraan, mungkin Paralympic Beijing tahun 2008 merupakan ajang terbesar yang sempat ia ikuti. Saat itu, Ida merupakan satu-satunya delegasi Indonesia yang terpilih dalam cabang tenis kursi roda.
“Senang juga waktu itu bisa terpilih mewakili Indonesia,” kenangnya. Meski saat itu gugur di babak penyisahan, Ida tak pernah menyesali keputusannya mengikuti ajang olahraga internasional tersebut. Adalah sebuah pengalaman berharga ketika ia dapat pergi ke luar negeri mewakili tanah air, dan berjumpa dengan para atlet disabilitas dari mancanegara. Ia mengakui atlet disabilitas di negara lain lebih hebat. Oleh karena itu, ia dan atlet Indonesia lainnya harus berlatih lebih keras lagi untuk dapat mengimbangi permainan mereka.
“Waktu masih bisa jalan malah nggak pernah terpilih dalam kejuaraan seperti ini,” ujarnya. Sejak dulu, anak ketujuh dari delapan bersaudara ini memang gemar berolahraga. Dulu Ida menekuni olahraga senam. Ia terjatuh saat sedang berlatih senam. Akhirnya Ida harus duduk di kursi roda hingga saat ini. Kegiatan olahragalah yang membuatnya menjadi penyandang para plegia, namun kenyataannya ia kembali pada bidang yang dicintainya dan berprestasi di atas kursi rodanya.
Wanita yang kesehariannya menjaga rumah kosan di daerah Salemba, Jakarta Pusat ini mendapatkan dukungan penuh dari keluarga untuk kegemarannya pada tenis kursi roda. Hingga kini, ia masih tekun berlatih tiga kali seminggu. Sejauh ini, prestasi tertingginya adalah menembus babak semi final. Ida bertekad untuk berlatih keras dan meraih medali emas pada event-event olahraga selanjutnya.
Menurut Ida, belakangan ini semakin banyak perempuan-perempuan disabilitas yang berusaha menunjukkan eksistensinya. Ia berharap agar perempuan disabilitas lain pun dapat mengukir prestasi, hidup mandiri, dan tidak terus-menerus bergantung pada orang lain. Ia percaya, meski seorang perempuan diamanahkan oleh Tuhan menjadi penyandang disabilitas, pada dasarnya dalam diri kita tersimpan kekuatan untuk berjuang dan menjadi manfaat bagi sesama. (RR)
Editor: Herisma Yanti