Biar saja foto itu masih disimpan di handphonenya. Biar saja foto itu masih bersarang di album profil facebook-nya. Biar saja semua file berisi foto-foto kenangannya tersusun lengkap dan rapi dalam folder-folder laptopnya, menjadi sesuatu yang diabadikan, dan selalu dikenang. Karena mungkin, ia masih mencintainya. Karena mungkin, perempuan itu sangat berarti untuknya. Aku masih bersedia menemaninya. Aku masih bersedia bertahan. Semua butuh proses. Suatu hari nanti saat aku mati, dia akan tenang tanpa ada bayang-bayang fotoku di sekitarnya. Aku mati dengan tenang, ia pun juga tenang dengan kehidupan barunya, tanpa fotoku, foto-foto kenangan kami, tanpa aku, dan ia melupakanku, selamanya.
BLAM.
Pintu kamarku tertutup dengan sendirinya. Aku terbangun dari tidurku. Aku mimpi buruk. Keringatku deras mengucur, kaosku basah. Mimpi buruk. Ini sudah ketiga kalinya aku bermimpi, dengan mimpi yang berulang-ulang, dan sama. Dalam mimpiku, Salma selalu mengucapkan kata-kata seperti itu pada Rina, sahabat dekatnya. Selalu di sore hari, dalam suasana sisa hujan turun, di depan kosku, bawah pohon mangga, sambilmakan batagor pedas kesukaannya, semua tergambar jelas dalam mimpiku. Oh, Salma.. kekasihku, kini ia pergi meninggalkanku untuk selamanya. Kanker otak telah merenggut nyawanya.
Aku menghela nafas panjang, melirik jam dinding, masih jam 2 pagi. Aku melirik handphone-ku, tak ada satu pesan untukku. Biasanya, Salma selalu mengirim pesan untukku, entah itu ucapan kecewanya karena aku telah tidur lebih dulu atau sekedar ucapan selamat malam, selamat tidur, dan yang pasti ungkapan cintanya untukku selalu disertakan dalam keadaan apapun. Kini, tak ada pesan untukku. Karena ia telah tiada. Ya, Salma sudah pergi.
Aku melirik laptopku. Tombol power kutekan, entah kenapa tiba-tiba aku ingin menyalakan laptopku. Satu per satu folder dalam laptop kubuka. Ya, aku menjumpai banyak foto, fotoku dengan Tita, mantan kekasihku. Benar, tersusun rapi. Semua kisahku dengan Tita terdokumentasi dengan rapi, dan Salma terusik dengan semua ini.
“Jangan dihapus. Aku tak mau melihatmu tersiksa saat kau merindukannya. Ini adalah dokumentasi yang berharga bagimu. Ini kenangan terindahmu.”
Aku ingat. Salma pernah mengucapkan hal itu. Ia menghentikanku saat aku hendak menghapus semua foto-foto ini. Aku menuruti pintanya, namun argh! Itu sindiran untukku, wanita selalu bicara tak sesuai dengan keadaan sebenarnya, dan aku tak peka.
Aku rebahkan tubuhku kembali di kasur. Meratapi yang telah terjadi tak akan ada gunanya untukku. Semua sudah terlanjur dan bahkan berlalu. Aku mencoba memejamkan mataku. Aku ingin tidur.
“Sayang… ”
Aku membuka mataku. Aku mendengar suara Salma. Aku melihat sekitar kamarku berharap ia memang ada di sini. Aku ingin melihatnya. Memeluknya. Minta maaf. Salma sudah mati. Aku rebahkan kembali tubuhku. Dada ini sesak. Aku harus terima kenyataan ini.
Salma. Masih ada cita-cita yang belum terselesaikan, yaitu menikah setelah merampungkan studi S1-nya. Bulan depan, seharusnya ia sudah mengikuti wisuda. Cita-cita mulia itu sudah ia catat di kertas yang ia tempel di dindingnya, 3 tahun yang lalu, di hari pertama ia merayakan ulang tahunnya yang ke 20.
Jujur, aku memang tak suka jika ia mengungkit masa laluku. Sehingga aku hanya memilih diam, terkadang berkata bahwa semua butuh proses, dan aku lebih memilih untuk tidak membahas lebih jauh. Mungkin, di matanya aku masih mencintai Tita yang pernah menjalin cinta denganku selama 6 tahun, aku lelaki yang masih berproses untuk mencintainya, yang dinilai masih bergemelut dengan masa lalu. Ia selalu bertahan menemaniku untuk melupakan Tita, dan mungkin menahan sakit. Ya, ia sakit karena ia mengira bahwa aku masih mencintai Tita.
Argh! seharusnya aku menjelaskan semua. Aku sudah tak lagi mencintai Tita, sudah lama, sejak aku sudah mengenal Salma. Aku sudah bahagia menjalani hari-hari dengan Salma, meski Tita masih terbayang, meski kisah masa laluku dengan Tita masih terngiang, namun semua berlalu begitu saja, tiada emosi yang menyertai. Karena aku memiliki Salma dan aku bahagia menjalani hari-hari dengan Salma.
Salma…
Aku rindu. Ingin bertemu.
Aku meraih handphone-ku lagi. Masih ada pesannya yang tersimpan di inbox-ku. Tiga puluh satu pesan masih tersimpan, jumlahnya sama seperti tanggal kematiannya. Aku mencoba menelusuri gambar di handphone-ku, hanya ada gambar-gambarku, dan… fotoku dengan Tita. Entah kenapa, dadaku berasa sesak melihat foto itu. Bukan karena mengingatkanku tentang kenangan masa laluku dengan Tita. Akan tetapi, karena aku tak menemukan satu pun foto Salma di handphone-ku, ini miris. Aku tekan delete all dan semua foto dalam handphone-ku terhapus.
Dengan sigap aku bangun, segera meraih laptopku kembali, dan mencoba mencari fotonya. Tak ada satu pun, yang ada hanya foto-fotoku dan Tita. Jika aku menemukan fotoku dengan Tita, dengan telaten aku menghapusnya. Folder C, D, dan E, semua tak ada, satu pun aku tak menemukannya. Apa iya aku tak pernah menyimpan fotonya? Antara pernah dan tak pernah. Kupikir pernah, namun di mana aku menyimpannya?
Hingga lelah aku mencari foto dalam folder komputerku. Sudah 3 jam berlalu, hingga adzan subuh berkumandang. Lagi-lagi aku menghela nafas panjang. Aku beranjak mencari air menghancurkan lelahku yang sedang menahan kantuk. Hingga terdengar sahutan ayam berkokok, suara tukang sayur yang berteriak mulai mendagangkan sayurannya, dan semua hal yang terjadi di pagi itu. Telah tiba jam 6 pagi.
Lagi-lagi aku melirik handphone-ku, tak ada satu pesan pun yang masuk. Biasanya, Salma selalu mengirimi pesan penyemangat sebagai ucapan selamat pagi. Ia selalu mengajakku untuk menyambut hari-hari dengan semangat. Aku makin rindu. Namun, ia sudah tiada.
Aku duduk, namun dada terasa sesak, tak nyaman, dan ingin teriak. Aku nyalakan televisi, mungkin aku bisa menikmati tayangan televisi. Pagi-pagi, tayangan berita mendominasi. Berita pembunuhan sering terjadi, berujung kematian. Salma. Ia mati. Namun, ia belum mati dihatiku, aku masih… ah, sudah berlalu, semua juga akan mati.
Aku beralih pada laptopku, mencari game sebagai penghiburku, namun modem di samping monitorku begitu menggoda. Facebook. Ya, Salma maniak jejaring sosial. Aku login dengan akunku, Rudi Pangalila. Di bagian beranda paling atas ada Tuti Prameswari mengirim pesan pada Ananda Salmanisa, ucapan rindu Tuti ungkapkan pada Salma. Aku klik nama Ananda Salmanisa. Profilnya penuh dengan pesan duka dan kerinduan. Aku masih tak menyangka bahwa kekasihku benar-benar telah pergi, ia mati. Aku melihat foto profilnya bergambar sandalku yang sedang bersanding dengan sandalnya, sungguh ia perempuan yang unik. Aku mencari album foto facebooknya. Aneh. Tak satu pun fotonya ada. Semua berisi fotoku, foto barang-barang yang sering kukenakan, dan bahkan jam tangan pemberian Tita yang masih sering aku kenakan juga di-upload dalam facebooknya. Miris. Tak ada satu pun foto Salma yang bisa kutemui di facebook.
Aku menengok profilku, banyak pesan berbentuk tulisan maupun gambar yang dikirim Salma dan tak pernah kurespon. Aku membuka album foto facebookku. Sial! Upload-an fotoku dengan Tita masih bersarang di sana. Semua fotoku bersama Tita mendapat respon jempol dari Salma. Ini adalah bentuk sindirannya, ia cemburu. Namun, aku tak pernah memedulikannya. Salma…
Usai mengahapus album foto itu, aku tutup laptopku, tanpa proses logout, close, atau pun shutdown. Aku rebahkan tubuhku. Aku harus berpikir realistis, ia sudah mati, aku harus berpikir ke depan, meratapi seperti ini hanya membuang-buang waktu.
Aku putuskan untuk pergi ke rumah kawanku, mungkin aku dapat suasana yang bisa menghiburku. Aku mandi. Saat aku beranjak pergi, tumpukan buku-buku Salma yang masih kubawa mengusik pandanganku. Aku mendekati tumpukan itu. Dalam tumpukan itu ada gantungan kunci pemberian Salma. Aku memasang gantungan kunci itu pada kunci motorku. Tiba-tiba aku teringat surat dari Salma. Saat ulang tahunku, ia memberikan gantungan kunci ini bersama surat cinta darinya. Aku bongkar semua berkas-berkas dalam kamarku.
Ketemu.
Salma.
Bodoh.
Kenapa pergi begitu cepat? Semua foto-foto yang kau benci sudah kuhanguskan semua, jam tangan, dan segala bentuk apa pun itu. Kau tak akan terusik lagi dengan benda-benda yang kau benci itu. Maka, kembalilah. Aku menyesal tak pernah meresponmu karena kupikir… ah, tidak! Aku bodoh berbicara pada selembar foto ini. Salma sudah mati. Ia pergi meninggalkanku di sini sendiri, lalu untuk apa aku meratapi orang yang tega meninggalkanku sendiri?
Salma. Semua datang begitu saja. Semua pergi begitu saja. Dan dia bagian dari semua itu. Penyesalan selalu di akhir. Aku adalah orang yang sekarang menyesal. Aku ditinggal Salma pergi tanpa penjelasan apa pun dan aku juga belum sempat memberi penjelasan padanya bahwa semua tentang Tita, aku sudah tak peduli, karena yang ada hanya Salma.
Meratapi hal seperti ini hanya akan semakin tersiksa, semakin membuatku tak berdaya seperti mati. Sama dengan Salma yang sudah mati. Ya, Salma mati. Aku hidup. Aku harus menjalani hidup selayaknya orang hidup. Mungkin, saat ini aku menyesal dengan perbuatan yang dulu. Lalu? Meratapi seperti ini juga tidak akan mengubah segala sesuatunya. Aku harus bertindak. Mungkin jika aku bahagia di dunia dan Salma melihatku, ia pun turut bahagia. Aku yakin itu. Dan suatu hari nanti aku juga akan bertemu dengan Salma. Hidup dan mati. Selagi hidup, aku harus memanfaatkan kesempatan ini selayaknya orang yang hidup.
Aku kembali bersiap diri untuk ke rumah kawanku, mencoba mencari suasana baru, mencoba menikmati dunia. Aku mengusap selembar foto Salma, dan sepertinya hanya ada satu foto ini yang tersisa. Aku memeluk erat foto itu sejenak. Tersenyum pada senyuman Salma dalam foto itu.
Aku membolak-balik selembar foto itu…
Dan tertulis…
Suatu hari nanti, foto ini akan berarti untukmu J
Salma…
Editor: Putri Istiqomah Priyatna