Jakarta, Kartunet.com – Di tengah kemajuan teknologi saat ini, telah banyak lahir alat-alat bantu yang menunjang kebutuhan tunanetra. Alat bantu berteknologi seperti screan reader (JAWS) misalnya, merupakan alat bantu yang akan membuat seorang tunanetra lebih mandiri dalam beraktivitas. Namun, semandiri apapun seorang tunanetra, mereka tetap akan membutuhkan bantuan orang lain yang berpenglihatan normal. Tunanetra biasanya membutuhkan pendampingan, contohnya ketika hendak mencari kendaraan umum, atau pada saat menyebrang jalan. Sayangnya, tidak semua orang tersentuh hatinya untuk membantu sesama.
Muhani, wanita kelahiran Jakarta yang mengabdi pada Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) DKI Jakarta, mengenal dunia disabilitas sejak bangku SMP. Memiliki teman sekolah yang seorang tunanetra, membuatnya belajar menghargai dan membantu sesama. Ia senantiasa mendampingi dan membacakan buku-buku bagi temannya tersebut. Muhani yang saat itu masih berseragam putih biru, melakukan semua itu dengan ikhlas, membuatnya menikmati apa yang ia lakukan.
Keakraban anak kedua dari tujuh bersaudara ini dengan sang tunanetra, membawanya pada sebuah lembaga sosial ketunanetraan, Yayasan Mitra Netra, Jakarta. Kebetulan, teman Muhani memiliki kakak yang juga seorang tunanetra, dan bekerja di yayasan tersebut. Sebelumnya, tunanetra yang dikenal Muhani hanya keluarga temannya itu, tetapi memasuki lingkungan Mitra Netra membuatnya mengenal lebih banyak lagi penyandang disabilitas netra.
Kian hari, Muhani semakin mengenal dunia tunanetra. Ia mulai tahu bahwa tunanetra terdiri dari totally blind dan low vision. Selain itu, ia merasa bahwa kebanyakan tunanetra memiliki sifat ulet dan pekerja keras. Tak bisa melihat warna dunia, tak lantas membuat tunanetra patah arang. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Muhani bahwa ternyata tunanetra pun dapat mengoprasikan computer, menggunakan internet, fasih berbahasa Inggris, bahkan dapat mengerjakan tugas-tugas kuliah sendiri.
“Kok bisa ya tunanetra mengerjakan paper sendiri? Saya saja yang dapat melihat, sering kali masih dibantu orang lain untuk mengerjakan tugas seperti itu ketika sekolah dulu,” ujarnya, mengungkap kekagumannya pada sosok-sosok tunanetra.
Berangkat dari rasa kagum tersebut, hati Muhani terpanggil untuk membantu tunanetra lebih banyak lagi. Muhani pun menjadi volentir di Yayasan Mitra Netra. Sepandai apapun tunanetra, tentu akan kesulitan untuk mengakses informasi melalui buku-buku yang belum tercetak dalam versi Braille maupun Digital Talking Book (DTB). Pada saat seperti inilah Muhani memainkan perannya untuk membacakan buku-buku tersebut. Bagi Muhani, akan sayang sekali jika seseorang yang diberi kelebihan berupa kecerdasan harus terhambat aktivitasnya karena kekurangan informasi akibat ketunanetraan yang disandangnya.
Terkadang, Mitra Netra menugaskan Muhani untuk melakukan pendampingan di sekolah-sekolah. Salah satu sekolah yang pernah didatanginya adalah SMP 226, Jakarta. Di sana ia membacakan soal-soal ujian anak-anak tunanetra. Honor yang diterimanya dari sekolah tersebut adalah Rp. 20.000 per hari. Ia juga memperoleh tambahan dari Mitra Netra sekitar Rp 8.500 per mata pelajaran yang dibacakannya. Tentu saja ini bukan jumlah yang besar, namun toh kenyataanya alumnus S1 Administrasi Niaga ini tetap menjalankan tugas tersebut sampai sekarang. Membacakan buku bagi tunanetra merupakan tindakan sangat sederhana yang seharusnya mampu dikerjakan oleh semua orang berpenglihatan normal. Akan tetapi, kenyataanya tidak banyak orang yang bersedia melakukannya. Dengan gelar sarjana yang disandang, ditambah lagi bayaran yang tak seberapa, tentu hanya orang-orang yang berjiwa sosial tinggi yang sanggup bertahan.
Selain membacakan buku, Muhani juga melakukan pendampingan mobilitas. Ia menemani tunanetra yang hendak bepergian ke suatu tempat. Ketika mendampingi tunanetra di tempat umum, kerap kali ia merasa jengkel dengan tatapan aneh orang-orang di sekeliling. Entah apa yang mereka pikirkan. Mungkin masih banyak orang yang berpikir, mengapa seorang berpenglihatan awas bersedia repot-repot menggandeng tunanetra ke sana ke mari.
Tahun 2007, Muhani mulai bekerja di PERTUNI DKI Jakarta atas rekomendasi seorang rekan tunanetra. Di organisasi tersebut ia membantu urusan administrasi dan keuangan. Bekerja bersama tunanetra, memberi kesan tersendiri bagi Muhani. Kadang ia merasa tak nyaman dengan tunanetra yang acap kali kurang peduli pada penampilan. Walaupun tidak dapat melihat, seharusnya tunanetra tetap menjaga penampilan jika hendak datang ke tempat umum. Meski demikian, Muhani tetap senang bekerja dengan tunanetra. Tunanetra ternyata memiliki pengetahuan yang luas, pintar, juga mengerti teknologi. Hal ini membuat Muhani yang berpenglihatan awas justru belajar banyak dari orang lain yang memiliki keterbatasan.
Orang tua Muhani yang berdomisili di kawasan Gandul, Jakarta, cukup mendukung pekerjaanya. Mereka bangga karena anak mereka memilih pekerjaan sosial untuk membantu penyandang disabilitas. Kerabat dan teman dekat Muhani juga memberi dukungan dan pujian untuk kesediaannya bekerja di dunia sosial seperti ini. Meski insentif yang diterima sebenarnya tidak mencukupi kebutuhan hidup, sampai saat ini Muhani masih ingin mengabdi di PERTUNI DKI Jakarta. Hal tersebut dikarenakan ia sudah merasa nyaman bekerja bersama tunanetra. Selain itu, Muhani menyatakan bahwa dirinya akan bekerja di organisasi tunanetra tersebut sampai ia bertemu dengan tambatan hatinya. Jika menikah kelak, Muhani hanya ingin menjadi ibu rumah tangga dan mengurus keluarga.
Sepak terjang orang-orang seperti inilah yang tentu telah memberi seberkas cahaya bagi para tunanetra. Dengan masih banyaknya orang awas yang kurang menghargai penyandang disabilitas, Muhani berpesan agar sebaiknya penyandang disabilitas diberikan kesempatan yang sama, seluas-luasnya , dalam bidang pekerjaan, pendidikan, dan lainnya. Kemudian, bagi teman-teman tunanetra, Muhani berpesan untuk tetap bersemangat, bekerja keras dan percaya diri dalam melakukan apapun, sehingga dapat meraih cita-cita yang diharapkan. (RR)
Editor: Herisma Yanti