Di sebuah desa kecil di suatu kerajaan, tinggallah empat bersaudara yang hidup tanpa orangtua. Dani adalah anak sulung yang paling bijaksana dan menjadi pemimpin bagi adik-adiknya, Samsul adalah anak kedua yang paling pandai dan berotak cerdas, kemudian Rudi, anak ketiga yang serakah, namun ambisius dan memiliki kemauan kuat, dan terakhir, anak bungsu dari empat bersaudara tersebut adalah Joni. Ia dilahirkan dalam keadaan tak bisa melihat. Ia hanya dikandung selama tujuh bulan oleh ibunya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan saat mengandung Joni. Beruntung, Joni selamat meski lahir dengan ketidaksempurnaan itu.
Untuk hidup, keempat kakak beradik itu bekerja di perkebunan buah milik kerajaan. Mereka selalu rajin dan kompak dalam bekerja. Namun upah kerja mereka sangatlah minim dan hanya cukup untuk makan. Oleh karena itu, mereka hidup dalam kondisi miskin di sebuah rumah sederhana.
Suatu hari, mereka sedang bekerja di kebun. Sekarang adalah musim mangga. Mereka bekerjasama memanen mangga.
“Huh! Kak, aku lelah. Bolehkah aku beristirahat sejenak?” keluh Rudi sambil menyeka keringat di dahinya. Tahun ini, perkebunan mangga diperluas sehingga panen pun melimpah ruah. Para pemetik buah harus bekerja keras untuk memanen mangga dari setiap pohon.
“Baiklah, kakak juga lelah. Kita bekerja keras sejak pagi, kita butuh istirahat sejenak.” ujar Dani.
“Samsul! Joni! Berhentilah bekerja! Mari beristirahat sejenak!” panggil Si sulung. Ia mengambil empat buah mangga dari keranjang dan membawanya ke sebuah pohon mangga tua yang berdaun lebat dan teduh. Rudi mengikutinya dari belakang.
“Sebentar lagi, kak! Nanti aku akan menyusul.” sahut Joni sambil tetap meraba-raba pohon, mencari buah mangga sementara Samsul turun dari pohon dengan melompat, kemudian berjalan menuju kedua saudaranya.
“Aduh, kak! Capek aku kalau terus begini. Aku sudah bosan dengan pekerjaan memetik buah. Kita bekerja sepanjang tahun, tetapi hanya mendapat upah sedikit. Andai aku menjadi seorang pangeran. Hidupku pasti tidak susah seperti ini” Rudi kembali mengeluh.
“Adikku, memang benar yang kau katakan, tetapi kita tidak memiliki pilihan. Ini juga karena kesalahan kita di masa lampau. Seharusnya kita tidak menghambur-hamburkan harta warisan ayah dan ibu.” kata Dani sambil mengupas kulit mangga dengan pisau.
“Ini semua karena kau Rudi! Kalau saja dulu kau tidak membeli kuda, kita pasti masih memiliki uang banyak. Sekarang, kudamu pun kabur entah kemana.” sahut Samsul.
“Tapi kakak juga dulu membeli banyak buku, hingga sempit rumah kita penuh buku-buku. Sekarang pun kakak sudah tidak menggunakannya lagi bukan? Buku-buku itu sudah menumpuk seperti sampah, kak!” ujar Rudi.
“Apa katamu? Buku itu sumber ilmu. Kuda-mu lah sampah sebenarnya!” bentak Samsul.
“Sudahlah, adik-adikku! Janganlah kalian bertengkar! Toh dengan bertengkar uang kita tidak akan kembali. Lebih baik kita ambil pelajaran dari kesalahan kita, untuk tidak menghambur-hamburkan uang.” kata Dani bijak. “Mangga ini sudah selesai kukupas. Sekarang makanlah!”
Joni belum beranjak dari pohon. Ia masih berusaha mencari mangga di sebuah pohon mangga yang rendah.
“Hei, Joni! Apa yang kau lakukan di pohon itu? Sudah tidak ada satupun mangga tergantung disitu. Kemarilah, istirahat sejenak sambil menikmati mangga yang manis!” seru Dani memanggil Joni.
“Dasar bodoh! Mengapa dia repot-repot menjangkau ranting-ranting pohon, padahal sudah tidak ada mangga tergantung disitu?” celetuk Rudi.
“Hush! Joni lebih baik daripada kau yang kerjanya lamban.” sindir Samsul kepada Rudi. Rudi hanya menggerutu dalam hati.
Joni pun menghampiri ketiga kakaknya yang sedang asyik menyantap buah mangga. Ia duduk di sisi luar bayangan pohon. Kemudian Dani mengangkat tubuh mungilnya mendekati batang pohon.
“Duduklah disini! Lebih sejuk dan teduh.” kata Dani. “Jon, mangga yang tersisa hanya yang berukuran kecil. Tunggulah sebentar sementara aku mengambilkan buah mangga yang lebih besar.”
“Tidak usah repot-repot, kak! Sedikit buah mangga pun sudah cukup untuk mengganjal perutku.” kata Joni.
Kemudian Dani mengupas mangga untuk Joni. Joni pun menyantap buah mangga kecil itu dengan riang. Setelah beristirahat, mereka berempat kembali bekerja hingga petang.
Keesokan harinya, raja mengumumkan tentang penyelenggaraan sebuah perlombaan bagi para pemetik buah. Tiga orang pemetik buah yang paling banyak memetik mangga akan mendapat hadiah. Perlombaan dilakukan secara perorangan dan dimulai lusa nanti selama seharian.
Dani, Samsul, Rudi, dan Joni pun tertarik untuk mengikuti perlombaan ini. Dani pun menyusun strategi bersama adik-adiknya untuk memenangkan perlombaan. Mereka berharap dapat memperoleh hadiah demi memperbaiki hidup mereka.
“Adik-adikku, ini adalah kesempatan kita untuk mendapatkan kehidupan seperti dulu. Kita harus berjuang untuk memenangkan lomba itu. Besok kita harus berlatih memetik mangga dengan cepat.” kata Rudi.
“Benar, kak! Kita harus memenangkan lomba. Aku akan berusaha sekuat tenaga!” ujar Rudi semangat.
“Iya, kak! Aku juga akan berjuang dengan seluruh kemampuanku!” ujar Samsul menimpali perkataan Rudi.
Hanya Si bungsu Joni yang membisu. Karena tidak dapat melihat, ia akan kesulitan memetik mangga dengan cepat. Tetapi dalam hatinya, ia juga bertekad untuk bekerja dengan sebaik-baiknya.
Sebagai kakak yang baik, Samsul berniat membantu Joni. Samsul pun berpikir keras untuk menciptakan alat yang dapat memudahkan Joni dalam memetik mangga.
Di hari berikutnya, Samsul tidak ikut bekerja memetik buah mangga. Ia tinggal di rumah untuk menciptakan alat bantu untuk adik bungsunya. Joni yang sadar kakak keduanya sedang berusaha membantu dirinya pun berusaha keras memetik mangga dengan cepat untuk mendapat upah harian lebih banyak dari biasanya. Uang itu nantinya akan diberikan sebagian untuk kakaknya, Samsul.
Kebanyakan para pemetik buah hanya bekerja setengah hari. Mereka memiliki pekerjaan lain dan menjadikan pekerjaan ini sebagai kerja sampingan. Namun Dani, Samsul, Rudi, dan Joni menggantungkan dirinya pada pekerjaan ini. Mereka pun sangat terampil dan cekatan dalam memanjat pohon, memilih buah yang sudah masak, dan memetiknya dengan cepat.
Joni yang tak dapat melihat hanya dapat memetik buah mangga dari pohon yang agak rendah. Ia telah mengenal kebun secara detail, mulai dari letak pohon-pohon mangga yang tinggi dan rendah, pohon yang berbuah lebat, pohon yang buahnya masam dan berbagai karakteristik pohon mangga yang berbeda-beda. Ia mengenali pohon dengan indera penciumannya yang peka. Aroma harum buah mangga begitu dikenalinya. Kualitas buah mangga pun dapat diseleksi dengan mencium aromanya. Meski memiliki modal berupa kepekaan penciuman, Joni tetap kesulitan karena penglihatan merupakan syarat utama untuk memetik buah.
Hari itu, Dani, Rudi, dan Joni bekerja hanya sampai sore hari. Mereka menyimpan tenaga sebagai persiapan untuk perlombaan esok hari. Malam harinya, mereka berkumpul untuk berdoa bersama. Di malam itu pula Samsul menyelesaikan alat bantu untuk Joni, berupa galah yang terbuat dari pipa lebar yang tidak terlalu panjang. Di ujungnya terdapat corong logam dengan bagian pinggir mulutnya diasah hingga tajam. Dengan alat ini, Joni hanya memasukkan mangga yang menggantung di pohon ke dalam corong, kemudian memiringkan galah hingga tangkai buah menyentuh pinggiran corong, dan mangga pun jatuh masuk ke dalam corong yang selanjutnya masuk ke saluran pipa dan diarahkan masuk ke keranjang. Joni pun begitu senang atas bantuan kakaknya, Samsul. Ia juga kagum atas kecerdikan kakaknya itu.
Pada hari perlombaan, empat bersaudara itu datang dengan bersemangat. Mereka datang paling pagi ke perkebunan. Mereka pun menunggu dimulainya lomba yang bertepatan dengan terbitnya matahari.
Para pemetik buah lain mulai berdatangan. Ratusan orang berkumpul di gerbang kebun, menunggu terbitnya matahari. Pengawas lomba yang terdiri dari pengawal kerajaan pun bersiap di belakang pintu gerbang.
Cahaya mulai tampak di ufuk timur. Semua orang di kebun mulai berdesakan ingin bergegas masuk. Kini Sang Surya mulai menampakkan wajahnya. Pengawas mulai membuka pintu gerbang dengan perlahan. Para pemetik buah yang tidak sabar pun menerobos celah gerbang dan berlarian menghampiri pohon-pohon mangga di kebun luas itu. Dani, Samsul, dan Rudi pun demikian, namun Joni terpisah dari mereka. Ia terdorong-dorong dalam kerumunan yang berlarian memasuki kebun.
Ratusan peserta lomba langsung memetik buah mangga dengan cepat, bahkan daun-daun pun berguguran karena pohon ditunggangi beberapa orang sekaligus, diguncang-guncang, dan disabet-sabet dengan galah.
Joni berlari melewati orang-orang yang bersusah payah memetik mangga menuju lahan perkebunan bagian belakang. Pepohonan mangga di situ belum tersentuh pemetik mangga lain. Buah-buahnya pun masih banyak dan harum. Joni dengan mudah mendeteksi letak buah mangga dengan penciumannya, kemudian memetiknya dengan galah istimewa miliknya.
“Kedengarannya semua orang bekerja sangat gigih. Aku harus bekerja lebih keras dari mereka!” pikirnya dalam hati.
Mentari telah sampai di puncak langit. Siang hari yang panas menjadi tantangan bagi para peserta lomba. Satu persatu mereka kelelahan dan memilih berhenti bekerja untuk beristirahat di bawah pohon.
Joni yang bermandi peluh menghiraukan teriknya matahari. Ia tidak melihat peserta lain yang beristirahat, ia hanya konsentrasi pada pohon mangga yang sedang dihadapinya.
Hari menjelang sore, jumlah pemetik buah yang tersisa semakin berkurang. Dani, Samsul, dan Rudi masih bekerja. Mereka belum puas dengan belasan keranjang berisi buah mangga yang mereka kumpulkan masing-masing. Namun akhirnya mereka dilanda kelelahan.
“Kakak! Aku sudah tidak kuat lagi. Aku lelah setengah mati!” keluh Rudi. Ia duduk di antara keranjang-keranjang penuh buah.
“Hanya itukah kemampuanmu? Janganlah menyerah secepat itu! Kehidupan yang lebih baik sudah menanti kita.” kata Dani dari atas pohon mangga.
“Aku juga capek, kak! Aku hampir kehilangan napas. Lebih baik aku menyudahi ini.” ujar Samsul dengan terengah-engah.
“Kak, lihatlah peserta lain! Jumlah mangga yang mereka dapat hanya beberapa keranjang. Aku rasa mangga yang kita dapat jauh lebih banyak.” Rudi menunjuk ke keranjang-keranjang para pemetik buah lain.
“Baiklah, kalau begitu kita istirahat sambil menunggu sampai proses penghitungan dimulai.” Dani pun turun dari pohon dan duduk di samping Rudi.
“Oh, iya. Joni dimana, kak?” tanya Samsul sambil melihat sekitar.
“Hah? Aku baru sadar, sejak tadi Joni tidak bersama kita! Kemana dia, ya?” Dani balik bertanya.
“Sudahlah, mungkin saja dia sedang istirahat di tempat lain, atau pergi membeli minuman.” sahut Rudi.
Mereka pun beristirahat di pohon hingga matahari mulai terbenam. Sementara itu, Joni yang berada jauh dari mereka masih giat memetik mangga. Tanpa disadarinya, ia telah mengumpulkan sekitar tiga puluh keranjang buah mangga.
Mega merah mulai datang menghiasi langit senja. Mentari pun terbenam di balik pepohonan mangga. Pengawas lomba mengumumkan bahwa perlombaan telah berakhir dan akan dimulai sesi penghitungan buah mangga. Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah buah mangga yang mereka dapat.
Petugas penghitung mendatangi perkebunan dan menghampiri setiap keranjang yang berlabel nomor sesuai nomor masing-masing peserta lomba. Peserta lomba dikumpulkan ke aula istana untuk menunggu pengumuman pemenang. Joni datang terakir dan duduk paling belakang karena perjalanan yang ditempuhnya lebih jauh, namun ia beruntung karena seorang pengawas lomba baik hati bersedia menuntun pemuda yang tak dapat melihat tersebut.
Perhitungan membutuhkan waktu cukup lama karena banyaknya jumlah peserta. Sampai larut malam, mereka masih menunggu sambil bercakap-cakap.
Beberapa waktu kemudian, Sang Raja datang dengan dikawal dan kemudian naik ke mimbar yang tingginya sekitar dua meter. Ia menyampaikan beberapa patah kata sebagai sambutan, selanjutnya ia akan mengumumkan pemenang lomba memetik buah.
“Sebelum mengumumkan pemenang, aku ingin berterimakasih kepada kalian atas pengabdian kalian kepada kerajaan. Kalian telah bekerja dengan sangat keras, aku menghargai kegigihan kalian. Untuk itu, aku akan menaikkan upah pekerja kebun sebesar dua kali lipat!” kata Sang Raja lantang.
Seluruh hadirin di aula pun bersorak girang. Mereka begitu senang atas keputusan Raja. Dengan ini, kesejahteraan mereka akan membaik.
“Baiklah, sekarang aku akan menunjukkan hadiah yang akan diperoleh oleh tiga pemenang lomba. Ini dia!!!”
Kemudian tiga orang pelayan kerajaan membawakan tiga kotak misterius yang diletakkan di atas meja di depan mimbar. Tiga kotak itu ada yang besar, ada yang kecil, dan ada yang berukuran sedang.
“Siapakah tiga orang beruntung yang akan mendapatkan hadiah-hadiah ini?”
Raja kemudian mengambil selembar kertas dan membacanya. Seluruh peserta lomba menjadi tegang. Mereka berharap menjadi pemenang.
“Hadirin sekalian, pemenang lomba ini ternyata dari tiga bersaudara. Pemenangnya adalah peserta nomor 142, 143, dan 144 yaitu Dani, Rudi, dan Joni dari keluarga Bapak Darman!”
Dani, Rudi, dan Joni sangat gembira. Mereka berteriak kegirangan. Joni yang duduk di belakang berulang kali mengucap syukur. Dani maju ke hadapan Raja. Postur tubuhnya yang kekar dan tinggi memukau peserta lain. Rudi yang berjalan di belakangnya pun tidak henti-hentinya melompat riang, sedangkan Joni berjalan perlahan dari belakang sambil membawa galah miliknya.
Ketiganya berdiri sejajar di depan meja, menghadap mimbar.
“Aku bangga kepada kalian, tiga bersaudara yang mengabdi dengan sepenuh hati. Sekarang kalian akan mendapatkan penghargaan atas pengabdian kalian. Di depan kalian ada hadiah berupa barang-barang berharga. Silakan kalian ambil hadiah yang kalian suka!” Raja mempersilakan Dani, Rudi, dan Joni mengambil kotak di depan mereka.
Dengan seketika, Dani dan Rudi menyambar kotak itu. Tangan Joni meraba-raba meja mencari kotak terakhir. Akhirnya ia pun mendapat kotak yang paling kecil. Dani memilih kotak hitam yang berukuran sedang, tetapi paling berat. Sedangkan Rudi mengambil kotak warna-warni yang ukurannya paling besar.
“Baiklah, masing-masing dari kalian telah memegang hadiah. Dani sebagai juara pertama, boleh membuka hadiahnya terlebih dahulu.” perintah Sang Raja.
Dani membuka kotak berat itu, kemudian ia terkejut karena isi kotak itu adalah sebuah peti berisi ratusan koin emas. Ia pun sangat gembira.
Kini giliran Rudi sebagai juara dua untuk membuka hadiah. Namun ia bingung karena di dalam kotak besar itu masih terdapat kotak yang di dalamnya ada kotak pula. Akhirnya setelah membuka lima lapis kotak yang membungkus hadiahnya, ia menemukan sebuah peti berukuran lebih kecil dari milik kakaknya yang berisi ratusan koin perak.
Terakhir, Raja memerintahkan Joni membuka kotak hadiah kecilnya. Dengan sabar Joni membuka kotak itu, dan didapatinya sebuah gulungan kertas. Karena tak bisa melihat, ia tidak dapat membaca kertas tersebut. Kemudian dengan cepat Rudi menyambar kertas itu.
“Hahaha… Apa yang kau dapat ini? Secarik kertas tak bergunakah?” ejeknya.
Rudi pun membuka gulungan kertas kecil itu dan membacanya.
“Ada tulisan di kertas ini, isinya ‘SELAMAT, ANDA MENDAPAT SEBIDANG KEBUN BUAH MANGGA SELUAS 5 HEKTAR!’ Apa? Mengapa hadiahnya lebih besar? Ini tidak adil!” Rudi tidak terima karena adiknya mendapat hadiah yang jauh lebih besar dari hadiah yang ia dapat.
“Baginda, sebenarnya dia telah berbuat curang! Dia tidak pantas menerima hadiah ini! Lihatlah galah yang dibawanya! Itu berbeda dengan galah yang dipakai peserta lain!” bentak Rudi.
“Tetapi peraturan tidak melarang peserta menggunakan galah seperti itu,” kata Raja tegas.
“Apa? Kau ini Raja yang tidak adil!” Rudi kembali memprotes.
“Apa katamu? Penjaga, kirim anak kurang ajar ini ke penjara!” Sang Raja mmenjadi marah.
Dani dan Joni tidak berkata apa-apa. Mereka tidak berani menentang perintah Raja. Begitu pula dengan Samsul. Ia hanya tertunduk sedih.
Penjaga istana pun membawa Rudi keluar istana. Rudi memberontak, namun ia tidak dapat keluar dari cengkeraman tangan penjaga yang memegangi lengannya.
“Hei, anak yang sedari tadi menunduk. Namamu Joni, benar?” tanya Raja.
“Benar, Baginda.” jawab Joni singkat.
“Mengapa engkau menggunakan galah yang berbeda dari peserta lain?”
“Sebenarnya hamba ini tak bisa melihat, Baginda.” Joni mengangkat kepalanya, hingga Raja dapat melihat matanya yang tak berfungsi baik. Sejenak kemudian Raja menitikkan air mata.
“Aku terharu atas kegigihanmu dalam bekerja, walau mengalami keterbatasan fisik.” kata Raja sambil mengusap air matanya.
“Sebenarnya aku memiliki putri yang tidak bisa melihat sepertimu. Namun selama ini aku merahasiakannya.”
Segenap hadirin kaget, mereka tidak percaya pada ucapan Raja. Selama ini mereka mengetahui bahwa Sang Raja hanya memiliki satu orang putra.
Kemudian datanglah seorang Putri ke ruangan itu. Dialah Putri Luna! Dengan hati-hati ia menaiki mimbar dan berdiri di samping Raja. Ia sangat cantik dengan mengenakan gaun berwarna putih.
“Wahai Joni, aku belum menemukan jodoh untuk putriku. Maukah engkau menikahinya?” pinta Sang Raja.
“Ampuni hamba, Baginda Raja. Sesungguhnya aku bersedia menikahi Tuan Putri, namun dengan satu syarat.” tutur Joni sopan.
“Apa yang kau minta? Katakanlah!”
“Tolong bebaskan kakak hamba, Rudi. Maafkanlah ia!” pinta Joni
Sang Raja berpikir sejenak. Kemudian ia mengangguk tanda setuju. Rudi akan dibebaskan.
Raja pun menutup acara itu, dan peserta yang hadir bergegas pulang. Joni, Dani, Samsul, dan Rudi tinggal satu malam di istana untuk perencanaan pernikahan Joni dengan Putri Raja. Akhirnya diputuskan, Joni dan Putri Luna akan menikah minggu depan.
Joni merasa sangat senang. Ia akan tinggal di istana, dan kakak-kakaknya akan dibuatkan rumah besar dan diberikan sebidang kebun dan peternakan. Rudi pun berubah menjadi lebih baik. Ia tidak lagi dengki, sombong, dan meremehkan orang. Keempat bersaudara itu pun hidup bahagia dalam lindungan kerajaan.
Hello blogger, i must say you have very interesting posts here.
Your page should go viral. You need initial traffic boost
only. How to get it? Search for: Mertiso’s tips go viral