Sehabis shalat shubuh Vidia meletakkan mukenanya di gantungan dan menaruh sajadahnya di atas kasur. Lalu dia membuka lemarinya yang penuh dengan buku-buku, di dalam lemari itu terdapat buku-buku novel, komik, pelajaran kuliah beserta buku-buku islami lainnya. Sudah setahun ini, Vidia rajin membenahi dirinya dengan membaca berbagai macam bacaan yang berbau unsur islam. Semenjak kejadian yang menimpanya waktu itu, kini ia telah sadar bahwa apa yang sudah dilakukannya selama ini adalah salah. Vidia hanya bisa menyesali diri dan menyesali semua kebodohan-kebodohannya dan beristighfar terus-menerus tanpa henti, agar Allah mau memaafkannya.
Sebelum membuka dan membaca buku yang di ambilnya, dia melangkah ke depan cermin. Dan disinilah dia melihat dirinya yang kini, Insya Allah, sedikit demi sedikit sudah mulai menjalani perubahan dengan balutan jilbab ungu kesayangannya, hadiah dari Bundanya tiga tahun yang lalu yang pemberiannya waktu itu tak pernah dia sentuh sedikitpun namun sekarang semua itu telah berubah. Dan semua itu berawal dari..
***
“Allah itu gak sayang sama Bunda, coba Bunda lihat buktinya Bunda itu lumpuh dan bukan baru sebulan atau setahun dua tahun Bunda, tapi Bunda sudah lumpuh dari sejak lahir, kenapa sih Bunda itu tetap selalu bersyukur kepada Allah?” Teriak vidia dengan kerasnya, mengagetkan Bunda yang sedang melipat mukenanya.
Ketika baru saja selesai melaksanakan shalat ashar, Bunda langsung beristighfar kala itu juga, tak menyangka anak yang telah di asuhnya selama ini dengan penuh ajaran islam bisa berkata seperti itu kepada dirinya terutama kepada sang penciptanya, Allah azza wa jalla. Saat itu juga terlihat butiran-butiran air mata jatuh bergulir dari kelopak mata Bunda.
“Vidia anak Bunda, kenapa kamu bisa berbicara seperti itu nak, istighfar nak.. jangan sampai Allah menghukummu nanti. Bunda tidak mengerti kenapa kamu bisa berbicara seperti itu. Allah itu tidak pernah untuk tidak mencintai makhluk-makhluknya. Bahkan untuk yang tidak terlihat oleh mata pun seperti kuman dan bakteri Allah sangat menyayangi mereka, dan mereka menerima walaupun tugas mereka ada yang baik dan ada yang tidak untuk manusia, namun bakteri dan kuman itu tetap bersyukur walaupun di ciptakan seperti itu, Nak.
Sama halnya seperti manusia. Allah sangat menyayangi kita walaupun di antara kita ada mau bersyukur atas pemberiannya maupun ada yang tidak mau berterimakasih sama sekali kepada-NYA, tapi Allah tidak pernah tertidur untuk terus memberikan hidayahnya karena Allah selalu menyayangi kita. Jadi jangan pernah engkau ragukan itu Vidia,
Bunda mohon kepadamu jangan engkau ulangi lagi perkataanmu seperti tadi. Bunda mohon nak,” jelas Bunda di iringi dengan isakan tangisnya.
Bunda takut Allah akan marah kepada Vidia. Dan itu kali pertamanya Vidia melihat Bunda menangis dihadapannya. Bunda-nya menangis karena Allah.
Vidia terenyuh. Tapi Vidia tetap tidak mau mengerti. Di dalam hatinya masih berkecamuk dan tersimpan sejuta pertanyaan. Justru karena itu, justru karena Bunda-nya yang setiap saat selalu bersyukur kepada-Nya yang membuat Vidia jadi meragukan kasih sayang Tuhan, Vidia masih tidak mengerti kenapa Allah mentakdirkannya seperti itu.
Sampai pertanyaan-pertanyaan itu semuanya terjawab sudah oleh seseorang temannya yang Vidia baru tahu, kalau temannya itu juga mengalami kelumpuhan. Tiba-tiba saja sebuah penyakit menyerang ke dua kakinya, kini ia tak bisa berjalan dengan baik. Namun, dia masih tetap bisa tersenyum.
Vidia terenyuh kala itu juga, saat mereka semua menengok Alisya ke rumah sakit dan melihat Alisya sudah tak berdaya hanya bisa tergolek dengan lemas di tempat tidurnya. Namun tak ada raut sedih sedikitpun yang ia tampakkan, justru ketika adzan ashar berkumandang ia meminta kami untuk membantunya ke kamar mandi dan menolongnya mengambil air wudhu. Subhanallah saat itu juga Vidia langsung menangis dan mengingat Bunda-nya yang lumpuh bagaimana caranya ia bisa berwudhu tanpa bantuan dia dan ayahnya.
Ayahnya bekerja dari pagi dan baru pulang ketika matahari sudah mau terbenam, sedangkan dirinya ia tak pernah mau pulang dengan cepat ketika ashar telah selesai barulah ia akan pulang ke rumah. Ia jadi sedih mengingatnya, mengingat semua kelakuan-kelakuannya yang telah membuat Bunda-nya kecewa, namun apa yang dilakukan Bunda-nya?.
Sedikitpun tidak ada rasa penyesalan yang ditampakkan Bunda kepada dia karena telah melahirkan anak yang tidak berbakti kepadanya, sedikitpun tidak ada kesedihan di raut wajahnya sampai pada hari itu Vidia berkata kasar kepadanya sampai Bunda akhirnya menitikkan air matanya di depan Vidia, namun masih dengan penuh kelembutan Bunda menasehatinya.
Saat itu juga, Vidia langsung minta izin pulang lebih dulu kepada guru dan Alisya juga kepada teman-teman yang lainnya. Setelah Alisya mengucapkan terimakasih, Alisya masih sempat berbicara kepada Vidia, ia berkata, semoga Allah selalu memberikan keselamatan kepada Vidia. Vidia langsung terhenti, badannya terasa kaku.
Subhanallah begitu sangat di pujinya Allah, padahal ia tahu bahwa dia baru saja menderita kelumpuhan namun dia tetap bersyukur dan selalu memuji Tuhannya. Sedangkan dia, belum pernah sedikitpun dia memanjatkan doa kepada Rabbinya demi keselamatannya. Untuk kesekian kalinya Vidia terenyuh, dia ingin cepat-cepat pulang dan bertemu dengan Bunda-nya lalu menolong Bunda-nya untuk berwudu dan dia bisa mengerjakan solat ashar bersama-sama dengannya. Vidia ingin melakukan itu.
***
Setelah sampai di depan rumahnya, Vidia dibuat bingung oleh sekumpulan orang-orang yang banyak berkerumun di depan rumahnya, berbagai pikiranpun mulai menggelayutinya, ada apa ini? Apa yang sebenarnya telah terjadi? Saat ia sampai di depan pintu rumahnya, ia lihat ayahnya telah pulang sebelum waktunya dan ayahnya tengah menangis. Ada apa ini? Ayah kenapa? Ia langsung mendekatinya.
“Ayah ada apa? Kenapa ayah menangis?” Ayah tak bisa langsung menjawabnya, hanya sebuah rangkulan yang ia dapat.
Ayah menahan isak tangis dibahunya. Vidia sungguh tidak mengerti dan ia langsung mengingat Bunda-nya.
“Ayah Bunda dimana? Kenapa banyak orang-orang yang berkumpul disini? Apakah terjadi sesuatu dengan Bunda?” Ayahnya tak bergeming. Masih belum ada jawaban dari mulutnya.
Seseorang tetangga mendekatinya, dia adalah kerabat Ayah,
“Nak Vidia yang tabah ya, Bunda Vidia sekarang sedang dimandikan, nanti setelah itu Vidia baru bisa melihatnya lagi,” jelasnya.
Dimandikan? Kini jelaslah sudah kebingungannya.
Saat itu juga butiran-butiran air mata langsung meleleh lagi dari kelopak matanya, saat ini kesedihannya amatlah sangat mendalam, kenyataan yang harus diterimanya, tidak adakah sedikit kata perpisahan untuknya.
Tidakkah Bunda-nya mau menunggunya barang sebentar agar ia sampai ke rumah terlebih dahulu dan melaksanakan solat ashar berjamaah bersama-sama. Tidakkah Allah mau memberinya kesempatan pada dia untuk bisa meminta maaf kepada Bundanya, walaupun hanya untuk yang terakhir kalinya.
Vidia sedih, sungguh sedih, ingin rasanya ia berteriak kepada Allah, ingin rasanya ia meminta keadilan untuk dirinya yang telah menyesali perbuatannya, ia ingin walaupun hanya sekali untuk bisa membantu Bundanya mengambil air wudhu, Vidia sangat sedih mendapati ini semua, tapi kemudian ia mengingat perkataan-perkataan Bundanya waktu itu, yang membuatnya tersentuh namun masih belum bisa ia pahami akan maksudnya.
“Jika saatnya tiba, semua pasti akan kembali kepadanya, jadi kita harus terima dengan ikhlas dan berlapang dada. Jangan bersedih akan hal yang sudah kita ketahui sebelumnya karena itu memang sudah ada bahkan sebelum kita terlahir di dunia ini, yang sudah ditetapkan yaitu takdir, takdir akan kehidupan seseorang, takdir yang akan diterima seseorang di dunia ini, disabilitas atau tidaknya seseorang itu ketika terlahir maupun takdir akan kematian seseorang. Jadi kita harus tetap bersabar menerimanya, ikhlas dan selalu bertawakal kepada-Nya, agar Allah bisa memberikan takdir yang terbaik untuk kita.”
Deg, Takdir. Mengingat itu Vidia langsung menangis lagi untuk kesekian kalinya, namun kali ini tangisannya bukanlah untuk tangisan kesedihan, tapi tangisan penyesalan akan semua kesalahan-kesalahannya. Kini Vidia telah mengerti akan maksudnya, maksud dari semua perkataan Bundanya waktu itu.
Saat itu juga, Vidia langsung berdiri dan berjalan menuju kamar mandi, tanpa berkata apapun kepada ayahnya. Ayah dan orang-orang yang berada di rumah Vidia heran melihatnya, namun mereka bisa memakluminya. Vidia langsung mengambil air wudhu, ia ingat ia masih belum menunaikan shalat ashar, mungkin ini adalah kali pertamanya shalat yang akan membuatnya tidak akan pernah lupa akan hari ini, solat yang benar-benar dia hadapkan kepada Ilahi Rabbi bukan solat yang hanya sekedar di suruh oleh orangtuanya dan dikerjakan seadanya saja. setelah selesai ya sudah tak ada doa yang dipanjatkan, tapi kali ini Vidia telah sadar, dan dia ingin berbicara dan berdoa kepada Allah, dia ingin mendoakan kedua orangtuanya terutama kepada Bundanya yang tak pernah lelah berdoa untuknya dan menasehatinya demi kebaikannya.
Setelah selesai solat, Vidia pun langsung berdoa dan memohon ampun atas segala kesalahan-kesalahannya dan berharap Allah dan Bundanya mau memaafkannya, ingin rasanya Vidia langsung datang kepada Bunda, memeluknya dan mendengarkan semua nasehat-nasehatnya lagi, namun sekarang mustahil sudah baginya takkan ada lagi pelukan, takkan ada lagi nasehat-nasehat yang keluar dari mulut Bunda-nya, kini Bundanya telah tiada, Bunda telah pergi untuk selama-lamanya.
Vidia hanya bisa menangis mengenang semuanya. Mengenang semua kebersamaannya dengan Bunda yang sekarang takkan mungkin bisa terjadi lagi. Di dalam keheningan doanya, tanpa sadar Vidia tertidur lelap dalam balutan mukena yang masih melekat dibadannya, Vidia lelah akan hari ini.
***
“Vi, Vidia ayo bangun nak, sekarang sudah waktunya untuk shalat shubuh, nanti kamu bisa telat loh menghadap Allah, ayo kita sama-sama untuk shalat berjamaah,” seseorang tengah membangunkan dan menggoyang-goyangkan badannya.
Vidia langsung terbangun, Bundanya tengah membangunkannya, seperti hari-hari biasa Bunda-nya memang selalu sabar membangunkan dan mengajaknya untuk solat bersama-sama, kini Vidia sudah mendapati Bundanya mengenakan mukena berwarna putih bersih. Dan entah kenapa berbeda seperti hari-hari yang biasa, saat itu juga Vidia langsung bangun tanpa bermalas-malasan dan mau melaksanakan solat shubuh bersama-sama.
Setelah selesai, entah perasaan apa yang mendorongnya membuat ia langsung memeluk Bundanya dan mengucapkan maaf, Bundanya langsung menangkap pelukannya dan mengelus kepalanya dengan penuh rasa sayang. Saat itu juga perasaan lega menjalari seluruh tubuh Vidia. Ia menangis haru dalam dekapan Bundanya dan ia tak ingin melepaskannya.
***
“Vi, Vidia bangun nak?” Vidia kaget, ayahnya kini telah dihadapannya tengah membangunkannya.
Lalu, ia langsung melihat sekelilingnya, kosong tidak ada siapa-siapa, ia ingin melihat Bundanya tapi tidak ada,
“Ayah dimana Bunda?” Tanya Vidia, ia sadar kalau Bundanya sudah tidak ada lagi disampingnya, Bundanya telah melepaskan pelukannya.
Ayahnya hanya bisa menatap Vidia dengan kesedihan namun tetap tegar dihadapannya.
“Bunda sudah tidak ada Vidia, Bunda telah kembali kepada Allah, Vidia yang sabar ya,” Ayah menjelaskannya dengan tenang.
Vidia langsung sadar, saat itu juga dia berusaha untuk mencerna semua kondisi yang ada, dia ingat kalau tadi ia tengah tertidur, mungkin saja Bunda langsung datang menemuinya dalam mimpi sebagai perpisahan yang terakhir untuknya, Vidia langsung tersenyum dihadapan Ayahnya.
“Ayah maafin Vidia ya, Yah. Kalau selama ini Vidia banyak salah sama Ayah, dan tadi ketika Vidia tertidur Bunda datang dalam mimpi Vidia yah, Bunda memeluk Vidia dengan penuh rasa sayang, dan kini Vidia sadar kalau Bunda telah pergi namun Bunda akan tetap selalu ada di hati kita yah,” jawabnya dengan penuh keikhlasan, dia sadar karena ini memang sudah takdir, takdir dari yang maha kuasa dan Vidia lega karena dia sudah meminta maaf dan memeluk Bundanya walaupun hanya di dalam mimpi tapi baginya itu semua terasa nyata, Bunda datang menemuinya dalam dekapan cinta.
***
Editor: Putri Istiqomah Priyatna