Hening malam tak juga memecah ulasan kerut merah wajahku, tak kusadari aku begitu memelas pada Tono. Ia betul-betul aneh. Ku lempar kritik, tak mempan. Ku ayun puji nan puja pun mental. Ia teguh tak tergoyahkan. Tak kudapati ia tertarik bahkan terpikir akan semua pinta, kritik, dan ocehanku.
“Ayolah Ton, tak pantas kau seperti itu,” pintaku mulai agak sedikit memaksa. Butuh kerja keras, bahkan megakeras hanya untuk sebuah permohonan pada sahabatku itu.
“Biarlah wajahku seperti ini. Aku yakin, pantaslah aku yang sekarang ini menjadi diriku sendiri kawan,” bela Tono dengan senyumnya yang khas.
“Apakah kamu pikir dengan seperti ini kamu akan sedap dipandang ?” bibirku mencibir.
“Ya.. kenapa tidak Mam, memang apa yang salah dengan diriku ?” ia membela diri.
“Apakah kamu tak malu Ton ? Coba berpikir realistis sedikit, kamu masih terlalu muda untuk itu.”
“Kuakui aku memang masih berumur 17 tahun Mam, tapi tak ada peraturan untuk hal ini. Orang di luar sana banyak yang seperti aku,” belanya percaya diri. Habis malam itu hanya untuk berdebat mengenai wajahnya yang aneh itu.
”Malam yang kritis,” keluhku dalam hati.
***
Tak bisa kubayangkan apa komentar teman kelas pagi ini melihat perubahan Tono, semoga akan baik-baik saja. Cemasku menguap, menyembur tetes demi tetes. Apa lagi kebanyakan teman sekelas kami adalah tipikal orang yang sangat mudah bereaksi ketika mendapati hal yang aneh, mereka serupa hidrogen yang super reaktif.
“Hei Mam, Tono kok kayak gitu? Wajahnya aneh,” komentar Rini salah satu teman kelasku.
Komentar yang menyengat dari mulut Rini tentu dapat kuamini. Bukan hal aneh jika bintang kelas seperti Tono ditatap ratusan mata karena wajah barunya yang aneh. Apalagi selama ini, sedikit saja tentang dia yang berhasil menguap, pasti akan tercium oleh orang-orang, apalagi perubahan yang sebesar ini, sesak dadaku memikirkan Tono.
“Ternyata hal yang ku khawatirkan benar-benar terjadi,” hatiku betul-betul menerkanya dengan tepat.
Jauh kulihat perpustakaan ramai bak pasar. Teriakan dan olokan, mengaung-ngaung. Tak salah lagi, sumbernya pasti Tono. Tempat favoritnya saat beristirahat adalah ruangan berukuran 10 x 15 meter yang dihuni ribuan buku tersebut. Pasti, tidak salah lagi. Dia yang menjadi, sumber olokkan itu.
“Dasar anak tua…!”
Suara yang cukup keras yang pertama kali menyeruduk masuk di telingaku. Kulihat Tono terdiam tak terpecah. Ia duduk seakan bermeditasi. Tak bergerak. Tak bergeming.
“Hei Ton !!! Tak malu kamu seperti itu ????” satu lagi suara sumbang nan mengolok yang menyembur dari mulut teman kelasku, Ari.
“Kalian tahu apa tentang diriku, aku adalah aku, kalian adalah kalian, Tak usah ikut campur,” lantang Tono, sembari melirik kepada Ari.
Sedetik kemudian, matanya kembali menatapi buku tebal di tangannya. Ia kembali mengkristal dengan pendiriannya. Namun, semburan panas olok-olok dan kritik masih menyemburat kepadanya. Ramai, riuh, sekaligus panas. Namun, tiba-tiba keriuhan itu terhenti seketika.
“Diaaaaaaammm !!!!” teriak Pak Dani.
“Kalian buta atau buta huruf ???? Apa kalian tidak bisa baca, ini perpustakaan, di sini ribut hukumnya haram,” bentak Pak Dani lagi, sembari menunjuk dinding yang bertuliskan peraturan perpustakaan.
Sebagai pustakawan, ia memiliki kemampuan membentak pangkat tujuh. Di bawah satu peringkat dari kepala sekolah kami yang terkenal luar biasa galak.
***
Seiring perubahan Tono yang tertutup rapat itu. Aku jadi sering berpikir atau mungkin lebih tepat jika dikatakan melamun. Melamunkan perubahan sahabat satu kos-kosanku itu. Apa tepatnya alasan ia menjadi demikian.
Ah, aku menjadi tersadar. Ternyata ada satu hal yang terlewatkan dari mataku. Dan seharusnya aku sadar sejak dulu.
“Mungkin ada hal besar yang terjadi selama bulan Ramadhan di kampung Tono,” taksirku samar.
Aku dan Tono memang telah menjadi sahabat semenjak bertemu di Kota Makassar, kota yang terkenal dengan pisang epe’1 ini. Kami berdua adalah pelajar yang jauh dari kampung halaman hanya untuk mengenyam pendidikan yang jauh lebih layak, dan sekarang kami tinggal bersama di sebuah rumah kos-kosan. Secara sepintas jika diperhatikan, aku dan Tono memiliki rupa yang mirip. Hanya saja, ia lebih putih, dan bermata lebih sipit. Persis wajah Nihon Jin2 apalagi pola hidupnya yang super disiplin, ramah serta pintar.
Namun sejak kepulangannya dari kampung halamannya. Tono yang terkenal periang itu ternyata tak kusadari mulai berubah. Ia menjadi doyan melamun. Mungkin karena kematian ayahnya, terlebih hubungannya memang sangat erat dengan almarhum. Tapi, Tono yang aku kenal tak mudah kehilangan asa. Sebab, pada saat ayahnya meninggal ia tetap terlihat tegar. Hari-harinya tetap ia jalani dengan semangatnya. Meskipun sangat tampak ia begitu berat menyulam kembali helai demi helai sisa semangatnya. Tapi ia tak pernah terlihat kehilangan asa dan harapannya.
“Ah, apa sebenarnya yang ia sembunyikan dariku ?” tanyaku dalam hati.
Aku benar-benar terperangkap dalam kotak pandora rahasia milik Tono. Rasa penasaranku terkumpul hari demi hari. Aku tak ingin tersiksa dengan rasa penasaran ini. Pasti ada sesuatu yang terjadi dengannya selama ia di kampung halamannya.
“Tak ada salahnya aku memberanikan diri menemuinya, toh aku sahabat paling dekat dengannya. Aku harus menemuinya segera, dan akan aku tanyakan langsung padanya,” niatku dalam hati sembari meyakinkan diri sendiri.
“Assalamualaikum…!” kulayangkan salam sembari mengetuk pintu kamar Tono.
“Walaikumsalam, tunggu Mam,” kudengar suara sahabatku itu dari balik pintu.
“Hei Mam, ayo masuk !” pintanya seraya membuka pintu kamarnya, segera kurebahkan tubuhku di pembaringan. Kebiasaan serupa yang sering dilakukan Tono pula ketika bertamu di kamarku.
“Oh ya Mam, ada apa bertamu tengah malam seperti ini, he he… mau curhat tentang pacarmu lagi yah..???” nada Tono mulai mengejek.
“Aah… sembarangan lu Ton, ya bukan lah. Aku mau tanya sesuatu Ton,” jawabku datar.
“Serius banget kayaknya, kamu butuh duit berapa Mam ???” Tono lagi-lagi mulai mengejek, tak sempat aku berkomentar dengan cepatnya ia menyambar.
“Hehe…. Tak usah marah Mam, cuma bercanda kok, ngomong-ngomong kamu mau tanya tentang apa ?” Tono mulai serius.
“Begini Ton. Maaf kalau aku begitu lancang. Semenjak kepulanganmu dari kampung, kamu kok jadi berubah sedrastis ini ?” tanyaku sedikit terburu-buru.
“Ah.. nggak ada apa-apa kok Mam,” jawabnya.
“Ayolah Ton kamu jangan bohong, aku ini sahabatmu,” aku mulai memelas.
“Tak ada Mam. Percayalah, tak ada apa-apa. Aku hanya merasa kehilangan atas kepergian ayahku,” jawabnya meyakinkanku.
Aku menyerah. Jika ia sudah mengaitkan pembicaraan mengenai kematian ayahnya, aku tak sanggup. Aku tak ingin membebaninya dengan segala macam pertanyaanku yang telah aku bumbui dengan kecurigaan. Aku khawatir, ia menjadi marah. Jadi aku sudahi wawancara kecil-kecilanku. Walaupun aku sangat yakin, ada hal besar yang ia sembunyikan rapat-rapat. Bahkan lebih rapat dibanding dinding semen yang membatasi kamar kami.
***
Tono terlihat sangat cemas menunggu gilirannya. Hari ini, Pak As’ad, guru Bahasa Indonesia kami meminta semua siswa membaca puisi karangan pribadi kami masing-masing. Ya, tentu di depan kelas. Aku sudah tau pasti, Tono menanti-nanti moment ini. Bahkan teman sekelasku pasti menunggunya membaca puisi. Bukan cerita baru jika Tono adalah orang yang sangat pandai mengelu-elukan rangkaian kata-kata indahnya setiap kali membaca puisi. Semua orang akan terkesima. Tapi aku tidak yakin penampilannya akan seapik seperti dulu dengan wajah anehnya yang sekarang ini.
“Tono sekarang giliranmu,” terdengar suara Pak As’ad memanggil Tono.
Ah, tak kusangka ia membacakan puisi tentang ayah. Puisi yang pasti ia terlurkan dari kegundahan dan kepiluan hatinya. Dan ia pun memulai memekikkan puisi itu. Suaranya sendu. Lidahnya merdu meloncat-loncat di antara langit-langit mulutnya. Jiwa pilu seorang anak, memanggil mesra ayahnya. Sebuah lakon solo yang mengagumkan. Jiwanya seakan-akan berenang bersama alunan kata-kata dalam puisinya. Kami semua terdiam sekaligus terkesima dengan penjiwaannya yang sangat sangat mendalam. Mulut membeku, mata tak berkedip sedetik pun. Telinga merekah bagai bunga yang menunggu tetesan air. Belum sempat kelopak mata menyeka bola mata, tepuk tangan riuh susul-menyusul menerpanya. Ia kembali menampilkan keahliannya. Ia berhasil lagi.
Tono pun meninggalkan mini podiumnya. Belum sempat ia kembali ke tempat duduknya, Pak As’ad menghampiri siswa kesayangannya itu.
“Tono, bapak bisa bertanya sesuatu ?”
“Tentu Pak !” jawabnya tegas.
“Kalu boleh bapak tau. Wajahmu kelihatan sedikit berbeda hari ini. Apa kamu senang dengan penampilanmu yang sekarang ini?” tanya Pak As’ad gamblang.
“Maaf Pak, memangnya ada yang aneh dengan wajahku ?” belum sempat Pak As’ad menjawab tiba-tiba terdengar suara dari bangku belakang.
“Seantero sekolah juga tahu Ton kalau kamu tampak sangat aneh dengan kumismu itu,” teriak Irfan memicu teman kelas lainnya bersuara.
“Iya betul kata Irfan, kumis di wajahmu itu betul-betul menjijikkan Ton, kami tak suka memandang wajahmu dengan kumis itu,” komentar Rini pedas.
“Diam anak-anak…!!!” teriak Pak As’ad lantang, sekejap kelas pun menjadi hening beberapa detik, lalu tiba-tiba Tono bersuara.
“Kawanku… mungkin kalian semua tahu betapa aku sangat dekat dengan almarhum ayahku. Beliau adalah sahabat sekaligus pahlawan dalam hidupku, meskipun … ayahku tunawicara . . .” Tono terhenti. Ia diam. Jelas terlihat air matanya terhambur, dan berlomba membasahi pipinya.
“Apa ? Ayahnya tunawicara ???” aku kaget. Hatiku sedikit nyeri mendengarnya. Pantas selama ini hanya suara ibunya yang selalu aku dengan jika ia menelfon keluarganya. Ku tatap Tono. Ia menyeka air matanya.
“Maaf kawan-kawan, aku sedikit terbawa suasana. Ayahku memang tunawicara. Tapi dia tetap ayah terbaik. Aku tak pernah malu terlahir sebagai anaknya. Dia orang paling tegar dengan segala keterbatasannya. Ia tak pernah merasa kurang. Ia selalu menganggap ia adalah ciptaan paling luar biasa yang dicitakan oleh-Nya. Itulah yang membuatku selalu tegar menghadapi cobaan macam apapun. Aku benar-benar banyak belajar tentang ketegaran hidup padanya. Namun, sebuah kenyataan pahit benar-benar membuatku tersudut . . . ,” ia kembali terdiam dan menunduk.
Ada beban yang sangat berat di matanya itu. Ingin segera aku merangkulnya. Belum pernah aku melihat air mata Tono berlarian begitu deras keluar dari kelopak matanya. Namun, belum sempat aku mendekatinya, ia kembali menyambung kata-katanya yang terputus.
“Ternyata…., aku bukan anak kandung ayahku. Aku hanyalah anak angkat. Anak yang diangkat dari salah seorang teman jauhnya. Saat mengetahuinya, aku benar-benar tak mampu berkata apa-apa. Kenyataan tak bisa aku sembunyikan. Tak kusangka ayah paling aku banggakan itu, tak sedarah denganku. Aku benar-benar merasa sendiri di dunia ini. Ibu tak pernah tahu-menahu asalku. Ayah hanya tersenyum jika ibu menanyakan hal itu. Yang ibu tahu, aku adalah anak dari teman jauhnya. Aku benar-benar tak percaya.
Namun, aku tak membenci ayahku. Apalah arti kandung dan angkat. Darah tak mungkin bisa mengubah kenangan indah antara aku dan ayah. Aku tetap banggga pada kebaikan dan ketegarannya. Aku tetap ingin menjadi seperti dia. Maka sejak saat mengetahui hal itu, aku bertekad mengikuti ayah walaupun itu hanya sekedar berkumis agar wajahku sedikit sama dengan ayah sebagai wujud sayangku kepadanya. Aku harap kawan-kawan bisa mengerti pilihan seorang anak yang menyanyangi ayahnya,” pintanya dalam.
- Makanan khas Makassar yang terbuat dari pisang yang dibakar
- Orang Jepang (Jepang).