Asap pabrik menyembul menuju awan
Fajar mengumpat tuk membaringkan raganya
Sekerumunan bocah kecil beranjak pulang
Aku tetap melanjutkan tafakur di bangku taman
Lampu jalan mulai nyala
Segelintir rumah bermandikan cahaya
Jua manusia yang berlalu lalang
Aku kembali melanjutkan tafakur di bangku taman
Pandanganku tertuju pada wanita itu
Parasnya cantik tiada kurang
Ia melangkah membuang helaian carikan
Tapi gagal
Tak tepat sasaran
Tapi tak dihiraukan
Ah… Aku masa bodo
Hanya pandangan sesaat
Terlintas pula habitus kekar berwajah tampan
Sedang menyantap minumannya
Lalu, dibuangnya setelah puas
Tapi gagal
Tak tepat sasaran
Tapi tak dihiraukan
Ah… Masa aku bodo?
Ini yang kedua kalinya
Ketidakpedulian…
Paradigmatis yang filosofis
Dentingan jarum jam membuyarkan pikiranku
Tak terhitung berapa lama aku disini
Meratapi pantulan diriku yang abid* penganggur
Hampa dan melamun tak ada arah
Tersentak aku ketika bapak tua itu jalan
Pakaiannya lusuh wajahnya temaram
Menggenggam tongkat mencari jejak
Terpampang kacamata hitam di sela kedua matanya
Si bapak menggenggam bungkus nasi yang telah habis
Ia buang tapi gagal
Dicarinya lagi, lalu diambil
Kali ini tepat sasaran
Ku urungkan niat untuk pulang
Ku putar pikiran dan ku sadari
Siapa yang tunanetra?
Sebuah perenungan sederhana
*) abadi; tidak berkesudahan
Secerca Harapan
Porak poranda metropolis
Meneriakkan sorak sorai membabi buta
Teriakan api membubuhi bumi
Baliho berbaris tunjukkan jati diri
Gagasan kuat mengintai komuni
Menjerit, "Pilih aku, Pilih nomorku"
Semua terhipnotis
Haus akan sosok yang idealis
Engkau menjamin dan berjanji
Mewujudkan hambatan menjadi solusi
Hingga menyelundupi isi kalbu ini
Menari-nari di pikiran ini
Tapi sisi lain berkoar
Kami, para disabilitas berdiri tegak
Mengibarkan bendera penuh harapan
Dan inilah secarik kecil harapan untukmu…
Kami harap kau dengar suara hati kami
Kami harap kau jamah pelita batin ini
Kami harap kau topang seluruh raga ini
Sebab engkau wadah dari embun air mata kami
Dengan braille, kami untai anyaman frasa
Dengan ortosis, kami tergopoh-gopoh jajaki bumi
Dengan bahasa isyarat, kami teriakkan hak duniawi
Dengan kau, pemimpin kami, mari bersama membuat harmoni
Kami selalu berdoa
Semoga kau berhasil dalam singgasana
Jalankan misi jangan lupakan harapan kami
Wahai engkau pemimpin berbudi
Elegi Gadis Cantik
Aku terlahir cantik
Menarik
Banyak yang melirik
Lelakipun terpekik
Mataku indah
Sinarnya penuh warna
Bergelimang cahaya
Dengan juntaian mawar didalamnya
Pararlel dengan mama
ia tunanetra
Tak bisa lihat dunia
Sehingga ku malu padanya
Ku telusuri jalan
Mama menggandeng kedua tangan
Tapi aku lepaskan
Karena aku tak tahan
Ku ingin beli dandanan
Tapi uang tak mama berikan
Alasannya kurang tuk makan
Memang, dia pedit tak karuan
Nasihatnya kubantah
Kupikir aku sia-sia
Punya mama seperti dia
Yang tak bisa apa-apa
Pada akhirnya waktu berlalu
Tiba-tiba kabar buruk menerpaku
Mama meninggal, hidup di alam baru
Air mataku turun sederas ombak biru
Pedih tak tertahankan
Ingat kasih sayang yang mama berikan
Tak luput jaman
Meski tingkahku jahanam
Perintahnya tak kuturuti
Malah ku marah setiap hari
Ku bantah kasih yang ia beri
Namun ia sabar menghadapi
Kutemukan secarik kertas
Terpatri tulisan mama yang khas
Meski dalam kegelapan luas
Kasih sayangnya tak terbatas
"Anakku sayang,
Tahukah engkau?
Indah matamu
Pemberian dariku
Ku rela tunanetra
Ku rela tak tatap dunia
Tapi ini buatmu
Bekal tuk jaga diriku
Bukan ku minta balasan
Bukan pula ku minta imbalan
Tapi ku berikan kau pelajaran
Hargailah orangtuamu hingga ajal mengantar"
Tersayat hatiku
Kebenaran yang menderu
Penyesalan memburu
Tangis menjuntai, darah membeku
Hidup hampa
Semua sirna
Sesal tersisa
Maaf, mama…